Sebagian daerah yang pilkada 2020 masih berjuang dengan ketersediaan dana, khususnya anggaran tambahan untuk pengadaan alat penanganan Covid-19. Bahkan, sebagian daerah berpikir untuk mengurangi anggaran pilkada
Oleh
Ingki Rinaldi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Sebagian penyelenggara pemilu di daerah tengah kesulitan melakukan penyesuaian anggaran Pilkada serentak 2020. Penambahan anggaran pilkada 2020, khususnya untuk pengadaan alat-alat yang mendukung protokol penanganan Covid-19, belum dapat dipastikan. Padahal, tahapan pilkada lanjutan harus segera dimulai pekan depan, tepatnya 15 Juni 2020.
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sulawesi Utara Awaluddin Umbola, saat dihubungi pada Minggu (7/6/2020) mengatakan, sebagian pemerintah daerah malah punya niat mengurangi lagi anggaran pilkada yang sebelumnya telah disepakati dalam NPHD (Naskah Perjanjian Hibah Daerah) pada 2019 lalu. Alasannya, pemerintah daerah juga tengah berjibaku menangani wabah Covid-19.
Dengan demikian, alih-alih beroleh tambahan anggaran guna menggelar pilkada yang sesuai protokol penanganan Covid-19, justru ada kemungkinan anggaran yang sudah disepakati bakal dikurangi. Awaluddin menyebutkan bahwa saat ini pihaknya kembali harus beradu argumentasi lagi dengan sejumlah pemerintah daerah terkait dengan hal itu.
alih-alih beroleh tambahan anggaran guna menggelar pilkada yang sesuai protokol penanganan Covid-19, justru ada kemungkinan anggaran yang sudah disepakati bakal dikurangi
Padahal, imbuh Awaluddin, dari NPHD yang sudah disepakati pun, nilai yang sudah ditransfer rata-rata baru 40 persennya. Bahkan, ada yang di bawah 40 persen. Hanya di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, transfer yang dilakukan sudah sekitar 80,5 persen. Selain di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, pilkada di Sulut akan diselenggarakan di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, Minahasa Utara, Minahasa Selatan, Kota Bitung, Kota Manado, Kota Tomohon, dan Provinsi Sulawesi Utara.
Awaluddin mengatakan, pihaknya juga sudah melakukan efisiensi dan restrukturisasi anggaran sebagaimana kesepakatan rapat dengar antara penyelenggara pemilu, DPR, dan pemerintah pada 3 Juni lalu. Misalnya saja pemangkasan perjalanan dinas dan kegiatan yang melibatkan banyak orang. Pengalihan anggaran tersebut diarahkan untuk pemenuhan protokol penanganan Covid-19.
Namun menurutnya, berdasarkan pembahasan terakhir, terdapat niatan sejumlah pemerintah daerah untuk mengurangi anggaran yang sudah disepakati dalam NPHD. Ia berharap hal itu tidak terjadi.
sejumlah pemerintah daerah sudah menyatakan tidak mampu jika harus menambah anggaran pilkada.
Komisioner KPU Banten, Eka Satialaksmana pada hari yang sama mengatakan bahwa sejumlah pemerintah daerah sudah menyatakan tidak mampu jika harus menambah anggaran pilkada. Misalnya, Pemerintah Kabupaten Pandeglang. Adapun sejumlah kabupaten lain, seperti Kabupaten Cilegon dan Serang, menurut Eka, juga dalam kondisi relatif berat untuk melakukan penambahan anggaran. Secara umum, kondisi keuangan pemda relatif berat jika harus dibebani dengan penambahan anggaran pilkada.
Sementara restrukturisasi anggaran pilkada dari NPHD yang sudah disepakati, imbuh Eka, relatif tidak banyak juga yang bisa dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Restrukturisasi anggaran kemungkinan besar hanya bisa untuk menanggung penambahan jumlah tempat pemungutan suara (TPS). Penambahan jumlah TPS perlu dilakukan mengingat jumlah maksimal pemilih dalam satu TPS dikurangi dari 800 orang menjadi 500 orang.
Adapun pembiayaan untuk kebutuhan di luar kepentingan itu, menurut Eka, sulit untuk dipenuhi termasuk kebutuhan untuk memenuhi protokol penanganan Covid-19 dalam tiap tahapan pilkada. Lagi pula, transfer dana untuk pilkada dari pemda baru mencapai rentang antara 20 hingga 30 persen dari total anggaran yang disepakati.
Komisioner KPU Jawa Tengah, Muslim Aisha, saat dihubungi pada hari yang sama mengatakan, pihaknya tinggal menunggu Peraturan KPU disahkan sebelum bisa memulai tahapan kembali. Selain itu, pihaknya tengah fokus pada masalah anggaran. Sebab, terdapat sejumlah pemda yang keberatan jika harus mengucurkan dana lagi untuk kepentingan pemenuhan alat guna memenuhi protokol Covid-19. Hal itu, menurut Muslim, terjadi di Kendal, Demak, dan Solo.
Ia mengatakan, secara umum pemerintah daerah memahami bahwa dibutuhkan tambahan anggaran untuk melaksanakan pilkada sesuai protokol penanganan Covid-19. Akan tetapi kondisi keuangan daerah yang tidak memungkinkan membuat hal itu relatif sulit dipenuhi.
Sejauh ini yang dilakukan ialah dengan terus berkoordinasi. Masing-masing pemerintah daerah melaporkan pada kementerian dalam negeri dan demikian juga penyelenggara pemilu di daerah yang melapor ke KPU.
“Kemudian disana (KPU dan Kemendagri) ada pembahasan yang kemudian sampai ada pemahaman dan cari jalan keluar, (dari) APBN dan sebagainya. Itu yang kita harapkan,” sebut Muslim.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Fadli Ramadhanil mengatakan bahwa pemerintah, DPR, dan KPU harusnya sadar bahwa saat ini tidak terdapat kerangka hukum cukup guna melaksanakan pilkada di tengah pandemi Covid-19. Fadli mengatakan sama sekali tidak ada aturan pelaksanaan pilkada dalam kondisi bencana di dalam UU Pilkadana dan Perppu Nomor 2/2020.
Selain itu, tidak mungkin KPU memulai tahapan pilkada tanpa ketersediaan anggaran. Padahal sebagian besar anggaran bakal dipakai untuk membeli berbagai barang untuk menjalankan protokol penanganan Covid-19. Di dalamnya termasuk berbagai alat pelindung diri seperti masker, sarung tangan, dan sebagainya.
Tahapan pilkada pada 15 Juni kelak akan langsung mengundang interaksi langsung antara penyelenggara dengan para pemilih. Akan terdapat risiko besar jika tahapan itu dilakukan tanpa alat pelindung diri.
“Sangat disayangkan jika melaksanakan pilkada hanya dengan kebulatan tekad dan keyakinan saja,” ujar Fadli.