Tak Cukup Haru di Jendela Virtual
Rasa haru tergugah saat upacara peringatan 75 tahun kemerdekaan Indonesia yang digelar serba minimalis akibat pandemi Covid-19. Namun, haru saja tak cukup. Peringatan hendaknya jadi momentum memaknai kembali kemerdekaan.
Upacara Peringatan ke-75 Detik-detik Proklamasi Kemerdekan Republik Indonesia di lapangan Istana Merdeka, Jakarta, membersitkan rasa haru bagi masyarakat. Momentum yang biasanya dirayakan dalam kemeriahan terpaksa dilakukan dengan suasana yang sangat berbeda akibat Covid-19.
Upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) di halaman Istana Merdeka, Jakarta, biasanya berlangsung semarak. Petugas dan peserta upacara tampil dengan kekuatan penuh. Sementara ribuan undangan hadir dengan berbagai busana berwarna-warni. Di luar pagar Istana, masyarakat menyemut di tribun yang telah disiapkan.
Namun, kali ini, semuanya berbeda. Guna menjalankan protokol kesehatan untuk menghindari penyebaran Covid-19, Sekretariat Negara selaku penyelenggara terpaksa menyiapkan upacara dengan kehadiran fisik di lokasi yang sangat minimalis.
Peserta upacara yang biasanya melibatkan ratusan personel dari empat matra, kali ini hanya 20 orang peserta. Setiap matra hanya diwakili lima personel.
Demikian pula dengan petugas upacara. Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka), misalnya. Tahun lalu, total jumlahnya mencapai 68 orang untuk upacara pengibaran dan penurunan bendera. Kali ini, petugasnya hanya delapan orang, tiga orang bertugas mengibarkan bendera di pagi hari dan tiga orang lain bertugas menurunkan bendara di sore hari. Adapun dua orang lainnya merupakan cadangan.
Baca juga : Bhinneka Tunggal Ika di Upacara Kemerdekaan
Sementara di mimbar kehormatan, hanya terdapat 14 pejabat negara. Selain Presiden Joko Widodo-Ibu Iriana Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin-Ibu Wury Ma’ruf Amin, hadir segelintir pimpinan lembaga negara.
Di antaranya adalah Ketua Majelis Permusyawaratan Perwakilan (MPR) Bambang Soesatyo, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani, dan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) La Nyalla Mattalitti.
Di sebelah barat lapangan Istana Merdeka biasanya didirikan tenda, tempat para ribuan undangan. Kali ini, sayap itu kosong. Tak ada tenda yang dibangun, tak ada undangan. Demikian pula dengan tribun untuk masyarakat di luar pagar. Tak ada tribun, tak ada masyarakat.
Kali ini, semuanya memang berbeda. Namun, untuk tetap melibatkan masyarakat dan undangan, Sekretariat Negara menyiarkan upacara secara virtual. Untuk itu, beberapa hari sebelum upacara, Sekretariat Negara mendistribusikan lebih dari 20.000 slot video konferensi.
Bagi masyarakat, salurannya sebanyak 17.845 slot. ”Slot sudah habis per dua hari yang lalu sehingga 16 Agustus pagi sudah habis. Banyak yang minta, tapi kita tidak bisa penuhi karena slotnya memang segitu,” kata Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono.
Sementara untuk undangan, saluran yang disediakan sekitar 3.000 slot. Undangan yang dimaksud meliputi para menteri dan wakil menteri, pimpinan lembaga negara, gubernur, bupati, wali kota, dan tokoh-tokoh masyarakat. Para petinggi TNI dan Polri serta pejabat setingkat eselon 1 di kementerian dan lembaga negara termasuk dalam slot ini.
Naskah proklamasi
Ada pula ikhtiar untuk membuat upacara spesial. Hal ini, misalnya, dilakukan dengan menghadirkan naskah konsep teks proklamasi yang ditulis tangan oleh Soekarno di mimbar kehormatan untuk disandingkan dengan Sang Saka Merah Putih yang dijahit oleh Ibu Fatmawati.
Untuk dekorasi, Sekretariat Negara menampilkan nuansa buah-buahan dari Nusantara. Laporannya, buah-buahan itu dibeli Sekretariat Negara dari sejumlah Usaha Kecil Menengah.
Sebelum upacara dimulai, panitia juga telah menyiapkan sajian acara budaya secara virtual. Di antaranya adalah tari-tarian dari sejumlah daerah, lagu-lagu yang dinyanyikan oleh beberapa artis, dan testimoni dari sejumlah tokoh nasional.
