DPR mengakui adanya kelemahan dalam penyusunan Prolegnas hingga di tengah tahun berjalan perlu ada evaluasi dan penyesuaian RUU prioritas 2020. DPR dinilai belum memiliki pijakan alasan yang jelas penyusunan Prolegnas.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat mengakui belum ada standar penyusunan Program Legislasi Nasional yang bisa dijadikan pijakan argumentasi atau alasan untuk mengusulkan suatu Rancangan Undang-undang sebagai prioritas pembahasan. Selama ini, penyusunan Prolegnas lebih banyak didasarkan pada usulan alat kelengkapan dewan maupun inisiatif anggota DPR.
Akibatnya, target Prolegnas melebihi kapasitas atau kemampuan anggota DPR untuk menuntaskannya. Dari tahun ke tahun, target Prolegnas meleset. Namun, jumlah RUU yang dimasukkan sebagai prioritas pembahasan terus bertambah, sehingga banyak RUU dalam Prolegnas yang tidak dapat direalisasikan. Di tengah pandemi, kondisi itu diproyeksikan akan memburuk karena kerja-kerja legislasi tidak bisa optimal dijalankan.
Dalam perencanaan itu ada sedikit kelemahan, karena Baleg hanya menampung usulan pikiran dari teman-teman AKD atau komisi, dan masukan dari pemikiran teman-teman anggota (Supratman Andi Atgas)
Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas, yang dihubungi Jumat (3/7/2020) di Jakarta, mengatakan, evaluasi Prolegnas 2020 yang dilakukan oleh DPR bersama pemerintah adalah salah satu upaya DPR merespons kritikan dari publik. Selama ini, DPR dikritik karena keinginan mereka untuk membuat RUU sangat tinggi, sementara realisasi RUU itu menjadi UU minim.
“Dalam perencanaan itu ada sedikit kelemahan, karena Baleg hanya menampung usulan pikiran dari teman-teman AKD atau komisi, dan masukan dari pemikiran teman-teman anggota. Tadinya kami memberikan satu komisi bisa mengusulkan dua RUU. Sekarang hanya diminta satu RUU, karena RUU lainnya ditarik,” katanya.
Dalam Prolegnas 2021, Supratman menjanjikan tidak membuat daftar Prolegnas yang terlalu banyak, sehingga berujung pada tidak tuntasnya pembahasan mayoritas RUU. Ia menilai maksimal Prolegnas tahunan terdiri atas 30 RUU. Sebab, melihat perkembangan Prolegnas dari tahun ke tahun, RUU yang tidak selesai dibahas DPR akan menjadi beban lembaga dan disoroti oleh publik.
“Kami akui dari sisi perencanaan memang seharusnya Prolegnas berbasis pada RPJMN (Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional), tetapi seharusnya hal itu dilakukan bersama pemerintah. Oleh karena itu, yang paling bagus adalah membentuk Pusat Legislasi Nasional sebagaimana diusulkan oleh Presiden Jokowi. Perencanaan Prolegnas bisa digodok bersama antara Pusat Legislasi Nasional dengan Baleg DPR, sehingga setelah disepakati sesuai dengan RPJMN, usulan legislasi itu dapat didistribusikan ke setiap AKD,” kata Supratman.
Sebanyak 16 RUU ditarik keluar dari Prolegnas 2020 untuk menyesuaikan target legislasi dengan kemampuan dan kapasitas DPR. Awalnya, terdapat 50 RUU dalam Prolegnas 2020. Dari hasil evaluasi Baleg DPR dengan perwakilan komisi terungkap sebagian besar RUU yang masuk dalam Prolegnas 2020 belum tuntas dibahas.
Kamis lalu, pemerintah dan DPR sepakat mengurangi 16 RUU dalam Prolegnas 2020. Selain mengurangi jumlah RUU, DPR dan pemerintah juga mengusulkan tiga RUU baru dan mengganti dua RUU untuk dimasukkan ke dalam Prolegnas 2020. Dari 16 RUU yang ditarik dari Prolegnas, sebagian di antaranya adalah RUU krusial yang menjadi perhatian publik untuk segera dibahas, seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), RUU Otoritas Jasa Keuangan (OJK), RUU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PHI).
Baleg DPR beralasan, 16 RUU ditarik keluar dari Prolegnas 2020 untuk menyesuaikan target legislasi dengan kemampuan dan kapasitas DPR. Awalnya, terdapat 50 RUU dalam Prolegnas 2020. Dari hasil evaluasi Baleg DPR dengan perwakilan komisi terungkap sebagian besar RUU yang masuk dalam Prolegnas 2020 belum tuntas dibahas. Bahkan banyak di antara komisi tersebut belum memulai tahap penyusunan RUU yang diusulkan dalam Prolegnas. Keterbatasan gerak dan aktivitas karena pandemi disebut menjadi kendala pembahasan legislasi.
