Alternatif Model Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Perlu Terus Dikaji
Kepala BPSDM Kemendagri Teguh Setyabudi menilai pilkada langsung masih menjadi model yang kompatibel pada pemilihan gubernur dan wakil gubernur. Namun, ia memberikan dua model alternatif yang dapat digunakan ke depan.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rekonstruksi model pemilihan gubernur dan wakil gubernur sangat dimungkinkan tanpa mengesampingkan nilai-nilai demokrasi dan tetap menjunjung tinggi keterlibatan masyarakat. Pembagian kewenangan yang jelas antara gubernur dan wakil gubernur juga dibutuhkan agar tidak terjadi perpecahan di pemerintahan serta memunculkan kesan gubernur sebagai pemimpin tunggal.
Hal tersebut merupakan hasil penelitian yang dipaparkan oleh Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Dalam Negeri Teguh Setyabudi saat mempertahankan disertasinya untuk meraih gelar doktor Ilmu Pemerintahan di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Jakarta, Kamis (27/8/2020).
Berkat penelitiannya berjudul ”Analisis Dinamika Pemilihan Langsung Gubernur dan Wakil Gubernur” dengan studi kasus di Provinsi Sulawesi Tenggara tersebut, Teguh kini menjadi doktor ke-121 dari IPDN.
Teguh mengatakan, pelaksanaan pemilihan gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Tenggara pada tahun 2018 tidak terlepas dari berbagai dinamika politik, mulai dari tahapan pra-pelaksanaan pilkada, pelaksanaan pilkada, hingga pasca-pelaksanaan pilkada. Dinamika politik yang terjadi merupakan warna baru dalam proses demokratisasi di daerah.
Menurut Teguh, pilkada langsung masih menjadi model yang kompatibel dalam proses pemilihan gubernur dan wakil gubernur. Namun, ia memberikan dua model alternatif yang dapat digunakan ke depan.
Alternatif pertama, gubernur dan wakil gubernur dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu paket melalui pilkada langsung. Perbedaan dengan pemilihan yang ada saat ini adalah penguatan kewenangan wakil gubernur.
”Jika selama ini wakil gubernur hanya dijadikan sebagai ’ban serep’ ketika gubernur berhalangan hadir, model ini mengusulkan adanya pembagian kewenangan yang jelas antara gubernur dan wakil gubernur,” ujar Teguh.
Penguatan kewenangan wakil gubernur dianggap penting agar fungsi gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah serta sebagai kepala pemerintahan di daerah dapat berjalan efektif dan efisien. Selain itu, adanya pembagian kewenangan yang jelas juga meminimalkan perpecahan yang sering terjadi antara gubernur dan wakil gubernur.
Alternatif kedua, gubernur dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Sementara itu, wakil gubernur diusulkan oleh gubernur dari aparatur sipil negara maupun swasta yang memiliki pengalaman di pemerintahan, memahami kondisi daerah, dan memperhatikan keterwakilan wilayah.
”Syarat-syarat tersebut juga masih harus ditambah dengan pembagian kewenangan yang jelas antara gubernur dan wakil gubernur agar tidak terjadi perpecahan atau kesan gubernur sebagai pemimpin tunggal,” ucap Teguh.
Model alternatif ini secara khusus ditujukan untuk pelaksanaan pemilihan gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Tenggara. Namun, menurut Teguh, daerah lain juga sangat mungkin menerapkan model alternatif tersebut dengan tetap didahului penelitian secara mendalam dan menyesuaikan dinamika serta kondisi sosial, budaya, dan politik wilayah tersebut.
Teguh menegaskan, dari dua model alternatif tersebut, yang paling realistis dilaksanakan sebenarnya adalah alternatif pertama. Pemerintah hanya perlu mempertegas pembagian kewenangan antara gubernur dan wakil gubernur.
”Hal tersebut penting untuk memastikan agar kepala daerah terpilih dapat bekerja secara maksimal dalam menyejahterakan masyarakat serta mampu mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik,” katanya.