Koalisi Parpol Pemerintah seperti Membentuk Kartel Politik
Soliditas koalisi partai pendukung pemerintah bakal memuluskan jalan persetujuan Perppu No 1/2020 menjadi undang-undang. Namun, soliditas itu dinilai sebagai upaya parpol membentuk kartel parpol. Mengapa?
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 hampir dipastikan akan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Soliditas parpol koalisi pendukung pemerintah dipandang sebagai faktor yang mempercepat pembahasan regulasi tersebut.
Persetujuan tingkat pertama telah diberikan DPR terhadap Perppu No 1/2020 untuk menjadi UU dalam rapat Badan Anggaran, Senin (4/5/2020). Jika tidak ada perubahan, perppu itu pun akan dimintakan persetujuan dalam pembahasan tingkat kedua di dalam rapat paripurna, Selasa mendatang.
Praktis, perppu itu selesai hanya dalam 1 kali pembahasan dengan pemerintah di tingkat pertama, dan langsung mendapatkan persetujuan mayoritas fraksi sekalipun ada beberapa catatan.
Catatan utama yang dikemukakan fraksi-fraksi, antara lain terkait dengan kepastian Pasal 27 agar tidak dijadikan pasal imunitas bagi penyelenggara anggaran; dan kepastian pembahasan Anggaran Pendapatan Belanja Negara Tahun 2021, dan seterusnya, akan tetap melibatkan DPR sehingga DPR tidak kehilangan hak anggaran atau budgeting. Sejumlah fraksi juga menginginkan pemerintah memastikan pelaksanaan perppu tidak bertentangan dengan UU lain, bahkan dengan konstitusi.
Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar saat dihubungi, Minggu (10/5/2020), mengatakan, Senin (11/5/2020), akan digelar rapat pimpinan yang dilanjutkan dengan rapat konsultasi pengganti Badan Musyawarah.
Dari undangan rapat yang beredar, salah satu agenda yang diusulkan ialah permintaan penjadwalan penyampaian laporan hasil pembicaraan tingkat pertama terhadap Perppu No 1/2020. Permintaan penjadwalan itu disampaikan melalui surat pimpinan Badan Anggaran DPR tertanggal 5 Mei 2020.
Sesuai dengan Peraturan DPR Nomor 1 tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR, agenda dalam rapat paripurna akan diputuskan di dalam rapat Bamus atau rapat konsultasi pengganti Bamus yang dihadiri oleh pimpinan DPR dan para ketua fraksi serta komisi terkait, dan pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD).
Partai-partai koalisi seperti membentuk kartel partai politik. Dengan kondisi ini, mereka begitu mudahnya menerima setiap usulan pemerintah, dan nyaris tidak ada perdebatan.
Peneliti Departemen Politik dan Hubungan Internasional Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengatakan, perppu itu relatif tidak banyak mendapatkan pertentangan karena parpol-parpol koalisi pemerintah solid memberikan dukungan. Hampir semua fraksi menyatakan dukungan, kendati banyak pasal krusial yang mestinya dibicarakan, dan didiskusikan dengan intens bersama-sama.
”Partai-partai koalisi seperti membentuk kartel partai politik. Dengan kondisi ini, mereka begitu mudahnya menerima setiap usulan pemerintah, dan nyaris tidak ada perdebatan,” katanya.
Menurut Arya, kepentingan legislasi di DPR untuk membahas setiap poin di pasal-pasal itu semakin melemah, sekalipun DPR sebenarnya memiliki kapasitas untuk melakukan hal itu. Dalam jangka panjang, kondisi ini tidak baik bagi proses check and balance dalam negara demokrasi.
”Seharusnya DPR menjadi rekanan atau counterpart pemerintah, yang meskipun mendukung pemerintah, tetapi tidak kehilangan daya kritisnya dalam merespons setiap kebijakan pemerintah,” kata Arya.
