Afirmasi terhadap Keterwakilan Perempuan Perlu Diperkuat
Kebijakan afirmasi terhadap keterwakilan perempuan perlu diperkuat di dalam RUU Pemilu. Saat ini, jumlah politisi perempuan di parlemen masih 20 persen dari total anggota DPR atau masih jauh dari angka ideal 30 persen.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberian ruang afirmasi bagi keterwakilan perempuan dalam parlemen menjadi kunci penting upaya meningkatkan pelibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan di Tanah Air. Untuk mencapai hal itu, kebijakan afirmasi terhadap keterwakilan perempuan sebaiknya diatur secara tegas dan didorong untuk dikuatkan di dalam Rancangan Undang-undang Pemilu yang sedang disusun Dewan Perwakilan Rakyat.
Upaya untuk mendorong afirmasi bagi keterwakilan perempuan di dalam parlemen itu menjadi topik utama dalam diskusi daring yang diselenggarakan Kaukus Perempuan Parlemen RI (KPPRI) bekerja sama dengan Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), Maju Perempuan Indonesia (MPI), dan didukung Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Jumat (26/6/2020), di Jakarta.
Narasumber yang hadir ialah Koordinator MPI Lena Maryana Mukti, Ketua Presidium KPP-RI Diah Pitaloka, Ketua Umum KPPI Dwi Septiawati Djafar, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan, dan dipandu moderator Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini.
Upaya menguatkan kebijakan afirmasi bagi perempuan dalam politik telah melalui jalan panjang, sejak Pemilu 2004.
Lena mengatakan, upaya menguatkan kebijakan afirmasi bagi perempuan dalam politik telah melalui jalan panjang, sejak Pemilu 2004. Pada tahun 2004, kalangan perempuan mendesak agar perempuan mendapatkan porsi yang sama dengan laki-laki pada pencalonan yang berbasis nomor urut. Untuk memperbesar potensi keterpilihan nomor urut, perempuan diusulkan untuk ada dalam setiap tiga pencalonan. Urutan calon anggota legislatif (caleg) laki-laki dan perempuan disusun mengikuti sistem zipper (selang-seling) sehingga setiap tiga calon pasti ada satu calon perempuan. Hal ini membuat perempuan bisa berada pada nomor urut 1, 2, atau 3 dalam urutan pencalegan.
”Namun, pada tahun yang sama, keluar putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan sistem pemilihan dengan suara terbanyak tidak bertentangan dengan konstitusi. Dengan adanya perubahan sistem di tengah berjalannya tahapan itu, perempuan yang ditempatkan dengan sistem zipper itu harus bertarung untuk mendapatkan suara terbanyak,” katanya.
Dorongan untuk memberikan afirmasi bagi keterwakilan perempuan tidak berhenti di situ, termasuk untuk Pemilu 2014 dan Pemilu 2019. Dengan tidak berlakunya nomor urut, sistem zipper dinilai tidak lagi yang paling menentukan dengan keterpilihan seorang caleg. Dengan sistem suara terbanyak, tidak ada kepastian bagi caleg perempuan, sekalipun ia menempati nomor urut satu, untuk dapat duduk di kursi parlemen. Oleh karenanya, kebijakan afirmasi anggota legislastif 30 persen perempuan belum dapat direalisasikan. Regulasi yang ada dinilai baru bisa memastikan angka 30 persen itu pada pencalonan, bukan keterpilihan.
Lena mengatakan, pembuat UU diharapkan bisa mendorong kembali kebijakan afirmasi itu dengan mengatur 30 persen caleg parpol yang berasal dari perempuan mendapatkan nomor urut satu. Sebab, hasil sejumlah studi menunjukkan, nomor urut tetap relevan dengan tingkat keterpilihan. Dengan upaya itu, diharapkan potensi bagi perempuan untuk terpilih dalam sistem proporsional terbuka masih terbuka lebar.
”Apa pun sistemnya, apakah itu proporsional terbuka atau tertutup, kebijakan afirmasi terhadap perempuan ini harus diperkuat,” katanya.
Dengan sistem suara terbanyak, tidak ada kepastian bagi caleg perempuan, sekalipun ia menempati nomor urut satu, untuk dapat duduk di kursi parlemen. Oleh karenanya, kebijakan afirmasi anggota legislastif 30 persen perempuan belum dapat direalisasikan.