Pada Senin pukul 09.42 WIB, Presiden Jokowi memasuki lapangan upacara untuk menjadi inspektur upacara. Prosesi upacara berjalan lancar dan berakhir pada pukul 10.31 WIB.
Panitia telah berupaya membuat acara semarak dan hikmat. Untuk semarak, barangkali memang tidak mudah dengan protokol kesehatan yang ketat. Namun, untuk hikmat, barangkali upacara di suasana pandemi ini justru membersitkan rasa haru yang lebih dalam daripada biasanya.
Rasa haru
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang mengikuti upacara secara virtual dari kantor Kementerian Keuangan menyatakan, peringatan 75 tahun kemerdekaan RI mestinya ia rayakan secara bersama-sama, baik di lingkungan Kabinet Indonesia Maju dan pejabat negara lainnya, ataupun di lingkungan pegawai Kementerian Keuangan. Namun, Covid-19 membuat semuanya tidak sesuai keinginan dan rencana.
”Kita harus menghadapi realitas bahwa peringatan dilakukan secara virtual. Tadi di dalam setiap detik mengikuti upacara, saya merasakan sekali betapa ada perasaan sedih karena kita tidak mampu untuk bersama-sama mengekspresikan kegembiraan bersama-sama,” kata Sri Mulyani.
Baca juga : Pengibaran Merah Putih oleh Prajurit TNI, dari Bawah Laut dan dari Udara
”Jadi ini tadi perasaannya campur aduk, berkecamuk, antara bersyukur dan bertekad untuk maju, tapi ada tebersit rasa sedih karena tidak bisa merayakan peringatan bersama-sama. Saya beberapa kali terharu, tidak kuasa menahan air mata,” kata Sri Mulyani.
Peristiwa paling mengharukan bagi Sri Mulyani adalah saat pengibaran bendera Merah Putih dengan iringan lagu ”Indonesia Raya”. Dalam kondisi biasa saja, peristiwa ini selalu membuat perempuan kelahiran Semarang, 16 Agustus 1962, itu terharu. Apalagi dalam situasi saat ini.
”Saya enggak tahu, selalu muncul rasa haru dan bangga setiap kali mengikuti upacara pengibaran bendara dengan iringan lagu ”Indonesia Raya”. Muncul juga panggilan tanggung jawab untuk menjaga bangsa ini. Ngomong soal itu saja saya terharu,” kata Sri Mulyani agak tercekat.
Perasaan haru juga banyak dialami warganet yang mengikuti prosesi upacara di Youtube yang disalurkan secara langsung oleh akun Sekretariat Presiden. Akun bernama Faizal Miza, misalnya, mengungkapkan demikian. ”PASKIBRA yang identik dengan kekompakan banyaknya pasukan (petugas), ini hanya dikibarkan 3 pasukan (petugas) saja. Terasa banget sedihnya. Ya Allah semoga negeriku segera membaik dan pandemi ini segera berakhir. Amin.”
Sementara akun atas nama Titin Milasari menuliskan, ”Pengen nangis nontonnya. Di sebagian kabupaten, upacara bendera hanya digelar untuk beberapa orang saja. Pasukan pengibar pun seadanya. Indonesia kali ini sedang diuji, semoga cepat pulih negeriku, Indonesiaku”.
Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI M Jusuf Kalla yang mengikuti upacara secara virtual dari kediamannya di Jakarta mengatakan, sekalipun dilakukan secara virtual dan penuh kesederhanaan, upacara tetap berlangsung dengan penuh hikmat.
Namun, untuk tahun depan, Kalla optimistis upacara peringatan kemerdekaan RI sudah dapat kembali dilaksanakan seperti biasanya. Alasannya, Covid-19 sudah akan bisa diatasi sehingga masyarakat bisa kembali merayakan hari kemerdekaan dengan penuh rasa gembira.
”Tentunya tahun ini kita mengalami stagnasi karena pandemi Covid-19. Namun, tahun depan, insya Allah akan selesai dan upacara bisa dilangsungkan seperti biasa, dan rakyat bisa bergembira merayakan hari kemerdekaan,” kata Kalla.
Makna kemerdekaan
Peneliti Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi, menyatakan, sudah terlalu lama bangsa Indonesia bicara kemerdekaan sekadar dalam aspek seremoni, tetapi tidak memaknainya dalam arti kemerdekaan sebagaimana cita-cita para pendiri bangsa.