Lobi Menteri Keuangan
Namun, anggota Banggar dari Fraksi Partai Nasdem, Ahmad Sahroni, mengatakan, persetujuan terhadap perppu itu tidak semata-mata dilakukan karena konsolidasi parpol koalisi pemerintah. Sebab, semua pihak apa pun parpolnya harus solid dan bersama-sama mendukung pemerintah dalam mengatasi problem kemanusiaan.
Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Hendrawan Supratikno, tidak sepenuhnya sependapat dengan anggapan soliditas parpol koalisi menentukan dukungan terhadap perppu tersebut.
”Dukungan yang hampir bulat terhadap perppu itu karena ada pemahaman yang sama terhadap tantangan yang sedang dihadapi, selain tentu kepiawaian Menteri Keuangan melakukan lobi-lobi dan persuasi politik kepada parpol-parpol,” katanya.
MK menjadi penentu
Sementara itu, terkait substansi perppu, dan tata cara pembentukannya secara formil yang memicu perdebatan, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang juga mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie, meminta semua pihak menyerahkan hal itu kepada MK.
Saat ini terjadi perbedaan pendapat terkait kapan seharusnya perppu itu diajukan dan disetujui oleh DPR. Menurut Pasal 22 UUD 1945, perppu harus mendapatkan persetujuan DPR pada masa sidang berikutnya. Dengan demikian, seharusnya perppu tidak dibahas ataupun memperoleh persetujuan DPR saat ini. Di samping itu, ada permohonan uji materi ke MK terkait dengan sejumlah pasal, antara lain terhadap Pasal 27 yang dinilai memberikan imunitas kepada penyelenggara anggaran.
Jimly mengatakan, persoalan utamanya pun bukan dalam hal kapan perppu itu disetujui, melainkan adanya beberapa pasal di Perppu No 1/2020 yang menjadi permanen jika ditetapkan menjadi UU, sekalipun Covid-19 dinyatakan selesai.
Sejumlah pasal itu diketahui tidak terkait langsung dengan Covid-19 sehingga setelah Covid-19 selesai, ketentuan itu tetap berlaku kecuali dicabut dengan perppu atau UU yang baru. ”Kalau lewat DPR, karena komposisi koalisi politik pemerintah mayoritas pasti perppu disetujui. Maka biar dipercayakan ke MK saja untuk menilainya. Bisa saja putusannya tidak hitam putih seperti di DPR, yang hanya menentukan setuju atau ditolak,” katanya.
Berbeda dengan DPR yang hanya bisa menyatakan setuju atau menolak penetapan perppu, MK bisa melihat masalah secara obyektif, yang tidak hitam putih, dan bisa diatasi dengan pemberian catatan-catatan tertentu.
”Ini yang biasa disebut dengan conditionally constitutional (konstitusional bersyarat) atau conditionally unconstitutional (inkonstitusional bersyarat),” kata Jimly.
Secara terpisah, Staf Khusus Menkeu Yustinus Prastowo mengatakan, selain hal-hal formil yang terkait dengan pembentukan perppu, ada hal-hal substansial obyektif yang perlu dipikirkan oleh semua pihak. Pembentukan perppu itu diupayakan sebagai respons cepat pemerintah dalam menghadapi pandemi Covid-19. Ekonomi terpukul dengan pandemi, dan perppu itu menyediakan instrumen untuk mengatasi hal itu.
”Dalam situasi darurat, dibutuhkan respons serba cepat. Kita berpacu dengan waktu. Lagipula, taruhannya sangat besar, yakni keselamatan dan kesejahteraan ratusan juta rakyat Indonesia. Kita membutuhkan penanganan yang menjawab tantangan situasi. Menempuh langkah-langkah normal dalam situasi darurat akan memperburuk keadaan,” katanya.
Terkait dengan pengujian konstitusionalitas perppu di MK, Prastowo mengatakan, hal itu merupakan upaya yang baik. Sebab, dengan demikian hak warga negara terjamin. Di sisi lain, melalui pengujian di MK, pemerintah bisa mengelaborasi argumen dan latar belakang keluarnya perppu tersebut. ”Putusan MK akan kita hormati,” katanya.