Respons otoritas terhadap olok-olok menjadi cermin otoritas dalam menghidupi demokrasi. Maka, tindakan berlebihan polisi terhadap Ismail Ahmad yang mengunggah guyonan Gus Dur soal polisi jujur hendaknya tak terulang.
Oleh
Edna C Pattisina
·5 menit baca
Humor Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur tentang polisi jujur rupanya dianggap tidak lucu oleh Kepala Polres Kepulauan Sula Ajun Komisaris Besar Muhammad Irvan dan jajarannya. Ismail Ahmad (41) pun dipanggil ke kantor polisi dan disuruh meminta maaf terkait unggahannya di Facebook.
Ismail pun meminta maaf. Walau kepada media ia menjelaskan, lelucon itu ia unggah ke laman Facebook-nya karena merasa isinya cocok dengan yang ia rasakan. Lelucon yang sudah berusia puluhan tahun itu diciptakan dan berkali-kali dilontarkan Gus Dur. ”Hanya tiga polisi jujur di Indonesia: patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng,” kata Gus Dur.
Hingga hari ini, walau telah menjadi folklore atau cerita rakyat, lelucon itu masih mengundang senyum. Kalimat Gus Dur itu tidak logis. Bayangkan, dua benda disandingkan dengan sosok mantan Kapolri. Ketidaklogisan yang lain tentunya dari sekitar 470.000 polisi, pasti ada saja yang jujur dan punya integritas.
Akan tetapi, seperti disampaikan filsuf bahasa Ludwig Wittgenstein dalam teorinya, Permainan Bahasa (Language Game), arti sebuah kata atau kalimat itu tergantung pada aturan permainan yang berlaku. Aturan permainan di sini bisa diartikan konteks dan kesepakatan dari para pengguna yang terkait. Komunikasi lancar ketika semua orang yang terkait dalam saat tertentu sepakat dengan aturan permainan yang sedang berlaku.
Lelucon di atas bagi banyak orang Indonesia sejak bertahun-tahun yang lalu sampai sekarang masih mengundang tawa.
Namun, Kapolres rupanya sedang tidak ikut bermain sehingga ia tidak merasa lelucon Gus Dur itu lucu. Masalahnya, terjadi asimetri kekuasaan sehingga ia merasa punya kekuasaan untuk menyuruh Ismail minta maaf. Di sini kemudian terjadi irisan antara humor dan politik. Ibarat pasar gelap, humor dalam politik selalu terjadi, tidak saja di kalangan rakyat jelata, tetapi juga di kalangan elite.
Di Indonesia, ungkapan tertawalah sebelum tertawa itu dilarang adalah semboyan dari Warkop DKI, Dono Kasino Indro. Latar intelektual ketiganya membuat grup lawak mahasiswa Universitas Indonesia yang dibentuk tahun 1970-an ini fasih membicarakan isu-isu politik. Intimidasi dari Orde Baru kerap mereka terima. Oleh karena itu, sempat tercetus pikiran bahwa tidak lama lagi tertawa akan dilarang.
Politik dan humor
Sosok yang tercatat paling fasih berbicara tentang politik dan humor adalah Gus Dur sendiri. Ia bahkan memberikan kata pengantar untuk buku humor politik paling laris di tahun 1986, Mati Ketawa Cara Rusia. Gus Dur tidak hanya fasih berbicara dan menjadi seorang penguasa yang menjunjung demokrasi.
Ia juga bisa melihat bahwa rasa humor dari sebuah masyarakat mencerminkan daya tahan yang tinggi di hadapan semua kepahitan dan kesengsaraan.
”Kemampuan untuk menertawakan diri sendiri adalah petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan kebutuhan dan rasa hati di satu pihak. Kepahitan akibat kesengsaraan, diimbangi oleh pengakuan nyata akan keharusan menerima kesengsaraan tanpa patahnya semangat untuk hidup. Dengan demikian, humor adalah sublimasi dari kearifan sebuah masyarakat,” tulis Gus Dur.
