Tahapan Pilkada 2020 semakin dekat, tetapi rapat konsultasi DPR yang membahas peraturan KPU ditunda hingga Senin depan. Artinya, KPU hanya punya waktu satu hari saja persiapan untuk tahapan verifikasi faktual.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat memastikan rapat konsultasi dengan Komisi Pemilihan Umum guna membahas Peraturan KPU Pilkada dalam Kondisi Bencana Nonalam baru bisa dilakukan, Senin depan. Kebijakan ini dinilai pengamat seolah mengindikasikan tidak seriusnya DPR dan pemerintah menyokong penyelenggaraan pilkada di masa pandemi.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem Saan Mustopa saat dihubungi Rabu (17/6/2020) mengatakan, rapat konsultasi dengan KPU terkait dengan PKPU Pilkada dalam Kondisi Bencana Nonalam dipastikan baru bisa dilakukan Senin depan. Komisi II telah berupaya untuk mengadakan rapat konsultasi itu, Rabu ini, tetapi izin dari pimpinan DPR belum turun.
Menurut Saan, rapat konsultasi pada Senin pekan depan itu tidak akan berlama-lama, dan langsung membahas pada pokok persoalannya, serta memberikan persetujuan. Draf PKPU itu pun telah disampaikan kepada Komisi II DPR sehingga tidak akan dibutuhkan waktu lama untuk pembahasan dan penyelenggaraan tahapan tidak akan terkendala.
Rapat konsultasi pada Senin pekan depan itu tidak akan berlama-lama, dan langsung membahas pada pokok persoalannya, serta memberikan persetujuan. Draf PKPU itu pun telah disampaikan kepada Komisi II DPR sehingga tidak akan dibutuhkan waktu lama untuk pembahasan dan penyelenggaraan tahapan tidak akan terkendala.
”Sebelum dibawa ke forum resmi begini, kan aturan itu sudah disampaikan kepada KPU-KPU daerah sehingga nanti teknisnya teman-teman KPU yang lebih memahami,” kata Saan menambahkan.
Penyelenggaraan rapat konsultasi dengan KPU, Senin depan, atau 22 Juni 2020 mendatang, berdekatan dengan tahapan verifikasi faktual dukungan calon perseorangan. KPU sebelumnya telah memundurkan jadwal tahapan verifikasi faktual, yakni dari 18 Juni menjadi 24 Juni mendatang. Dengan rapat konsultasi baru bisa dilakukan 22 Juni, KPU hanya memiliki waktu satu hari untuk mengundangkan PKPU sebagai pedoman kerja penyelenggara di lapangan tersebut.
Diundurnya rapat konsultasi PKPU antara KPU dan DPR ini, menurut peneliti Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay, menunjukkan ketidakseriusan DPR mendukung penyelenggaraan pilkada pada masa pandemi Covid-19. Sebab, salah satu syarat utama dilakukannya pilkada pada masa pandemi adalah menyelenggarakan setiap tahapan dengan memperhatikan protokol kesehatan. Tata cara protokol kesehatan dalam pilkada dapat dilakukan dengan optimal jika ada landasan hukum yang jelas mengatur hal itu. Namun, sayangnya PKPU Pilkada dalam Kondisi Bencana Nonalam itu bahkan belum bisa diundangkan karena belum dikonsultasikan dengan DPR.
”Hal ini menunjukkan kekurangseriusan mereka (DPR) dan pemerintah, dan seolah-olah mereka hanya aktif di awal-awal karena mereka punya intens untuk tetap dilaksanakannya pilkada pada Desember. Tetapi, begitu tahapan dijalankan, mereka lepas saja. Ini menjadi problem bagi penyelenggara pemilu karena anggaran juga belum dicairkan oleh pemerintah,” kata Hadar, Rabu.
Penyelenggara mendapatkan beban berat karena mereka harus menyelenggarakan pilkada tanpa dukungan alat perlindungan diri (APD) yang sebelumnya disyaratkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dalam pelaksanaan pilkada di tengah pandemi. Landasan hukum dalam bentuk PKPU yang belum dapat dikonsultasikan dengan DPR juga makin memperpanjang ketidakjelasan penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi.
