Islam ”wasatiyah” yang menekankan pentingnya perdamaian merupakan masa depan Islam di Indonesia. Upaya memperkuat Islam ”wasatiyah” perlu dilakukan karena hanya dengan itulah, kemajuan sebagai bangsa bisa dicapai
Oleh
Nina Susilo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra mengungkapkan, Indonesia perlu memperkuat Islam wasatiyah atau Islam jalan tengah yang merupakan wajah Islam di masa depan. Islam wasatiyah yang selalu menawarkan kedamaian, bukan kekacauan, dapat membawa negeri ini mencapai kemajuan.
”Islam wasatiyah itulah saya kira masa depan Islam. Masa depan Islam itu bukan dengan meletakkan bom, bukan dengan kekerasan. Karena dengan Islam wasatiyah itu kita bisa menuntut ilmu, bisa belajar, bisa mengembangkan inovasi,” ujar Azyumardi dalam diskusi virtual bertajuk ”Moderasi Beragama, Islam Wasatiyah dan Kerukunan Bangsa”, Jumat (19/6/2020).
Islam wasatiyah itulah saya kira masa depan Islam. Masa depan Islam itu bukan dengan meletakkan bom, bukan dengan kekerasan. Karena dengan Islam wasatiyah itu kita bisa menuntut ilmu, bisa belajar, bisa mengembangkan inovasi.
Islam wasatiyah, tambahnya, sebenarnya telah berkembang sejak abad ke-17. Di Indonesia, cara beragama Islam yang tidak condong ke kiri atau kanan tersebut bertemu dengan kebudayaan lokal yang mengutamakan sikap tengahan. Konsep tepo seliro, tenggang rasa, enak sama enak atau tidak menang sendiri, dalam masyarakat Jawa merupakan budaya tengahan. Budaya tengahan tersebut kemudian melahirkan umat Islam Indonesia yang wasatiyah, inklusif, dan akomodatif.
”Puncaknya adalah NKRI dan Pancasila. Menurut Menteri Agama Alamsjah Ratu Prawiranegara, Pancasila adalah hadiah terbesar dari umat Islam untuk kesatuan dan kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, itu tidak pada tempatnya dan kita harus melawan setiap upaya untuk menghilangkan, apalagi menjadikan Ketuhanan menjadi Ketuhanan yang berkebudayaan. Itu jauh panggang dari api. Menghilangkan kontribusi umat Islam wasatiyah Indonesia terhadap upaya kemerdekaan Indonesia,” ujar Azyumardi.
Tak hanya itu, Indonesia adalah negara maritim. Dunia maritim, kata Azyumardi, adalah dunia kosmopolit yang terbuka dan inklusif, selalu bisa menerima orang lain. Karena itu, budaya ekstrem tak bisa bertahan di dunia maritim yang kuat dengan perdagangan. Islamisasi di Nusantara, seperti ditulis beberapa peneliti Indonesia, juga terjadi karena perdagangan dan budaya inklusif ini.
Dalam diskusi dengan moderator Prof Jamhari Makruf ini, hadir pula panelis lain, yakni pendiri Yayasan Lingkar Perdamaian Lamongan Ustaz Ali Fauzi, Pendiri Yayasan Hubbul Wathan Indonesia Ustaz Haris Amir Falah, dan Menteri Agama 2014-2019 Lukman Hakim Saifuddin.
Dalam cara beragama Islam yang moderat ini, menurut Lukman, terkandung dua prinsip dasar, yakni adil dan seimbang. Dengan demikian, Islam wasatiyah akan selalu memosisikan diri di tengah, tidak ada pada kutub yang ekstrem atau berlebihan dalam memahami agama secara tekstual, tetapi juga tidak terlalu liberal dalam memahami ajaran. Keseimbangan ini juga membuat manusia mengingat bahwa semua tafsir disiapkan manusia yang sehebat apa pun memiliki keterbatasan perspektif, sudut pandang, dan titik pijak.
Karena itu, semestinya nilai-nilai kemanusiaan, kesepakatan bersama, maupun ketertiban umum harus tetap menjadi pegangan dalam menerapkan ajaran Islam. Sebab, Islam hadir untuk menjaga harkat, derajat, dan martabat manusia sehingga tindakan merendahkan, menganiaya, apalagi menghilangkan eksistensi sesama manusia jelas berlebihan.
Salah satu prinsip dasar Islam adalah taat konsensus. Sebab, kata Lukman, fitrah manusia terbatas, sedangkan aspirasi manusia sangat beragam. Hal ini membuat kesepakatan bersama tidak bisa dihindarkan dalam hidup.
”Kalau ada paham yang mengatasnamakan Islam dan justru mengingkari konsensus, ini juga berlebihan,” tambahnya.
Islam juga hadir agar kemanusiaan tetap terjaga. Karena itu, ketertiban umum menjadi syarat mutlak. Untuk itu, tidak boleh ada pemahaman, apalagi tindakan yang merusak ketertiban umum.
Di sisi lain, Islam juga hadir agar kemanusiaan tetap terjaga. Karena itu, ketertiban umum menjadi syarat mutlak. Untuk itu, tidak boleh ada pemahaman, apalagi tindakan yang merusak ketertiban umum.
Ustaz Ali Fauzi yang pernah menjadi kepala instruktur pembuat bom dalam Jamaah Islamiyah menyebutkan penyimpangan dalam beragama sebenarnya sudah terjadi sejak dulu. Namun, di era milenial, motifnya sedikit berbeda, yaitu ketidakpuasan kepada penguasa.
Kendati demikian, proses untuk merekrut orang hingga akhirnya berujung pada aksi terorisme sesungguhnya tidak instan. Ia pun membantah apabila aksi terorisme yang pernah terjadi adalah rekayasa dan operasi intelijen.
Adapun proses untuk mengembalikan pemikiran radikal ke moderat juga memerlukan proses dan diskusi. Mengidentifikasi profil masalah juga menjadi penting untuk bisa mengatasi radikalisme. Tidak bisa diterapkan ”obat” yang seragam untuk semua yang berpaham radikal.
”Akar terorisme biasanya tidak tunggal dan saling terkait, karena itu penanganannya juga tidak bisa tunggal dan banyak perspektif. Ekstremisme dan radikalisme seperti penyakit komplikasi, jadi butuh penanganan khusus dan lama,” tutur Ustaz Ali Fauzi.
Ustaz Haris Amir Falah yang pernah menjabat Ketua Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) DKI pada 2008-2010 menjelaskan kemungkinan hijrah dari radikalisme ke Islam moderat karena dua faktor. Faktor internal terjadi karena ada kesempatan luas belajar tentang Islam ketika kesadaran mulai muncul. Sementara faktor eksternalnya adalah penanganan Detasemen Khusus (Densus) 88 yang sangat manusiawi dan menyentuh hati.