Korsel Berbagi Pengalaman Gelar Pemilu di Tengah Pandemi Covid-19
Pengalaman dibagikan saat Mendagri Tito Karnavian bertemu Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia Kim Chang-beom. Namun, menurut pengamat, pemilu di Korea Selatan tak bisa dibandingkan dengan pilkada di Indonesia.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Dalam Negeri menyerap ilmu penyelenggaraan pemilu di tengah pandemi Covid-19 dari Korea Selatan. Ini terkait gelaran Pemilihan Kepala Daerah 2020 di 270 daerah di Indonesia yang juga akan digelar di tengah pandemi.
Pertemuan antara Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia Kim Chang-beom berlangsung di Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Senin (8/6/2020).
Seusai pertemuan, Tito mengatakan, Korea Selatan berhasil menyelenggarakan pemilihan umum legislatif pada 15 April lalu. Pemilu itu digelar pada saat ”Negara Ginseng” berperang melawan pandemi Covid-19. Tahapan pemilu legislatif bahkan dimulai sejak Januari 2020 ketika negara itu sedang menghadapi kondisi terus bertambahnya pasien positif Covid-19.
”Dubes Korea Selatan memberikan banyak masukan dan dukungan untuk menggelar pemilu yang aman tanpa efek ledakan kasus Covid-19. Ini menarik sekali,” ujar Tito.
Menurut Tito, salah satu penentu keberhasilan pemilu di Korsel adalah penerapan protokol kesehatan yang ketat saat tahapan pemilu maupun saat hari pemungutan suara. Pada hari pemungutan suara, misalnya, pemilih menggunakan pelindung wajah, masker, dan sarung tangan. Adapun pemilih yang berstatus positif Covid-19 atau sedang dalam masa karantina menggunakan alat pelindung diri lengkap seperti tenaga medis.
”Dubes Korsel juga membuka peluang jika seandainya Bawaslu dan KPU ingin mendapatkan pengalaman langsung dari National Election Committee (KPU) di sana. Beliau siap memfasilitasi,” tambah Tito.
Kim Chang-Beom mengatakan, Korsel menjadi negara di dunia yang berhasil menyelenggarakan pemilu nasional tanpa ada penularan Covid-19. Bahkan, tingkat partisipasi pemilih saat pemilu meningkat. Partisipasi pemilih mencapai 62,2 persen atau naik 10,2 persen dibandingkan dengan partisipasi pada pemilu sebelumnya.
Kunci keberhasilan itu, menurut Kim, adanya solidaritas dari masyarakat, media, dan masyarakat sipil untuk menyelenggarakan pemilu yang efektif dan aman. ”Indonesia memerlukan keyakinan, kepercayaan, kerja sama, gotong royong untuk menyukseskan pilkada sebagai model baru kesuksesan pemilu selama pandemi Covid-19,” ujarnya.
Hal lain yang tak kalah penting, ujar Kim, penyelenggaraan pemilu selama pandemi Covid-19 harus menerapkan protokol kebersihan, kesehatan, dan keamanan.
Jika diperlukan, Kim menawarkan kerja sama studi banding penyelenggaraan pemilu di Korsel.
”Saya terkesan dengan berbagai persiapan yang sudah dilaksanakan Indonesia. Kami berharap pilkada serentak di Indonesia pada 9 Desember 2020 dapat berlangsung aman dan sukses serta partisipasi masyarakat untuk memilih tinggi,” tambahnya.
Korea Selatan menggelar pemilu legislatif nasional pada medio April 2020. Pemilu dilaksanakan pada saat negara itu dinyatakan dapat membendung wabah virus tersebut. Sementara di Indonesia saat ini, kasus positif Covid-19 terus bertambah. Daya tular Covid-19 masih 2,5 atau setiap orang yang terinfeksi dapat menularkan kepada dua hingga tiga orang lainnya.
Tidak bisa dibandingkan
Meski demikian, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini mengatakan pemilu di Korsel tak bisa dibandingkan dengan pilkada di Indonesia.
Korsel bisa menyelenggarakan pemilu di tengah pandemi karena memiliki regulasi kepemiluan yang dapat diaplikasikan saat terjadi krisis. ”Ini berbeda dengan di Indonesia, regulasi pemilu kita belum siap ketika terjadi masa krisis pandemi Covid-19. Banyak aturan yang masih harus disesuaikan,” kata Titi.
Selain itu, Korsel memiliki daya dukung teknologi yang optimal dalam sistem kepemiluan. ”Di Korsel pengoptimalan teknologi untuk mendukung pemilu yang efektif dan efisien sudah lama. Hal itu sangat membantu mereka menghadapi situasi krisis di tengah masa pandemi Covid-19. Ini berbeda dengan di Indonesia yang masih menghitung suara secara manual,” ujar Titi.
Hal lainnya, pemilu di Korsel ditopang dukungan anggaran yang memadai sekalipun kebutuhan anggaran hampir empat kali lipat lebih besar dibandingkan dengan pemilu yang dilaksanakan tanpa ancaman Covid-19.
Di luar itu, ia melihat masyarakat Korsel sudah terbiasa menerapkan protokol kesehatan karena memiliki pengalaman menghadapi wabah penyakit, seperti wabah SARS dan MERS. Dengan demikian, ketika harus melangsungkan pemilu di tengah pandemi, masyarakat disiplin menerapkan protokol kesehatan.
”Pemerintah Indonesia harus melakukan perbandingan secara obyektif, baik dari sisi regulasi, ketersediaan anggaran, maupun penanganan Covid-19 sendiri. Jangan malah terlalu percaya diri,” kata Titi.