Perampingan lembaga masih akan terus dilanjutkan untuk mengefektifkan kerja birokrasi. Pada saat bersamaan, pemerintah juga membatasi pembentukan lembaga baru.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah membatasi pembentukan lembaga baru agar perampingan jumlah lembaga yang telah dilakukan selama ini tak sia-sia. Kalaupun lembaga baru terpaksa dilahirkan, tugas pokok dan fungsinya harus untuk mempercepat pencapaian target negara dan ada batas waktunya.
Berdasarkan data Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB), hingga saat ini di Indonesia terdapat 94 lembaga nonstruktural (LNS). Total LNS tersebut terbagi menjadi tiga, yakni lembaga yang dibentuk melalui undang-undang (71 lembaga), dibentuk lewat peraturan pemerintah (6 lembaga), serta dibentuk melalui peraturan presiden atau keputusan presiden (17 lembaga).
Menpan dan RB Tjahjo Kumolo, kepada Kompas, di kantornya, Jakarta, Selasa (28/7/2020), mengatakan, jumlah lembaga itu masih terlalu banyak. Karena itu, Kemenpan dan RB mengevaluasi keseluruhan lembaga itu. Hasilnya, hampir 50 persen masih dibutuhkan.
Tjahjo belum bisa menargetkan jumlah lembaga yang harus dileburkan agar kerja birokrasi semakin efektif dan efisien. Ia hanya menegaskan, menurut arahan Presiden Joko Widodo, perampingan lembaga merupakan hal yang mutlak, termasuk pemangkasan eselonisasi di birokrasi.
”Kami sepakat untuk mengurangi itu,” ujar Tjahjo.
Sebelumnya, melalui Perpres Nomor 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 20 Juli 2020, sebanyak 18 tim kerja, badan, dan komite dibubarkan Presiden.
Tjahjo mengungkapkan, pembubaran 18 lembaga itu masih merupakan tahap pertama. Untuk tahap kedua, Kemenpan dan RB telah menyerahkan pembubaran 18 LNS lain yang dinilai tak lagi dibutuhkan saat ini.
Pembubaran lembaga bukan semata-mata demi efisiensi anggaran. Namun, hal itu didasari sejumlah evaluasi, antara lain pelaksanaan kinerja dan birokrasi, efektivitas lembaga pemerintahan, serta potensi tumpang-tindih dan fragmentasi antarkementerian atau lembaga.
”Jadi, pendekatannya tidak dengan anggaran, tetapi titik beratnya pada pemborosan kewenangan,” tutur Tjahjo.
Pemerintah, lanjut Tjahjo, juga akan membatasi pembentukan lembaga baru, terutama yang melalui UU. Dengan demikian, desain besar perampingan lembaga ini tidak berjalan sia-sia. Ia juga meyakini bahwa DPR akan mendukung langkah pemerintah tersebut.
”Saya kira enggak (akan membentuk lembaga baru). Kalau kami sudah mengurangi, memperkuat sistem yang ada, membangun tata kelola yang ada, saya kira tidak akan lagi (membentuk lembaga baru). Sekarang dalam membuat, membahas UU, juga tidak ya,” ujar Tjahjo.
Jangka waktu
Rini Widyantini, Deputi Bidang Kelembagaan dan Tata Laksana Kemenpan dan RB, tak memungkiri bahwa kekhawatirannya saat ini adalah pembentukan lembaga baru lewat sejumlah rancangan undang-undang (RUU) yang masuk Program Legislasi Nasional 2020. Namun, Kemenpan dan RB akan berjuang agar pembentukan lembaga baru tersebut tidak terjadi.
”Saya berjuang terus supaya (pembentukan lembaga baru) itu tidak disebutkan dalam UU. Ini, kan, akibatnya sekarang, kan, kami capek mau mengubah organisasi. Jadi susah,” ucap Rini.
Rini menambahkan, saat ini, Kemenpan RB tengah meredesain seluruh kementerian dan lembaga yang didasarkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Pembubaran lembaga akan diutamakan pada lembaga yang dibentuk melalui perpres dan keppres, serta tidak sesuai dengan target negara.
Jika terpaksa harus membentuk lembaga baru, menurut Rini, itu pun harus ada jangka waktunya. Dengan demikian, Presiden bisa mengevaluasi efektivitas lembaga tersebut ketika masa waktunya sudah habis.
”Kalau misal, Presiden melihat lebih efektif, itu kewenangan Presiden untuk diperpanjang. Jadi, memang mestinya dikasih jangka waktu, bagusnya begitu. Tetapi, kan, sekarang tidak seperti itu,” katanya.
Terlalu gemuk
Guru Besar Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Wahyudi Kumorotomo menilai, berdasarkan kajiannya, selain LNS, juga ada sejumlah kementerian yang sebenarnya juga bisa dileburkan. Menurut dia, dengan komposisi 34 kementerian yang ada saat ini, itu terlalu gemuk dan banyak fungsi yang tumpang-tindih.
Di China saja, menurut Wahyudi, hanya terdapat 22 kementerian. Dari kajian Wahyudi, idealnya, Indonesia cukup memiliki 25 kementerian.
”Kabinet kita terlalu gemuk. Jumlahnya begitu besar. Kita sering kali melihat, fungsi kementerian dengan non-kementerian, kan, juga banyak yang tumpang-tindih,” ujar Wahyudi.
Perampingan ini juga harus dilihat dari sisi belanja pegawai. Pada 2014, belanja pegawai mencapai Rp 241,6 triliun. Jumlah tersebut melonjak menjadi Rp 416,14 triliun pada 2019. Wahyudi menilai, jika belanja pegawai bisa dikurangi dengan menghilangkan lembaga yang tidak diperlukan, anggaran negara bisa lebih difokuskan untuk penanggulangan pandemi Covid-19.
”Jadi memang masih perlu dirampingkan kalau semangatnya untuk efisiensi dan efektivitas birokrasi,” tutur Wahyudi.
Wahyudi berharap, pemerintah tak lagi latah bereaksi untuk membentuk lembaga baru ketika terjadi masalah di luar dugaan. Pemerintah harus mampu mengoptimalkan terlebih dahulu lembaga yang sudah ada. Pola pikir seperti itu juga harus diterapkan ketika membahas RUU sehingga tidak ikut melahirkan badan atau lembaga baru.
”Kalau tak terkendali, itulah yang melahirkan proliferasi, dikit-dikit dibentuk lembaga baru untuk mengatasi hal baru. Padahal, sebenarnya fungsinya sebenarnya sama,” kata Wahyudi.
Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa menuturkan, agar rencana besar perampingan lembaga ini tak hanya menjadi agenda pemerintah, pemerintah perlu mengomunikasikannya dengan DPR. Dengan demikian, potensi bermunculannya lembaga baru lewat Rancangan UU tidak terjadi.
”Ini jadi penting sehingga jangan sampai di satu sisi pemerintah, misalnya, melakukan perampingan, di satu sisi usulan lembaga-lembaga baru muncul. Menurut saya, ini, kan, nanti menjadi tidak efektif,” ucap Saan.
Pemerintah melalui Presiden, lanjut Saan, bisa menyampaikan rencana besar itu kepada pimpinan DPR. Kemudian, pimpinan DPR akan mengonsultasikan hal tersebut kepada seluruh fraksi dan seluruh komisi.
”Ini harus dijadikan agenda bersama, bukan semata dari pemerintah,” ujarnya.