Pandemi Covid-19 memaksa Istana mengubah berbagai kebiasaan dalam upacara peringatan Hari Kemerdekaan Ke-75 RI. Hanya satu yang tak berubah, inspektur dan peserta upacara mengenakan pakaian adat dari banyak daerah.
Oleh
ANITA YOSSIHARA/FX LAKSANA AS/NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 memaksa Istana beradaptasi dengan mengubah berbagai kebiasaan dalam penyelenggaraan upacara peringatan Hari Ulang Tahun Ke-75 Republik Indonesia pada Senin (17/8/2020). Hanya satu yang tak berubah, inspektur dan peserta upacara mengenakan pakaian adat, beragam dari banyak daerah di Tanah Air.
Presiden Joko Widodo selaku inspektur upacara, misalnya, mengenakan pakaian adat Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pakaian berupa sarung, rompi, serta ikat kepala, lengkap dengan tas selempang berwarna merah yang melambangkan keberanian.
Masyarakat Timor Tengah Selatan biasa menyebut ikat kepala dengan dester atau pilu. Presiden mengenakan dester berbentuk dua tanduk kecil yang melambangkan fungsi raja sebagai pelindung rakyat.
Adapun tas selempang biasa digunakan untuk menyimpan sirih, pinang, dan kapur. Masyarakat Timor Tengah Selatan memang punya budaya mengunyah sirih sehingga sering membawa tas selempang berisi sirih, pinang, dan kapur. Mengunyah sirih dan pinang menjadi semacam pemersatu sekaligus bentuk tanda kasih dan hormat kepada sesama.
Kain yang dikenakan Presiden merupakan kain tenun yang berasal dari Nunkolo, salah satu kecamatan di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Motifnya kaif berantai Nunkolo yang sudah dimodifikasi. Bentuk belah ketupat dimodifikasi dengan meletakkan batang di tengah-tengahnya untuk menggambarkan sumber air. Adapun tepiannya bermotif gerigi untuk melambangkan wilayah yang berbukit dan berkelok-kelok.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin tak mau ketinggalan. Ia memilih mengenakan baju adat Melayu untuk menghadiri upacara peringatan kemerdekaan.
Sementara Ibu Negara Nyonya Iriana Joko Widodo memilih mengenakan pakaian nasional. Adapun Nyonya Wury Estu Handayani, istri Wapres, mengenakan baju kurung khas Melayu.
Para pemimpin lembaga negara yang mengikuti upacara di halaman Istana Merdeka juga mengenakan baju adat dari sejumlah daerah.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo, misalnya, mengenakan pakaian khas Betawi lengkap dengan peci dan jam rantai.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Puan Maharani mengenakan pakaian adat Jambi lengkap dengan penutup kepala atau tengkuluk Bai Bai yang biasa dikenakan perempuan dewasa. Selain berfungsi sebagai salah satu pelengkap busana tradisional, tengkuluk biasa digunakan saat acara formal, pesta adat, serta pelindung kepala saat di ladang.
”Seiring bergulirnya waktu, fungsi tengkuluk tidak sekadar penutup kepala, tetapi juga sebagai alat atau penunjuk agama dan status sosial. Hingga kini, tengkuluk masih tetap setia menjadi simbol kecantikan dan keluhuran budi wanita Melayu Jambi,” ujar Puan.
Peserta upacara lain yang mengikuti upacara secara virtual dari kantor dan rumah masing-masing juga mengenakan pakaian adat.
Jusuf Kalla, Wakil Presiden ke-10 dan ke-12, mengenakan pakaian adat Betawi saat mengikuti upacara Detik-detik Proklamasi dari kediaman pribadinya di Jalan Brawijaya, Jakarta.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung yang mengikuti upacara dari kediamannya di Jakarta mengenakan beskap, kain batik, dan belangkon, pakaian adat Jawa. Adapun Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengenakan pakaian adat Madura, baju sakera, lengkap dengan ikat kepala untuk mengikuti upacara virtual dari kantornya.
