Penerapan Sistem Proporsional Tertutup Harus Disertai Reformasi Partai Politik
Keinginan mengubah sistem pemilu proporsional terbuka menjadi tertutup harus disertai reformasi partai politik. Karena itu, revisi Undang-Undang Partai Politik dibutuhkan.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keinginan sejumlah partai politik untuk mengubah sistem pemilu proporsional terbuka menjadi tertutup harus disertai reformasi partai politik. Karena itu, jika memang ingin menerapkan proporsional tertutup, Undang-Undang Partai Politik harus direvisi.
Guru Besar Perbandingan Politik Universitas Airlangga, Ramlan Surbakti, saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (9/6/2020), melihat ada inkonsistensi dalam sistem kepemiluan di Indonesia. Hal itu terlihat dari peserta pemilu yang berasal dari partai politik, tetapi yang bersaing justru perseorangan dari partai. Ini berlanjut hingga kampanye. Uang kampanye dikeluarkan oleh para calon anggota legislatif, tetapi yang menyusun laporan pertanggungjawaban ke Komisi Pemilihan Umum adalah partai politik.
”Jadi, sistem pemilu proporsional terbuka campur aduk,” ujar Ramlan.
Kalaupun ada keinginan untuk mengubahnya menjadi tertutup, ia menekankan harus didahului reformasi partai politik. Partai harus dikelola secara demokratis. Untuk memastikan itu, salah satu jalannya dengan merevisi Undang-Undang Partai Politik.
”Partai sekarang, kan, dikelola secara oligarki dan personalia. Ke depan, pengambilan keputusan yang krusial soal penetapan calon dan perumusan kebijakan harus melibatkan anggota partai,” tutur Ramlan.
Selain itu, untuk memuluskan reformasi partai politik, subsidi dari negara untuk partai harus memadai. Dengan demikian, partai dapat menjalankan dua fungsinya, yaitu menyiapkan calon pemimpin serta merumuskan kebijakan yang mengakomodasi suara rakyat.
”Selama ini partai sudah mengajukan daftar calon, tetapi bukan hasil kaderisasi. Bahkan asal comot saja, tergantung siapa yang populer,” katanya.
Untuk diketahui, perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka seperti diterapkan pada Pemilu 2019, ke tertutup seperti pemilu sebelum Pemilu 2004, terlihat dalam draf Rancangan Undang-Undang Pemilu yang disusun oleh tenaga ahli Komisi II DPR dan Badan Keahlian DPR. Pimpinan Komisi II menyebutkan draf tersebut belum final karena belum melalui pembahasan di Komisi II dan antarfraksi-fraksi di DPR.
Selain mengatur perubahan sistem pemilu, dalam RUU Pemilu juga disebutkan peningkatan ambang batas parlemen dari semula 4 persen menjadi 7 persen. Tak hanya itu, ambang batas parlemen diberlakukan dalam menentukan kursi untuk DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Sebelumnya, ambang batas parlemen hanya untuk menentukan kursi untuk DPR.
Terkait perubahan itu, Ramlan tidak sependapat. Menurut dia, penyederhanaan jumlah partai politik di parlemen tidak efektif jika ditempuh dengan meningkatkan ambang batas parlemen atau memberlakukannya hingga ke DPRD. Lebih efektif dengan mengurangi jumlah kursi anggota DPR/DPRD yang diperebutkan di setiap daerah pemilihan.
Apalagi dengan adanya ambang batas parlemen, banyak suara berpotensi terbuang atau tak terwakili di parlemen. ”Suara sah, kok, tidak dihitung. Every vote counts, all votes are counted equally (setiap suara dihitung, semua suara dihitung sama). Jadi, yang harus dikurangi kursi untuk DPRD dan DPR di setiap daerah pemilihan, apakah 3-6 atau 3-8, silakan pemerintah dan DPR membuat itu,” kata Ramlan.
Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia Kaka Suminta juga tak sependapat dengan penerapan ambang batas 7 persen sampai ke daerah. Jika pemilu daerah dan nasional dilakukan secara bersamaan, daerah seyogianya memiliki ambang batas sendiri. Apabila disamaratakan, itu akan mengeliminasi ruang bagi aspirasi daerah.
”Kenapa perlu menyaring suara yang hilang terutama di daerah? Agar suara-suara yang berbeda di pusat tetap terakomodasi. Dan partai kecil tidak tereliminasi begitu saja. Jangan dengan sistem, mereka dihabisi. Biarlah rakyat memilih sehingga terjadi secara alamiah. Bukan dipaksa dengan sistem yang direkayasa undang-undang,” tutur Kaka.
Adapun terkait sistem pemilu, Kaka sependapat dengan Ramlan. Pemberlakuan sistem proporsional tertutup harus diikuti demokratisasi dan reformasi parpol.
”Ini menjadi tawaran, tetapi harus dibarengi dengan demokratisasi dan reformasi parpol. Sayangnya, itu tidak jalan sejak 1999. Itu yang jadi problem. Seharusnya, dengan demokratisasi dan reformasi parpol, kader terbaik yang muncul. Tetapi, nyatanya, ada kader yang populer dan tak terikat secara ideologis partai,” ucap Kaka.
Dengan kompleksitas isu dalam RUU Pemilu, Kaka meminta pemerintah dan DPR tak terburu-buru menyelesaikan pembahasannya. Pembahasan pun diharapkan membuka ruang partisipasi publik seluas-luasnya.