Pasca-pemanggilan Ismail di Maluku Utara, polisi diminta tidak terlalu sensitif. Kritik melalui lelucon atau guyonan kepada otoritas atau pemegang kekuasaan justru menunjukkan sehatnya pelaksanaan demokrasi.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kritik melalui lelucon atau guyonan kepada otoritas atau pemegang kekuasaan justru lebih sehat dalam demokrasi. Terlebih dalam situasi pandemi, aparat pemerintahan ataupun aparat penegak hukum diharapkan justru lebih dewasa merespons keresahan masyarakat.
Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Arie Sujito, ketika dihubungi, Jumat (19/6/2020) dari Jakarta, mengatakan, unggahan lelucon dari Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid tentang polisi mesti dipahami sebagai ekspresi keresahan masyarakat. Dalam konteks demokrasi, kritik yang disampaikan melalui lelucon atau guyonan justru lebih baik dibandingkan, semisal, dengan kekerasan.
”Dan, cara mengkritik melalui guyonan itu sesuai dengan kebiasaan masyarakat kita karena melalui itu pesan moralnya bisa sampai. Kepolisian pun tidak perlu merasa terancam. Yang penting, jadikan itu sebagai pijakan untuk berbenah,” kata Arie.
Cara mengkritik melalui guyonan itu sesuai dengan kebiasaan masyarakat kita karena melalui itu pesan moralnya bisa sampai. Kepolisian pun tidak perlu merasa terancam. Yang penting, jadikan itu sebagai pijakan untuk berbenah. (Arie Sujito)
Menurut Arie, pandemi Covid-19 telah berdampak pada semua sendi kehidupan masyarakat, termasuk aspek sosial dan politik. Dia mencontohkan, di masa awal pandemi Covid-19, banyak kelompok masyarakat atau komunitas yang mencurigai pendatang atau orang asing.
Hal itu, kata Arie, menunjukkan pandemi Covid-19 telah menciptakan situasi ketidakpercayaan di antara masyarakat. Tekanan yang dirasakan masyarakat juga meningkatkan sensitivitas dalam masyarakat.
Dalam konteks ini, menurut Arie, aparat pemerintahan atau penegak hukum diharapkan bersikap lebih dewasa terhadap kritik yang datang dari masyarakat. Terlebih kritik itu dilakukan dengan menyitir lelucon yang selama ini sudah ada di tengah masyarakat. Sementara kritik melalui lelucon pun juga sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, seperti melalui kesenian.
”Di era demokrasi ini, membiasakan untuk membangun kematangan diri itu penting. Guyonan itu, kan, tidak menyindir secara personal dan kelembagaan. Saran saya adalah dialog. Tidak perlu disikapi secara represif. Dan, itu bagian dari demokrasi serta budaya kita,” ujar Arie.
Polisi harus menjadi pihak pengkaji
Anggota Ombudsman RI, Adrianus Eliasta Meliala, mengatakan, kepolisian terlalu sensitif dalam menanggapi unggahan warga Kepulauan Sula tersebut. Sebab, kepolisian menempatkan diri sebagai pihak yang diserang.
”Hal itu tidak benar mengingat polisi selalu harus menempatkan diri sebagai pihak yang mengkaji apakah suatu unggahan memang mengganggu ketenteraman publik atau tidak,” kata Adrianus.
Menurut Adrianus, kepolisian perlu menyadari bahwa meskipun proses pemanggilan terhadap Ismail Ahmad tidak ada yang salah secara normatif, hal itu telah menimbulkan persepsi negatif. Padahal, dalam situasi saat ini, polisi semestinya lebih banyak mencari dukungan publik, bukan menimbulkan antipati dari masyarakat.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian Negara Republik Indonesia Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono, dalam keterangan tertulis, Jumat (19/6/2020), mengatakan, Polri tidak melakukan proses hukum terhadap warga Kepulauan Sula yang mengunggah lelucon Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid tentang polisi.
Hal itu tidak benar mengingat polisi selalu harus menempatkan diri sebagai pihak yang mengkaji apakah suatu unggahan memang mengganggu ketenteraman publik atau tidak. (Adrianus Eliasta Meliala)
”Tidak ada BAP (berita acara pemeriksaan), tidak ada kasus,” kata Argo.
Argo mengatakan, Kepala Kepolisian Daerah Maluku Utara telah menegur anggota Kepolisian Resor Sula. Selain itu, Polda Maluku Utara juga meminta Direktorat Reserse Kriminal Khusus untuk lebih teliti mengamati informasi yang beredar di masyarakat, terutama yang ada di media sosial.
Menurut Argo, Ismail Ahmad hanya dipanggil dan diminta klarifikasi terkait apa yang ditulis di media sosial. Pemanggilan itu dilakukan karena petugas menafsirkan seolah-olah ada sesuatu antara Ismail Ahmad dan institusi kepolisian.