Diskusi virtual Komnas HAM tentang rancangan peraturan presiden (perpres) yang mengatur pelibatan TNI dalam memberantas terorisme dikritik. Pasalnya, diskusi hanya menghadirkan narasumber yang menolak perpres.
Oleh
Edna C Pattisina
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Diskusi virtual Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tentang rancangan peraturan presiden yang mengatur pelibatan militer dalam pemberantasan terorisme dikritik. Pasalnya, diskusi dinilai hanya menghadirkan narasumber yang menolak rancangan peraturan sehingga tujuan diskusi untuk memperkaya substansi aturan tak tercapai.
Diskusi bertajuk ”Polemik Rancangan Peraturan Presiden terkait Pengaturan Pelibatan Militer dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam Perspektif Hukum, Demokrasi, dan Hak Asasi Manusia” digelar Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Rabu (13/5/2020) pukul 10.00-12.00.
Hadir dalam diskusi yang dimoderatori oleh komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, antara lain, komisioner Komnas HAM M Choirul Anam, anggota Komisi III DPR Arsul Sani, Gubernur Lemhanas Agus Widjojo, akademisi Universitas Brawijaya Mucchamad Ali Syafa’at, dan Direktur Imparsial Al Araf.
”Sayang diskusi ini pembicaranya hanya dari satu mazhab sehingga kurang seru,” ujar Arsul Sani.
Pernyataan Arsul langsung disambut pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie yang menjadi peserta diskusi. Ia membenarkan pernyataan Arsul Sani dan mengatakan bahwa karena para pembicara memiliki satu mazhab, yaitu tidak setuju pada substansi rancangan perpres, diskusi jadi tidak proporsional.
Alhasil, arah diskusi tidak lagi mengembangkan wacana dan saling memperkaya, tetapi pembenaran untuk membatalkan rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme.
Hal ini kemudian ditengahi oleh moderator Beka yang memberi kesempatan pertama kepada Connie untuk berkomentar seusai seluruh pembicara menyampaikan materinya.
Beka mengatakan, seluruh pembicaraan termasuk komentar dan pendapat yang diutarakan di ruang chat, baik oleh pembicara maupun bukan pembicara, akan masuk dalam laporan Komnas HAM untuk jadi bahan masukan pemerintah.
Keluhan lain dalam diskusi itu terkait dengan keterbatasan jumlah peserta. Pada saat diskusi dimulai pukul 10.00, Kompas kesulitan untuk masuk ke dalam ruang diskusi yang memanfaatkan aplikasi Zoom. Hal yang sama dialami salah seorang pembicara, Al Araf, yang sejak pukul 09.30 berusaha masuk ke ruang diskusi. Ia baru bisa masuk pukul 10.28 setelah mengontak salah satu pegawai Komnas HAM. Kompas lalu berhasil masuk melalui jalur yang sama.
Beberapa peserta yang telah mendaftar dan pada akhirnya tidak bisa masuk merasa kecewa. Mereka tadinya ingin sumbang saran.
Diskusi hanya diikuti oleh 99 orang. Choirul Anam mengatakan, jumlah pendaftar mencapai 200 orang, tetapi karena masalah pengaturan langganan Zoom, yang bisa masuk hanya maksimal 100 orang.