Implementasi Perpres Energi Listrik dari Sampah Memberatkan Keuangan Negara
KPK merekomendasikan Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2017 yang mengatur percepatan pembangunan instalasi pengolah sampah menjadi energi listrik untuk direvisi.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK merekomendasikan agar Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2017 yang mengatur percepatan pembangunan instalasi pengolah sampah menjadi energi listrik untuk direvisi. Selain implementasi dari aturan berjalan lamban, juga karena penerapannya memberatkan keuangan negara dan PT PLN.
Rekomendasi revisi itu terlihat pada surat tertanggal 30 Maret 2020 yang ditujukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Presiden Joko Widodo. KPK merekomendasikan perbaikan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Surat itu ditandatangani Ketua KPK Firli Bahuri.
Perbaikan dibutuhkan karena pelaksanaan dari perpres itu dinilai lambat. Hal itu berpotensi memberatkan keuangan negara negara/daerah dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Selain itu, pencapaian target bauran energi, yakni 23 persen energi terbarukan pada tahun 2025, akan terhambat.
Terkait hal itu, KPK telah melakukan kajian pengelolaan sampah untuk energi listrik terbarukan. ”Kajian tersebut dilakukan untuk menemukan risiko korupsi untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi dan potensi kerugian negara yang disebabkan kelemahan dalam kebijakan,” kata Firli dalam surat rekomendasi yang diterima Kompas, Rabu (10/6/2020).
KPK pun merekomendasikan perbaikan dari sisi regulasi, yaitu memodifikasi kebijakan waste to electricity (sampah ke listrik) menjadi waste to energy (sampah ke energi). Rekomendasi tersebut bertujuan menyelesaikan masalah darurat sampah dan mencapai target bauran energi dari energi terbarukan, serta tidak membebani keuangan negara/daerah dan PT PLN.
Rekomendasi dibuat berdasarkan kondisi yang ditemui di lapangan. KPK menilai teknologi pengolahan sampah langsung menjadi listrik belum ada yang terbukti berhasil. Akibatnya, kemajuan program sangat lambat dan darurat sampah tidak kunjung tertangani.
Karena belum ada teknologi yang terbukti, tidak ada standar harga penetapan biaya pengelolaan sampah (tipping fee) oleh swasta yang dapat dijadikan rujukan di antara 12 lokasi yang telah ditetapkan. Tipping fee antardaerah dengan volume sampah yang setara bisa berbeda hingga 100 persen per ton sampah.
Pengolahan sampah menjadi listrik melalui pembangunan pembangkit listrik terbukti sangat mahal. Tipping fee yang dibebankan kepada pemerintah daerah sangat memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Bahkan, bisa mencapai 23 persen dari pendapatan asli daerah. Ini tidak termasuk biaya dinas kebersihan mengangkut sampah ke lokasi pengolahan. Sementara itu, bantuan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 50 persen belum dapat dipastikan anggaran serta keberlanjutannya selama periode kontrak 25 tahun. Adanya keharusan PT PLN membeli listrik dengan tarif 13,35 sen dollar AS per kWh tanpa ada mekanisme subsidi dari pemerintah akan memberatkan keuangan PLN sebagai korporasi.
Untuk memberikan kepastian bagi investor, kontrak pengolahan sampah antara pemda dan investor serta kontrak penjualan listrik antara investor dan PLN seluruhnya menggunakan mekanisme take or pay. Ketika volume sampah tidak memenuhi volume dalam kontrak, pemda harus membayar tipping fee sesuai jumlah kontrak.
PT PLN harus membayar jumlah listrik sesuai dengan jumlah pada perjanjian meskipun secara faktual listrik yang dihasilkan di bawah perjanjian. Alhasil, pemda dan PT PLN menanggung risiko, sedangkan investor terbebas dari risiko apa pun.
Firli mengatakan, saat ini beberapa daerah, seperti Surakarta, Surabaya, ataupun Bogor, telah berhasil mengolah sampah menjadi briket, pellet,dankompos. PT PLN bersedia menampung pellet yang dicampur dengan batubara untuk pembangkit listrik tenaga uap di seluruh Indonesia.