”Kalau rapat dilakukan pada 22 Juni 2020, dan anggap saja tidak ada masukan berarti dari DPR, KPU hanya memiliki waktu sehari untuk memutuskannya di dalam rapat pleno, dan mengirimkannya kepada Kemenkumham. Di Kemenkumham sendiri masih ada tahap sinkronisasi yang harus dilakukan, sedangkan tanggal 24 Juni sudah mulai tahapan verifikasi faktual yang harus turun ke lapangan,” ujar Hadar lagi.
Hal lain yang mestinya dipikirkan DPR adalah kebutuhan waktu untuk sosialisasi substansi PKPU itu kepada KPU di daerah, dan penyelenggara di tingkat kecamatan, desa, ataupun TPS. Tidak serta-merta isi PKPU itu pasti dipahami oleh penyelenggara di lapangan. Dengan terbatasnya waktu yang tersedia untuk melakukan sosialisasi kepada penyelenggara di lapangan, menurut Hadar, KPU menghadapi tantangan berat yang berpotensi untuk menurunkan kualitas penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi.
”Mereka (KPU) butuh waktu untuk memastikan KPU daerah betul-betul paham dengan aturan yang baru ini, dan bagaimana mengerjakannya. Ini ada penyesuaian baru, selain protokol kesehatan Covid-19. Jadi, ini menurut saya sudah tidak benar. Ini bisa merusak kualitas dari jalannya tahapan verifikasi faktual dukungan calon perseorangan itu,” kata Hadar lagi.
Ada dua solusi yang ditempuh KPU untuk mengatasi beban berat tersebut. Pertama, jika KPU masih yakin pilkada lanjutan bisa dilaksanakan dengan kondisi yang ada, sebaiknya KPU meminta masukan tertulis dalam satu atau dua hari ini kepada DPR dan pemerintah. Dengan demikian, konsultasi tidak harus dilakukan secara tatap muka atau rapat, tetapi masukan diminta secara tertulis. Jika tidak ada respons, PKPU bisa ditetapkan sebagai landasan kerja. Kedua, jika KPU tidak lagi yakin pilkada dapat dilaksanakan dengan baik dan sesuai protokol kesehatan Covid-19, KPU dapat menulis surat kepada DPR dan pemerintah agar pilkada kembali ditunda.
Menurut Hadar, tanggung jawab penyelenggaraan pilkada ada di tangan KPU sehingga mereka harus betul-betul memastikan tahapan dapat berlangsung dengan lancar. Jika hal itu tidak dipastikan untuk dilakukan di tengah pandemi, sebaiknya KPU bersikap tegas mengusulkan penundaan saja kepada DPR dan pemerintah daripada pilkada berisiko menimbulkan persoalan kesehatan bagi pemilih dan penyelenggara di lapangan.
Tak mendasarkan pada realitas
Saat ini, tahapan pilkada berjalan tanpa kerangka hukum yang jelas karena dilaksanakan di tengah bencana nasional dan status pandemi. Kapan PKPU itu akan disosialisasikan ke penyelenggara di daerah, dan kapan bimbingan teknisnya dilakukan. Padahal, di dalam PKPU tersebut, KPU memperbarui bimbingan teknik secara daring.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mengatakan, kerja-kerja penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi ini tidak rasional karena disiapkan tidak dengan mendasarkan diri pada realitas faktual di lapangan.
”Saat ini, tahapan pilkada berjalan tanpa kerangka hukum yang jelas karena dilaksanakan di tengah bencana nasional dan status pandemi. Kapan PKPU itu akan disosialisasikan kepada penyelenggara di daerah, dan kapan bimbingan teknisnya dilakukan. Padahal, di dalam PKPU tersebut, KPU memperbarui bimbingan teknik secara daring,” katanya.
Fadli menilai pilkada di tengah pandemi ini disiapkan dengan terburu-buru dan tidak berada dalam kerangka hukum yang cukup. Ditundanya pembahasan atau rapat konsultasi PKPU dengan DPR menguatkan indikasi dari ketidaksiapan penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi. Ketidaksiapan ini pun sudah bisa diperkirakan dari awal karena persiapannya yang dinilai terburu-buru.