Buronan Joko Tjandra Lepas dari Pantauan Intelijen Kejaksaan
Buronan kasus korupsi Bank Bali, Joko Tjandra, sempat ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 8 Juni 2020. Bahkan, ia dikabarkan sudah berada di Indonesia sejak tiga bulan lalu.
JAKARTA, KOMPAS — Joko Tjandra, buronan kasus pencairan tagihan Bank Bali, lolos dari pantauan intelijen Kejaksaan Agung.
Padahal, Joko sempat ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 8 Juni 2020 untuk mendaftarkan permohonan peninjauan kembali terhadap putusan Mahkamah Agung yang memvonisnya 2 tahun penjara. Tak hanya itu, Joko dikabarkan telah berada di Indonesia sejak tiga bulan lalu. Selain itu, dalam pelariannya sejak vonis MA tahun 2009, ia leluasa bergerak di sejumlah negara, seperti Malaysia dan Singapura.
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengemukakan hal itu dalam rapat kerja dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta, Senin (29/6/2020).
”Kami ada kelemahan. Pada 8 Juni, Joko Tjandra informasinya datang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mendaftarkan PK (peninjauan kembali)-nya. Ini juga kelemahan intelijen kami. Tapi itu yang ada. Terus saya tanyakan ke pengadilan, ternyata itu didaftarkan di pelayanan terpadu sehingga identitasnya tidak terkontrol,” kata Burhanuddin.
Bahkan, ia memperoleh informasi Joko telah berada di Indonesia sejak tiga bulan lalu. Kemudian dalam pelariannya, ia pun memperoleh informasi bahwa Joko mudah ditemui. Di antaranya, ia menyebutkan, Joko mudah ditemui di Singapura dan Malaysia.
”Kita sudah beberapa tahun mencari Joko Tjandra ini. Tetapi yang melukai hati saya, saya dengar Joko Tjandra bisa ditemui di mana-mana, di Malaysia dan Singapura. Tetapi kita minta ke sana-sini juga tidak bisa ada yang bawa. Dan informasinya lagi yang menyakitkan hati saya adalah katanya tiga bulanan, dia ada di sini. Baru sekarang terbukanya. Saya sudah perintahkan Jamintel (Jaksa Agung Muda Intelijen), saya minta ini tidak terjadi lagi,” katanya.
Peristiwa masuknya buronan kejaksaan kembali ke Tanah Air tanpa diketahui pihak Imigrasi pun disinggungnya. Ia mempertanyakan aturan pencekalan terhadap Joko Tjandra. Seharusnya, menurut Burhanuddin, status terpidana itu membuat dia masih dicekal.
”Ini akan menjadi evaluasi kami, bahwa dia bisa masuk, karena memang aturannya katanya untuk masuk ke Indonesia dia tidak lagi ada pencekalan. Tetapi, pemikiran kami ialah dia sudah terpidana. Pencekalan untuk tersangka ada batas waktunya untuk kepastian hukum. Tetapi kalau ini sudah terpidana, seharusnya pencekalan ini terus-menerus dan berlaku sampai tertangkap. Ini akan jadi bahan pembicaraan kami nanti dengan pihak Imigrasi,” katanya.
Baca juga: Kejari Jayapura Kejar 39 Buron Terpidana Korupsi
Saat ini, dengan Joko Tjandra mengajukan PK, Burhanuddin berharap bisa menangkapnya saat persidangan PK. Sebab, persidangan PK mensyaratkan kehadiran langsung terpidana.
Ia pun telah menyiapkan timnya untuk menangkap Joko saat sidang perdana pengajuan PK di PN Jakarta Selatan, siang tadi. Namun, Joko ternyata tidak hadir sehingga sidang ditunda.
Burhanuddin menegaskan, pihaknya akan terus mencari Joko Tjandra. Ia mengaku belum menerima informasi terbaru mengenai keberadaan Joko, apakah dia masih di Indonesia atau sudah ke luar negeri. Namun, jika Joko terlihat di persidangan PK berikutnya, pihaknya akan segera menangkapnya.
”Pada dasarnya, kalau dia hadir (di dalam sidang) akan saya tangkap,” katanya.