Dari semua subyek humor, politik adalah yang paling banyak dijadikan sasaran humor. Tentang ini Jaya Suprana, juga sahabat Gus Dur, dalam pengantarnya di buku Humor Politik (1989) mengatakan, politik memang sering menjadi bulan-bulanan humor. Sebab, humor memang biasanya tumbuh subur di suasana yang kontradiktif dan munafik di mana realita tidak sesuai bahkan bertolak belakang dengan apa yang diidamkan.
Ketika politik menciptakan suasanya berjenjang antara yang berkuasa dan yang dikuasai, maka humor menjadi sarana demokratisasi paling mudah. ”Karena tertawa penguasa tak banyak beda dengan yang dikuasai. Hanya mungkin yang satu bisa lepas, yang lain terpaksa sembunyi-sembunyi,” tulis Jaya Suprana.
Humor bisa dimasukkan ke dalam folklore, yaitu cerita rakyat. Salah satu ahli folklore Indonesia, James Danandjaya yang juga Guru Besar Universitas Indonesia, mengatakan, humor politik muncul karena kebutuhan masyarakat melakukan kritik politik. Sementara, dalam tradisi Indonesia, kritik yang frontal itu tidak disukai. Gunanya, menurut Danandjaya dalam bukunya, Humor dan Rumor Politik Masa Reformasi (1999), agar pendengar yang sedang sumpek dengan situasi politik bisa punya rekreasi sejenak.
Ini joke saja dipermasalahkan, apalagi kalau kritik yang lebih serius. Padahal, penguasa itu harus dikritik. (Alissa Wahid)
Tekanan pada kritik
Mengomentari kasus Ismail Ahmad, Alissa Wahid mengatakan, buat Gus Dur, humor politik itu adalah kritik terhadap mereka yang punya kekuasaan.
Pemegang kekuasaan tidak selalu pemerintah, tetapi bisa juga otoritas lain. Kasus yang menimpa Ismail Ahmad membuat Alissa khawatir karena belakangan ini terlihat semacam tekanan pada lontaran-lontaran kritik.
”Ini joke saja dipermasalahkan, apalagi kalau kritik yang lebih serius. Padahal, penguasa itu harus dikritik,” kata putri pertama Gus Dur ini.
Humor membuat pendengarnya melakukan refleksi kritis terhadap kenyataan dan tidak merobot pada sistem.
Budayawan Garin Nugroho yang kerap memperhatikan humor-humor politik yang berlintasan di media sosial mengatakan, dalam olok-olok terkandung kritik, cermin diri, dan kebersamaan lewat budaya tawa.
”Inilah modal terbesar bangsa menghadapi krisis. Maka penerimaan dan cara bereaksi institusi pemerintah terhadap olok-olok menjadi cermin institusi pemerintah memandang dan menghidupi demokrasi. Kalau cara institusi pemerintah seperti itu (kasus Ismail Ahmad), kita kehilangan esensi demokrasi,” kata Garin.
Belakangan ini tidak saja institusi yang bertindak intimidatif. Beberapa kritik bahkan yang dilontarkan sebagai olok-olok seperti Bintang Emon malah diintimidasi secara verbal oleh sesama warga negara. Padahal, mungkin memang seperti Kepala Polres Kepulauan Sula, mereka tidak mengerti karena tidak ikut bermain dalam Permainan Bahasa yang sedang terjadi.
Akan tetapi, humor menjadi tidak lucu ketika ia harus dijelaskan. Oleh karena itu, cukuplah tulisan ini ditutup lagi-lagi dengan humor dari Gus Dur yang ditulis di kata pengantar Mati Ketawa Cara Rusia.
Suatu hari, Presiden Gonzales yang tidak populer dari Republik Pisang sedang berjalan-jalan dengan kudanya. Ketika menyeberang jembatan, kudanya terkejut sehingga Presiden Gonzales jatuh dan hanyut di sungai yang sangat deras. Ia ditolong seorang pengail ikan. Begitu berterima kasihnya, Presiden Gonzales bercerita panjang lebar siapa dirinya dan betapa berjasanya pengail ikan itu.
Ia lalu bertanya apa hadiah yang diinginkan pengail ikan. Apa pun akan diberikan. Pengail ikan itu menjawab dengan keluguannya. ”Satu saja Paduka. Tolong jangan ceritakan kepada siapa pun bahwa sayalah yang menolong Paduka.”