Ahmad Doli Kurnia mengatakan, saat ini Komisi II memang sedang menyusun draf RUU Pemilu. Panitia kerja (panja) penyusunan draf telah dibentuk, dan akan bekerja sejak pekan depan dengan menggelar rapat terbuka. Dalam masa sidang ini, Komisi II DPR fokus menjaring pendapat dari publik, sehingga di akhir masa sidang keempat ini diharapkan bisa dihasilkan draf RUU Pemilu untuk diharmonisasi dan disinkronisasi di Badan Legislasi (Baleg).
Mulai pekan depan, Komisi II DPR melakukan rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan pakar-pakar dan masyarakat, termasuk kalangan perempuan. Rapat dalam penyusunan draf RUU Pemilu akan dilakukan tiga kali dalam seminggu. Isu afirmasi bagi keterwakilan perempuan di parlemen juga menjadi perhatian Komisi II DPR.
”Saat ini belum ada perubahan terhadap pengaturan tentang afirmasi keterwakilan perempuan. Kalau ada konsep yang lebih baru untuk mempertegas kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan, tentu itu bisa kami bahas. Tetapi, kami ingin beyond (melebihi) dari itu. Kalau misalnya afirmasi keterwakilan perempuan itu kami perkuat, tetapi sumber daya pembinaan perempuan di Indonesia tidak mengakselerasi upaya ini, mungkin ini menjadi masalah,” katanya.
Menurut Doli, hasil diskusinya dengan sejumlah pihak menunjukkan, keterwakilan perempuan di DPR saat ini sumber terbesarnya ialah mereka yang memiliki akses terhadap kepala-kepala daerah. Baik itu ada hubungan saudara, anak, keponakan, atau istri kepala daerah. Kedua, anggota parlemen perempuan juga banyak dari kalangan yang sebelumnya aktif di bidang seni.
”Kami berharap nanti perempuan-perempuan yang hadir di DPR ialah juga mereka yang memiliki rekam jejak yang panjang dalam aktivitas perjuangan perempuan, atau memiliki pengalaman organisasi, dan siap bertarung dengan siapa pun dalam merebut keterwakilannya di DPR,” kata Doli.
Keterwakilan perempuan di DPR saat ini sumber terbesarnya ialah mereka yang memiliki akses terhadap kepala-kepala daerah. Baik itu ada hubungan saudara, anak, keponakan, atau istri kepala daerah. Kedua, anggota parlemen perempuan juga banyak dari kalangan yang sebelumnya aktif di bidang seni.
Tujuan belum tercapai
Diah Pitaloka mengatakan, saat ini dengan sistem pemilihan berbasis suara terbanyak, ada 20 persen anggota parlemen perempuan. Hal ini masih belum bisa memenuhi cita-cita 30 persen perempuan di parlemen. Namun, raihan itu pun sudah cukup berat karena persaingan yang tidak ringan dengan calon-calon lain. Di samping itu, dukungan dari sesama perempuan juga belum dikelola dengan optimal. Artinya, tidak selalu pemilih perempuan memilih caleg perempuan. Upaya menjaga suara perempuan itu juga menjadi salah satu perjuangan berat.
”Kami berharap teman-teman yang selama ini intens dalam gerakan perempuan juga mendukung caleg perempuan, dan tidak meninggalkan caleg perempuan berjuang sendirian. Kalau tidak bisa mengumumkannya melalui jaringan, bisa juga melalui basis politik, sebab memang tidak mudah secara ekonomi maupun politik. Tidak semua perempuan bisa punya modal politik yang besar,” katanya.
Dwi Septiawati Djafar mengatakan, upaya untuk mendorong perempuan lebih aktif untuk terjun di bidang politik tidaklah mudah. Upaya kaderisasi atau pembinaan kepada perempuan agar tertarik untuk terjun ke politik memerlukan dukungan anggaran pula dari pemerintah.
Oleh karena itu, ia mengusulkan agar 30 persen dana bantuan politik (banpol) yang diberikan negara kepada parpol dialokasikan untuk membina atau mendidik perempuan untuk masuk ke dunia politik. Dengan demikian, ada terdapat cukup banyak stok kandidat perempuan yang berkualitas di setiap parpol.
Perempuan bahkan tidak boleh ditaruh nomor urut belakang. (Ketua KPU, Arief Budiman)
Arief Budiman mengatakan, KPU mendukung kebijakan afirmasi bagi keterwakilan perempuan di parlemen. Hal itu, antara lain, ditunjukkan dengan dibuatnya Peraturan KPU (KPU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik. Di dalam PKPU itu, KPU mewajibkan setiap tiga caleg yang diajukan parpol terdapat satu perempuan.
”Perempuan bahkan tidak boleh ditaruh nomor urut belakang,” katanya.