Pellet atau briket akan dibeli PT PLN dengan harga pasar. Sementara itu, listrik yang dihasilkan sebagian dapat dihitung sebagai hasil dari energi yang terbarukan. ”Dengan kebijakan waste to energy ini, pengolahan sampah hanya menjadi briket atau pellet tidak mahal dan memberatkan keuangan pemerintah daerah/pusat,” kata Firli.
Demikian juga teknologi sudah tersedia dan dapat dikalkulasikan besarannya. PT PLN secara teknis bersedia membeli pellet sebagai co-firing untuk pembangkitan listrik di banyak daerah di Indonesia. Hasilnya pengolahan sampah dari kabupaten/kota dapat ditransportasikan ke pembangkit listrik. Semua pemda dapat melaksanakan pengolahan sampah menjadi energi dan tidak terbatas pada 12 lokasi saja.
Oleh karena itu, KPK merekomendasikan kepada Presiden Joko Widodo merevisi Perpres No 35/2018. Selanjutnya, Presiden menginstruksikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Keuangan, serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan membuat rencana aksi untuk percepatan implementasi di lapangan.
Persoalan sampah
Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Fahmy Radhi, sependapat dengan KPK. Ia mengungkapkan, Perpres No 35/2018 belum dapat direalisasikan. Seharusnya pengolahan sampah untuk menjadi energi listrik merupakan proyek strategis.
”Tidak hanya menghasilkan listrik ramah lingkungan, tetapi juga mengatasi masalah sampah di berbagai kota di Indonesia,” katanya.
Ia menambahkan, agar Indonesia dapat mencapai target bauran energi, pemerintah harus memberikan insentif fiskal bagi investor yang mengembangkan listrik sampah. Selain itu, ia juga mendorong pemerintah daerah mendukung program listrik sampah, termasuk menanggung biaya pemisahan sampah di daerah masing-masing.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa pun mendorong Perpres No 35/2018 direvisi agar tidak menimbulkan kesimpangsiuran dan semua pihak yang menjalankan tidak dibayang-bayangi kekuatiran implikasi hukum. Apalagi, yang memberikan rekomendasi adalah KPK.
Akan tetapi, perlu dipilah-pilah lagi rekomendasi tersebut, misalnya terkait pemisahan kontrak antara pemerintah daerah dan pengembang serta pengembang dan PLN. Sebab, pemda dan pengembang menyangkut kontrak pembersihan sampah, sedangkan pengembang dan PLN terkait jual beli listrik.
Ia menjelaskan Perpres No 35/2018 pada dasarnya solusi pengelolaan sampah dengan cara mengubah sampah jadi listrik. Menurut undang-undang tentang sampah, pengelolaan sampah menjadi urusan dan tanggung jawab pemda.
”Jadi memang secara legal pengembang melakukan kontrak dengan pemda. PLN ditugaskan membeli listrik dari pengembang karena kalau tidak ada yang beli listrik, solusi pengolahan sampah tidak jalan,” kata Fabby.
Ia berharap KPK juga cermat dalam memberikan masukan atau rekomendasi peraturan teknis. Fabby mengungkapkan, ada kalanya logika normal tidak bisa dipakai supaya model bisnisnya dapat berjalan, maka perlu ada modifikasi dan akomodasi.
”Misalnya feed in tariff itu kebijakan yang memang perlu untuk mitigasi risiko dan mengurangi ketidakpastian investasi. Tidak bisa juga dilabeli kebijakan itu ’korup’ atau ’merugikan negara’. Untuk menarik investasi perlu memberikan sedikit ’pemanis’ untuk investor dan mitigasi risiko yang bakal muncul. Yang penting proses transparan dan terbuka, serta jelas,” kata Fabby.
Agar Indonesia dapat mencapai target bauran energi, perlu ditingkatkan perkembangan energi terbarukan, yakni menarik investasi sebanyak-banyaknya. ”Investasi jangan dipersulit atau dibuat susah. Kebijakan dan regulasi harus sepadan, selaras, dan konsisten,” ujarnya.