Terpidana harus hadir
Dihubungi terpisah, pengajar hukum pidana Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan, mengatakan, pengajuan PK oleh terpidana bisa saja diwakili oleh kuasa hukumnya. Namun, khusus untuk pemeriksaan awal di pengadilan negeri, terpidana harus hadir langsung.
Hal itu diatur di dalam peraturan internal MA, yakni Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pengajuan Permohonan PK dalam Perkara Pidana.
Menurut Pohan, keharusan untuk menghadiri sidang PK secara langsung itu sebelumnya tidak diatur di dalam ketentuan apa pun. Namun, sejak ada kasus PK Sudjiono Timan yang diajukan oleh istrinya, selaku ahli waris, sementara Sudjiono Timan masih buron, keharusan bagi terpidana yang mengajukan PK untuk hadir langsung di pengadilan pun diatur. Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi pelaku tindak pidana yang lari dari proses hukum.
”Jika dia tidak hadir di dalam sidang pemeriksaan oleh PN, dengan sendirinya permohonan itu tidak mungkin bisa dilayani. Oleh karena itu, dia harus muncul,” katanya.
Baca juga: ST Burhanuddin, Kembali ke Kejaksaan
Pemeriksaan berkas PK di tingkat PN, menurut Pohan, dilakukan untuk menanyakan alasan terpidana mengajukan PK, serta kelengkapan berkas-berkasnya secara umum. Misalnya, salah satu alasan mengajukan ialah adanya bukti baru atau novum. Melalui pemeriksaan itu, hakim meminta terpidana menjelaskan keberadaan novum yang dimaksud.
Setelah berkas dan alasan pengajuan PK dipandang lengkap dan sesuai prosedur, berkas diteruskan ke MA. Selanjutnya, hakim agung yang akan memeriksa berkas permohonan PK terpidana tersebut.
”Biasanya pemeriksaan berkas PK di PN hanya satu kali atau satu hari saja cukup. Setelah itu, berkas dikirim ke MA untuk diperiksa,” kata Pohan.
Terkait dengan upaya kejaksaan untuk menangkap Joko Tjandra, menurut Pohan, tidak harus menunggu Joko hadir di pengadilan. Kejaksaan memiliki unit intelijen dan kelengkapan lainnya untuk menangkap Joko Tjandra.
”Kalau memang mau menangkap Joko Tjandra, kejaksaan harus mengerahkan segala kelengkapannya mencari di mana dia berada. Harus dipastikan apakah dia sudah ada di Indonesia. Sebab, kalau dia sudah ada di Indonesia, mestinya ada catatan perjalanan masuk dari pihak imigrasi,” ujarnya.
Dikutip dari pemberitaan harian Kompas, Joko Tjandra yang merupakan mantan Direktur PT Era Giat Prima (EGP) didakwa terlibat tindak pidana korupsi berkaitan dengan pencairan tagihan Bank Bali melalui cessie. Joko pertama kali disidangkan di Pengadilan Jakarta Selatan pada 24 Februari 2000.
Dalam dakwaan primer, Joko didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan negara sebesar Rp 940 miliar.
Dalam dakwaan itu disebut-sebut juga nama Setya Novanto (Wakil Bendahara Golkar), Rudy Ramli (mantan Dirut Bank Bali), Pande Lubis (mantan Wakil Kepala BPPN), mantan Ketua DPA AA Baramuli, mantan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN Tanri Abeng, Gubernur BI Syahril Sabirin, Marimutu Manimaren, Firman Soetjahja, Rusli Suryadi, serta mantan Menkeu Bambang Subianto (Kompas, 24/2/2000).
Baca juga: Meningkatkan Kepercayaan Publik Jadi PR Kejaksaan Agung
Namun, majelis hakim di Pengadilan Jakarta Selatan memvonisnya tidak bersalah. Selanjutnya, pada Juni 2009, Joko bersama dengan Syahril Sabirin dijatuhi pidana penjara 2 tahun oleh MA. Putusan itu bermula dari PK yang diajukan oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan kasasi yang menghukum 4 tahun penjara kepada mantan Wakil Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Pande Nasorahona Lubis (Kompas, 12/6/2009).
Namun, sejak putusan itu keluar, keberadaan Joko tidak diketahui. Ia sempat dikabarkan menjadi warga negara ilegal Papua Niugini.