Dewan Perwakilan Rakyat didesak untuk tetap bisa menjalankan fungsi pengawasan di tengah dominannya partai politik koalisi pendukung pemerintah.
Oleh
INGKI RINALDI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat didesak untuk tetap bisa menjalankan fungsi pengawasan di tengah dominannya partai politik koalisi pendukung pemerintah. Selain itu, diharapkan pula ada kolaborasi antara DPR dan masyarakat sipil dalam menghasilkan undang-undang alih-alih sekadar menyetujui keinginan eksekutif.
Sebagian hal itu mengemuka dalam diskusi daring yang digelar Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Kamis (25/6/2020). Diskusi tersebut berjudul ”DPR Tukang Stempel? Menguji Efektivitas Parlemen di Bawah Dominasi Parpol Koalisi”.
Direktur Eksekutif The Indonesian Institute Adinda Tenriangke Muchtar mengatakan, DPR di era reformasi diharapkan bisa lebih responsif terhadap suara rakyat. Namun, pada praktiknya, fungsi pengawasan malah melemah.
Adinda mengatakan, anggota DPR mesti ingat bahwa mereka wakil rakyat dan bukannya wakil parpol. Ia juga mengatakan bahwa terkadang ada rasa frustrasi di sebagian masyarakat sipil tatkala berupaya menemukan kolaborasi dalam proses pembentukan undang-undang.
”Ada rapat dengar pendapat dan pembahasan naskah akademik. Namun, di mana peran kita sebagai masyarakat sipil dalam pelaksanaan fungsi kerja DPR,” kata Adinda.
Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) August Mellaz menyebutkan bahwa posisi DPR sebagai ”tukang stempel” itu dibutuhkan. Akan tetapi, di sisi lain, butuh pihak oposisi. Dalam konteks saat ini, tatkala peran itu hanya diambil PKS, maka hal itulah yang menjadi persoalan. Sebab, dengan demikian, praktik demokrasi menjadi tidak sehat.
Hal lain yang disoroti August adalah ketiadaan agenda partai koalisi pemerintah. Hal ini memunculkan persoalan lain. Termasuk agenda politik yang tiba-tiba muncul di tengah perjalanan bangsa. Sebagian di antaranya pembahasan RUU Cipta Kerja dan RUU Haluan Ideologi Pancasila.
”Sekarang (partai) oposisi terpinggirkan makin jauh. (Padahal) yang namanya politik itu plural,” kata August.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, pada kesempatan yang sama mengatakan, sejumlah gambaran kinerja DPR periode ini menunjukkan kesamaan dengan DPR di era Orde Baru. Terutama dalam kaitannya ketika memosisikan diri untuk memberikan legitimasi atas apa yang diinginkan pemerintah.
Lucius mencontohkan, pengesahan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara yang membuat publik terkejut saat tiba-tiba disahkan. Padahal, mestinya, kata Lucius, DPR memberi catatan-catatan khusus di ruang publik mengenai hal tersebut.
Sementara Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampow mengatakan, DPR terkooptasi oleh eksekutif menyusul kekuatan eksekutif yang lebih besar. Pemerintah disebutnya terlalu dominan dan terlalu kuat. Pada sisi lain DPR dinilai tidak mempunyai kekuatan politik.