”Indonesia, kan, bersatu dalam keberagaman, beragam daerahnya dan keagamaannya. Yang bisa ditunjukkan secara fisik, salah satunya dengan busana tradisional,” ucap Mahfud.
Baju sakera, menurut Mahfud, memiliki makna khusus. Baju tersebut terdiri dari baju hitam longgar atau pesa’an dan celana hitam longgar atau gomboran. Warna hitam melambangkan sikap gagah dan pantang menyerah, sedangkan bajunya yang serba longgar melambangkan kebebasan dan keterbukaan orang Madura. Selain itu, bentuk baju yang sederhana melambangkan kesederhanaan. Kemudian kausnya yang unik dengan motif garis merah putih memperlihatkan sikap tegas dan semangat juang tinggi orang Madura.
Adapun Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengenakan pakaian adat yang tak jauh dari tanah kelahirannya. Pria kelahiran Palembang, Sumatera Selatan, ini mengenakan pakaian adat Minangkabau, Sumatera Barat.
”Karena saya sudah ikut beberapa kali upacara HUT RI di Istana dengan beberapa baju adat. Adat kampung saya Palembang sudah, Papua sudah, Kalimantan juga sudah,” tutur Tito.
Pakaian adat yang dikenakan Tito ini merupakan pilihan istrinya. Tito mengutip saran istrinya bahwasanya pakaian adat Minangkabau simpel, tetapi tetap menarik. Meski demikian, kepribadian orang Minangkabau, menurut dia, patut dicontoh. ”Orang Minang dikenal banyak yang cerdas, religius, pandai berdagang dan perantau yang tangguh,” kata Tito.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo pun memilih mengenakan pakaian adat yang bukan dari tanah kelahirannya. Ia memakai pakaian adat Tapanuli Selatan, yang kerap digunakan masyarakat setempat ketika acara khusus adat Batak.
”Saya orang Indonesia dari Jawa Tengah, lahir di Solo. Masak pakai pakaian adat Jawa terus,” ujar Tjahjo.
Kekayaan Nusantara
Mengenakan pakaian adat Nusantara memang sudah menjadi tradisi dalam upacara peringatan hari kemerdekaan. Tahun sebelumnya, Presiden memilih untuk mengenakan busana adat khas Klungkung, Bali.
Menurut dia, Indonesia memiliki kekayaan adat budaya yang sangat tinggi, termasuk dalam hal pakaian adat.
”Dulu pernah Aceh, Sumatera Barat, pernah juga Kalimantan Selatan, pernah Sunda, pernah Jawa, Betawi, kemudian ke sana, Bali, Sasak, Bugis, pernah semua. Memang kekayaan budaya pakaian adat ini memang ribuan. Jumlahnya ribuan. Nanti sampai ke Maluku, Papua, semuanya nanti semuanya akan kita angkat,” kata Presiden kala itu.
Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono menjelaskan, Presiden mengenakan busana adat sebagai simbol ajakan kepada masyarakat untuk menghargai budaya Nusantara. Masyarakat juga diharapkan lebih mencintai produk-produk asli Indonesia.
Upacara peringatan kemerdekaan tahun ini boleh saja berbeda. Demi mencegah penularan Covid-19, upacara di halaman Istana Merdeka hanya diikuti oleh 14 orang, termasuk Presiden selaku inspektur upacara. Adapun peserta lainnya mengikuti upacara secara virtual dari kantor dan rumah masing-masing.
Meski berpisah jarak, semua tetap kompak mengenakan pakaian adat Nusantara. Dengan demikian, menyimak upacara kemerdekaan tahun ini seperti melihat parade Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda pakaian, berbeda tempat upacara, tetapi satu tujuan, yakni mengenang, menghormati, dan menyerap semangat para pejuang dalam menghadapi tantangan bangsa, termasuk saat ini ketika dihadapkan pada tantangan pandemi Covid-19.