Masyarakat Usul Pidana dalam RUU PDP Diganti Denda
Masyarakat sipil mengusulkan agar ancaman pidana di dalam RUU Perlindungan Data Pribadi dihilangkan. Ancaman pidana dapat merujuk pada UU Informasi dan Transaksi Elektronik serta KUHP.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kelompok masyarakat mengusulkan agar pidana penjara yang diatur di dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi diganti dengan denda. Sebab, penerapan pidana tidak umum dikenal di dalam ketentuan perlindungan data pribadi.
Sejumlah elemen masyarakat yang berkecimpung di dalam dunia siber dan internet memberikan masukan kepada Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat untuk menghilangkan ketentuan pidana di dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP). Ancaman pidana itu sebaiknya dihilangkan karena juga berpotensi untuk bertentangan dengan regulasi lainnya. Masukan disampaikan melalui rapat dengar pendapat umum yang dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Partai Gerindra Bambang Kristiono.
Ancaman pidana itu sebaiknya dihilangkan karena juga berpotensi untuk bertentangan dengan regulasi lainnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (APTSI) Marwan O Bassir mengatakan, sanksi sebaiknya dibuat ringan. Sebab, ketentuan pidana di dalam RUU PDP juga bisa tumpang tindih dengan ketentuan lain, seperti di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
”Sanksi sebaiknya dibuat lebih ringan, dan sanksi pidana dihilangkan supaya tidak ada tumpang tindih dengan ketentuan lain. Kami juga setuju agar dibentuk komisi independen untuk mengawasi perlindungan data pribadi lebih efektif sebagaimana diterapkan di negara lain,” katanya.
Koordinator Koalisi Advokasi PDP Wahyudi Djafar mengatakan, sanksi pidana di draf RUU PDP sebaiknya dihilangkan. Sanksi pidana cukup mengacu pada UU ITE dan KUHP. Kejahatan siber, antara lain, diatur di dalam Pasal 30-35 UU ITE. Kejahatan tersebut juga dapat dijerat dengan Pasal 378 KUHP, yakni tentang penggelapan atau penipuan.
”Kalau ada kasus, sebaiknya dikembalikan ke UU ITE atau UU lain. Ancaman hukuman yang diatur di UU lain tersebut bahkan bisa mencapai 10 tahun penjara. Lalu, untuk apa dirumuskan kembali dalam UU ini. Sebaiknya sanksi diubah menjadi sanksi administratif atau penerapan denda,” kata Wahyudi.
Sanksi pidana cukup mengacu pada UU ITE dan KUHP. Kejahatan siber, antara lain, diatur di dalam Pasal 30-35 UU ITE. Kejahatan tersebut juga dapat dijerat dengan Pasal 378 KUHP, yakni tentang penggelapan atau penipuan. (Wahyudi Djafar)
Soal besaran dendanya, menurut Wahyudi, dapat dirumuskan dengan ketentuan denda paling rendah dan paling tinggi. Wahyudi mengusulkan agar besaran tingkat denda itu merujuk pada besaran unit usaha perusahaan penyimpan data warga.
”Kalau perusahaan besar dan nilai aset di atas Rp 10 miliar ke atas, misalnya, besaran dendanya bisa lebih besar. Adapun untuk perusahaan kecil atau UMKM, dendanya bisa lebih kecil,” ujarnya.
Bambang Kristiono mengatakan, masukan dari elemen masyarakat itu akan menjadi salah satu bahan pertimbangan komisi dalam membuat daftar inventarisasi masalah (DIM) untuk RUU PDP yang diusulkan oleh pemerintah. Pekan lalu, Komisi I DPR juga meminta masukan dari para pakar terkait dengan penyusunan DIM RUU PDP.
Komisi independen
Dari para pakar, Komisi I DPR menerima masukan tentang perlunya komisi independen. Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Nasdem Rizki Aulia Natakusumah mengatakan, komisi independen itu belum ditentukan, apakah terpisah dari pemerintah atau merupakan komisi yang sepenuhnya terpisah dari pemerintah maupun swasta.
”Idealnya, komisi itu sepenuhnya independen, tidak berada di bawah pemerintah maupun swasta. Keberadaan komisi itu pun disetujui oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Plate. Tetapi, dari pembicaraan terakhir, menteri menginginkan agar komisi itu masih berada di bawah naungan Kominfo,” ujarnya.
Rizki berpendapat, usulan untuk membentuk komisi di bawah pemerintah itu dinilai kurang tepat. Sebab, tidak mungkin komisi itu bisa bergerak bebas mengawasi pemerintah yang mengelola data warga. Dengan independen sepenuhnya dari pemerintah dan swasta, komisi independen itu akan lebih leluasa bekerja mengawasi pengelolaan data, baik oleh pemerintah maupun swasta.