Pengusutan oleh Jampidsus mengindikasikan adanya korupsi oleh oknum jaksa Pinangki dari pertemuannya dengan Joko Tjandra. Kepolisian diharapkan mengusut dari sisi pidana umum.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR/NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jaksa Agung Muda Pidana Khusus mulai menelusuri dugaan tindak pidana yang dilakukan oknum jaksa, Pinangki Sirna Mulasari, terkait pertemuannya dengan terpidana kasus pengalihan hak tagih utang Bank Bali, Joko Tjandra, saat masih buron.
Penanganan oleh jaksa pidana khusus mengindikasikan adanya dugaan pidana khusus, yaitu korupsi, dalam kasus itu. Untuk dugaan pelanggaran pidana umum dari pertemuan tersebut, kepolisian diminta menyelidikinya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) Hari Setiyono mengatakan, Selasa (4/8/2020), penelusuran dugaan tindak pidana Pinangki dilakukan oleh tim jaksa di Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) setelah Jaksa Agung Muda Pengawasan menyerahkan berkas hasil pemeriksaan terhadap oknum jaksa tersebut ke Jampidsus, Senin (3/8/2020).
Direktur Penyidikan pada Jampidsus Febrie Adriansyah mengatakan, dari hasil pendalaman, pihaknya akan memutuskan apakah kasus itu dilanjutkan ke tahap penyelidikan atau tidak. ”Saya kira (pendalaman) tidak lama, dalam beberapa hari akan ada pendapatnya dari jaksa di Pidsus,” katanya.
Ditanyakan soal kemungkinan adanya aliran dana dari Joko Tjandra ke Pinangki, Febrie kembali menekankan akan mendalami terlebih dulu hasil pemeriksaan Pinangki.
Pekan lalu, Kejagung mencopot Pinangki dari jabatannya. Namun, dasar pencopotannya karena dia melakukan pelanggaran disiplin pegawai negeri sipil. Ia sembilan kali ke luar negeri, di antaranya ke Malaysia dan Singapura, pada 2019 tanpa izin dari pimpinan.
Dugaan pertemuan Pinangki dengan Joko Tjandra pertama kali dilaporkan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) ke Komisi Kejaksaan, Jumat (24/7). Ini berdasarkan bukti foto bersama keduanya yang diperoleh MAKI. Di foto lainnya, Joko dan Pinangki terlihat berfoto bersama dengan Anita Kolopaking, kuasa hukum Joko Tjandra.
Selain bukti foto, MAKI juga menyerahkan bukti foto dokumen perjalanan Pinangki bersama Anita, dari Jakarta ke Kuala Lumpur, Malaysia, pada 25 November 2019.
Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak mengatakan, dengan laporan pemeriksaan Pinangki diserahkan kepada Jampidus, terdapat indikasi adanya tindak pidana khusus, seperti suap, dalam kasus tersebut. ”Apabila ditemukan ada indikasi tindak pidana lain seperti korupsi, kejaksaan punya kewenangan menyidik melalui Jampidsus,” katanya.
Namun, tak hanya mengusut dugaan pidana khusus, ia berharap dugaan pidana umum dari pertemuan tersebut juga diusut. Untuk ini, kewenangan ada di kepolisian. Oleh karena itu, ia mendorong Badan Reserse Kriminal Polri juga mengusutnya selain mengusut kasus surat jalan Joko Tjandra yang diterbitkan Brigadir Jenderal (Pol) Prasetijo Utomo.
Dari pertemuan itu, Barita melanjutkan, Pinangki bisa memenuhi unsur pidana yang tertuang dalam Pasal 221 dan 223 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Minta perlindungan
Secara terpisah, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Awi Setiyono mengatakan, Anita Kolopaking tidak memenuhi panggilan pemeriksaan penyidik dalam kasus penerbitan surat jalan Joko Tjandra. Dalam kasus itu, Anita berstatus sebagai tersangka bersama dengan Prasetijo Utomo.
”Alasan tidak bisa hadir karena pada hari Selasa dan Rabu (5/8) yang bersangkutan dimintai keterangan oleh LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban),” ujarnya. Oleh karena itu, penyidik akan menjadwalkan ulang pemeriksaan terhadap Anita.
Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo mengatakan, Anita mengajukan permohonan untuk dilindungi sebagai saksi dalam kasus penerbitan surat jalan Joko Tjandra. ”Kami mengundang Anita untuk mendapatkan informasi dan melakukan investigasi,” ujarnya.
Alasan mengajukan perlindungan, menurut Hasto, bukan karena dia menerima ancaman. ”Dia hanya melaporkan sebagai saksi supaya mendapat perlindungan, supaya aman, tetapi ancaman tidak ada,” ujarnya.
Atas permohonan itu, LPSK punya waktu 30 hari untuk mendalaminya. Namun, menurut Hasto, kecil kemungkinan permohonan dikabulkan karena Anita berstatus tersangka dalam kasus surat jalan tersebut.
Opsi lainnya, bisa saja dengan status tersangka itu permohonan perlindungan dipenuhi, dengan syarat Anita menjadi saksi yang bekerja sama dengan penegak hukum (justice collaborator) dalam membongkar kasus surat jalan.
”Namun, untuk ini pun sepertinya sulit juga. Sebab, salah satu syarat menjadi justice collaborator, kan, harus mengakui kesalahannya. Nah, sampai sekarang, dia tidak merasa bersalah,” kata Hasto.
Ia menekankan, pendalaman dan investigasi atas permohonan Anita perlu dilakukan guna mencegah LPSK digunakan tersangka untuk kabur dari jerat hukum oleh aparat penegak hukum.
”Kita sering menerima permohonan perlindungan untuk orang-orang yang ternyata mengajukan permohonan tersebut hanya untuk menghindari ditangkap polisi,” ujarnya.