Menkumham: Tidak Ada Pelanggaran Penerbitan Paspor Joko Tjandra
Setelah ditangkapnya Joko Tjandra, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly mengklaim tak ada pelanggaran administrasi ataupun hukum dalam penerbitan paspornya. Pengurusan paspor Joko dinilai sesuai prosedur.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly mengklaim tidak ada pelanggaran administrasi ataupun hukum dalam penerbitan paspor saat Joko Tjandra masih menjadi buronan. Menurut dia, penerbitan paspor tersebut sudah sesuai dengan persyaratan undang-undang.
”Kalau bicara soal Joko Tjandra, biar polisi yang periksa soal itu. Soal penerbitan paspor, tidak ada yang salah di situ karena dia punya KTP, kartu keluarga, dan akta kelahiran,” ujar Yasonna kepada wartawan, Senin (3/8/2020).
Karena memenuhi syarat, menurut Yasonna, Kementerian Hukum dan HAM tidak melakukan investigasi internal. Sebab, petugas yang menerbitkan paspor tersebut tidak melanggar aturan. Justru, petugas pelayanan itu dianggap sudah melakukan pelayanan publik. Apalagi, dalam data kependudukan dan keimigrasian tidak ditemukan bahwa Joko Tjandra masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Nama Joko Tjandra belakangan juga diketahui sudah terhapus dari red notice Interpol sejak 2014.
Kalau bicara soal Joko Tjandra, biar polisi yang periksa soal itu. Soal penerbitan paspor, tidak ada yang salah di situ karena dia punya KTP, kartu keluarga, dan akta kelahiran.
”Tidak ada di sistem (keimigrasian) bahwa dia DPO. Yang di bawah melihat dia memenuhi syarat, ya diterbitkan,” ucap Yasonna.
Namun, setelah ramai diketahui publik bahwa Joko S Tjandra adalah terpidana kasus korupsi dan buronan, Direktorat Jenderal Imigrasi buru-buru mencabut paspor tersebut. Melalui kuasa hukumnya, Anita Kolopaking, Joko mengembalikan paspor yang diterbitkan oleh Kantor Imigrasi Jakarta Utara itu. Menurut Yasonna, setelah dikembalikan, diketahui bahwa Joko belum pernah menggunakan paspornya.
Hal senada diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD saat diwawancarai Kompas, Selasa (28/7/2020). Berdasarkan hasil rapat koordinasi lintas instansi, tidak ditemukan pelanggaran yang dilakukan petugas imigrasi. Sebab, persyaratan yang dimiliki Joko Tjandra saat mengajukan pembuatan paspor sudah lengkap.
Meskipun demikian, Mahfud tetap meminta Kemenkumham mendalami pemeriksaan petugas yang mengeluarkan paspor itu. Mengapa petugas tersebut dengan entengnya melayani Joko Tjandra yang merupakan terpidana buronan. Kemenkumham diminta menyelidiki apakah ada perjanjian tertentu yang dilakukan petugas di bawah meja.
”Yang masalah pelintasan (keluar-masuk Joko Tjandra ke Indonesia) sudah dicek memang tidak ada datanya. Tetapi, Kemenkumham bilang masih diselidiki dan diperiksa apakah ada pelanggaran administratif atau hukum dalam penerbitan paspor tersebut,” kata Mahfud.
Berkekuatan hukum tetap
Menanggapi klaim kuasa hukum Joko Tjandra yang mengatakan vonis Mahkamah Agung cacat hukum, Mahfud mengatakan orang yang divonis akan mencari berbagai cara untuk mengatakan bahwa dirinya tidak bersalah. Namun, jika melihat kronologi kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, menurut Mahfud, putusan itu sah. Sebab, putusan dibuat jauh sebelum Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa jaksa tidak berhak mengajukan peninjauan kembali (PK).
Mahfud menjelaskan, dalam skandal Bank Bali itu, ada tiga tersangka, antara lain Syahril Sabirin dan Pandey Lubis. Syahril dan Pandey sudah diproses hukum dan sudah ada putusan pengadilan yang inkrah. Keduanya juga menerima hukuman penjara tersebut. Namun, dalam kasus itu, ada uang kerugian negara senilai Rp 900-an miliar yang harus dikembalikan. Uang tersebut berada di tangan Joko Tjandra.
Dalam putusan pengadilan tingkat pertama, Joko Tjandra dibebaskan dari tuntutan hukum karena dianggap kasus perdata. Padahal, kasus itu merupakan satu paket. Dengan alasan ingin mengembalikan uang kerugian negara, jaksa kemudian mengajukan PK. PK dikabulkan oleh MA, tetapi Joko Tjandra lari sehari sebelum putusan dibacakan.
”Alasan jaksa mengajukan PK itu karena sudah ada dua teman korupsinya dihukum pidana, kok Joko Tjandra diputuskan jadi kasus perdata? Padahal, dia yang memegang uangnya. Bagaimana negara mau ambil kalau itu perdata? Di PK itu kemudian, MA mengabulkan jadi kasus pidana korupsi. Kemudian, Joko Tjandra lari,” tutur Mahfud.
Alasan jaksa mengajukan PK itu karena sudah ada dua teman korupsinya dihukum pidana, kok Joko Tjandra diputuskan jadi kasus perdata? Padahal, dia yang memegang uangnya. Bagaimana negara mau ambil kalau itu perdata? Di PK itu kemudian, MA mengabulkan jadi kasus pidana korupsi. Kemudian, Joko Tjandra lari.
Mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016 yang menyatakan bahwa jaksa tidak boleh mengajukan PK, menurut Mahfud, putusan MA bersifat prospektif. Putusan MK tidak berlaku surut. Karena putusan PK sudah ada sejak tahun 2009, putusan sah dan tidak melanggar hukum. Sebelum putusan tersebut, jaksa masih boleh mengajukan PK. Selama rentang waktu itu pun, banyak jaksa yang mengajukan PK dan dikabulkan oleh MA.
Contohnya adalah kasus eksekutor pembunuhan Munir, Pollycarpus. Saat itu seharusnya pilot maskapai tersebut dapat bebas karena lamanya vonis sudah sama dengan masa hukuman yang dijalani. Namun, kemudian PK jaksa dikabulkan dan MA memperpanjang masa hukumannya. Selain itu, ada kasus Muchtar Pakpahan pada tahun 1996. Dalam kasus tersebut, jaksa juga mengajukan PK dan dikabulkan MA.
”Putusan MA tahun 2009 sah dan berkekuatan hukum tetap sehingga harus dieksekusi oleh kejaksaan,” kata Mahfud.