Puluhan juta rakyat miskin, Palupi mencontohkan, tidak menikmati kemerdekaan yang dicita-citakan para pendiri bangsa ini. Untuk memperjuangkan hak mendapatkan kebutuhan hidup dasar saja, mereka harus jumpalitan, berhadapan dengan aparat hukum, dan akhirnya kalah. Ironisnya, tak sedikit yang kisahnya berakhir di penjara atau bahkan mati tanpa penegakan hukum.
Oleh karena itu, bicara peringatan kemerdekaan harus juga bicara tentang kesejahteraan rakyat sebagaimana terekam dalam berbagai indikator kesejahteraan rakyat. Misalnya adalah indikator ruang hidup sebagai salah satu hak paling hakiki bagi manusia sekaligus hak yang diperjuangkan selama ratusan tahun oleh para pejuang kemerdekaan nasional.
Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional, 56 persen aset berupa properti, tanah, dan perkebunan dikuasai hanya oleh 0,2 persen penduduk Indonesia. Sementara Sensus Pertanian 2013 menunjukkan, sebanyak 26,14 juta rumah tangga tani hanya menguasai lahan rata-rata 0,89 hektar (ha) per keluarga.
Sebanyak 14,25 juta rumah tangga tani lainnya hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 ha per keluarga. Padahal, skala ekonomi sektor pertanian mensyaratkan kepemilikan lahan minimal 2 ha. Ini belum bicara tentang jutaan buruh tani yang tidak mempunyai lahan sama sekali.
Baca juga : Dampak Resesi terhadap Kemiskinan
Sementara laporan data perusahaan manajemen investasi global Credit Suisse pada 2014 menunjukkan, 1 persen kelompok terkaya Indonesia menguasai 50,3 persen dari total aset uang dan properti di Indonesia. Bank Dunia menyebutkan, 10 persen orang terkaya Indonesia menguasai 77 persen dari total kekayaan di Indonesia.
Bandingkan dengan jumlah penduduk miskin di Indonesia yang mencapai 26,42 juta jiwa atau 9,78 persen dari total penduduk Indonesia. Ini adalah data Badan Pusat Statistik per Maret 2020. Sementara penduduk rentan miskin jumlahnya mencapai sekitar 50 juta jiwa. Jika digabungkan, penduduk miskin dan rentan miskin berjumlah lebih dari 76 juta jiwa atau hampir 30 persen dari total penduduk Indonesia.
”Ini belum bicara rendahnya kesejahteraan buruh, rendahnya kualitas SDM, masalah stunting, dan sebagainya. Politik kebijakan ekonomi kita melayani kepentingan global, seperti masa kolonial, bukan ekonomi yang melayani kesejahteraan rakyat. Dari pilihan kebijakan ekonomi saja sudah sulit mengatakan ini kemerdekaan. Maka yang terjadi kemudian adalah rakyat diempas dari satu krisis ke krisis yang lain. Ketika aset ekonomi tidak di tangan rakyat, ketika aset ekonomi dilucuti dari tangan rakyat, jangan bicara kemerdekaan karena itu bertolak belakang dengan cita-cita kemerdekaan,” tutur Palupi.
Bung Hatta, Sang Proklamator tercinta, satu kali pernah mengingatkan, ”Indonesia merdeka bukan tujuan akhir bangsa kita. Indonesia merdeka hanya syarat untuk bisa mencapai kebahagiaan dan kemakmuran rakyat”.
Maka jika peringatan 75 tahun kemerdekaan Indonesia diliputi suasana prihatin karena pandemi, baiklah itu menjadi ruang refleksi bagi para pemimpin dan seluruh pemangku kepentingan yang telah diberi amanat rakyat untuk mengelola Bumi Pertiwi ini.
Baiklah itu menjadi alarm bahwa peringatan kemerdekaan bukanlah kalender tahunan untuk romantisme, melainkan ruang untuk melihat kembali politik kebijakan yang telah dilakukan dan akan dilakukan, apakah sejalan dengan cita-cita kemerdekaan atau justru mengkhianatinya.
Dan jika peringatan kemerdekaan melalui jendela virtual kali ini membersitkan rasa haru, baiklah itu menjadi awal yang baik. Mari bung, kembali ke tujuan Indonesia merdeka, dengan atau tanpa Covid-19.