Sejumlah RUU yang ditarik, seperti RUU PKS, dilakukan karena menunggu keselarasan sanksi yang diatur di dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). RKUHP yang berstatus limpahan (carry over) dari DPR periode sebelumnya saat ini, menurut Supratman, tinggal menunggu pengesahan dari DPR.
RUU PKS itu pun sebenarnya telah dialihkan menjadi kewenangan Baleg DPR untuk membahasnya, bukan lagi Komisi VIII. Pimpinan DPR telah menyurati Baleg mengenai hal ini. Akan tetapi, Baleg beralasan tidak dapat membahas RUU PKS karena beban kerja Baleg tahun ini cukup berat. Salah satunya ialah dengan adanya pembahasan RUU Cipta Kerja. Berbeda dengan sejumlah RUU yang ditarik dari Prolegnas, RUU Cipta Kerja yang problematik di mata publik tetap dibahas, bahkan ketika DPR reses.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan, pengurangan dan penambahan RUU oleh Baleg DPR itu tidak bermakna apa-apa kecuali menunjukkan DPR tidak memiliki basis kerja yang jelas dalam membuat perencanaan dan pembahasan legislasi. Akibatnya, perencanaan itu berubah di tengah jalan. Sesuatu yang telah ditetapkan sebagai prioritas tidak dapat dilakukan.
Pengurangan dan penambahan RUU oleh Baleg DPR itu tidak bermakna apa-apa kecuali menunjukkan DPR tidak memiliki basis kerja yang jelas dalam membuat perencanaan dan pembahasan legislasi. Akibatnya, perencanaan itu berubah di tengah jalan. Sesuatu yang telah ditetapkan sebagai prioritas tidak dapat dilakukan.
Sekalipun saat ini ada pandemi yang bisa dijadikan alasan bagi DPR untuk memenuhi targetnya, tetapi pengurangan dan evaluasi atas RUU itu pun idealnya didasarkan pada aspirasi dan kebutuhan publik. Bukan berdasarkan pada jumlah RUU yang bisa diajukan setiap komisi.
“Mereka hanya fokus pada daftar jumlah Prolegnas, tetapi tidak fokus pada konten atau substansi RUU. Banyak usulan publik yang terabaikan, dan mereka tidak peduli dengan itu. Bahkan, malah RUU yang tidak penting atau tidak menjadi kebutuhan publik justru dibahas dengan cepat,” kata Lucius.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), dalam keterangan resminya menyebutkan, penetapan 50 RUU sebagai RUU prioritas 2020 bukan tanpa masalah. Berdasarkan kajian PSHK tahun 2019, jumlah rata-rata RUU prioritas dalam 5 tahun terakhir adalah 50 RUU. Namun, setiap tahunnya DPR dan pemerintah hanya mampu menuntaskan pembahasan tak lebih dari 20 RUU. Bahkan, tidak semua RUU yang disahkan itu berasal dari Prolegnas, karena ada pula RUU lain, seperti ratifikasi perjanjian internasional.
“Praktik tambah-kurang RUU dalam Prolegnas Prioritas 2020 ini juga tidak menunjukkan adanya standar yang jelas dalam proses evaluasi. Evaluasi seharusnya diarahkan pada strategi pencapaian atau penyelesaian RUU berjalan, sesuai dengan arah perencanaan pembangunan, dan memiliki keterkaitan dengan upaya penanganan COVID-19 di tengah kondisi darurat kesehatan masyarakat,” kata Fajri Nursyamsi, Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK.
Penghapusan RUU di tengah tahun berjalan juga dinilai mencederai komitmen politik DPR kepada publik dalam pelaksanaan fungsi legislasi. Penarikan atau bahkan tidak selesainya RUU yang sudah direncanakan sama saja mempermainkan komitmen kepada masyarakat.
Penghapusan RUU di tengah tahun berjalan juga dinilai mencederai komitmen politik DPR kepada publik dalam pelaksanaan fungsi legislasi. Penarikan atau bahkan tidak selesainya RUU yang sudah direncanakan sama saja mempermainkan komitmen kepada masyarakat.
PSHK mendesak DPR dan pemerintah agar membuka kepada publik pertimbangan atas pengurangan RUU di dalam Prolegnas; menjalankan prosedur pembentukan undang-undang yang baik sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan membuka ruang seluas-luasnya bagi publik untuk menyampaikan aspirasinya terkait perubahan Prolegnas Prioritas 2020.