Dari Sisi Anggaran, Pilkada Serentak Tidak Realistis Diselenggarakan 2020
Kebijakan menunda Pilkada Serentak 2020 selama tiga bulan, dari September menjadi Desember 2020, dinilai tidak realistis dari sisi keamanan ataupun anggaran. Sebab, pandemi Covid-19 belum bisa dipastikan kapan berakhir.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pilkada serentak 2020, yang sudah disepakati untuk ditunda selama tiga bulan akibat pandemi Covid-19, dinilai tidak realistis untuk tetap dilakukan pada 2020. Dari sisi anggaran, misalnya, dana untuk pilkada serentak lebih baik dialihkan untuk penanganan Covid-19.
Pandangan tersebut mengemuka dalam diskusi bertema ”Reliabilitas Pilkada Serentak 2020” yang diadakan Sindikasi Pemilu Demokrasi (SPD) melalui video konferensi, Jumat (17/4/2020). Anggota Bawaslu Fritz E Siregar dan Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana hadir sebagai pembicara. Diskusi dimoderatori Direktur Eksekutif SPD August Mellaz.
Sebelumnya, dalam rapat dengar pendapat (RDP) antara Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), penyelenggara pemilu, dan Kementerian Dalam Negeri pada awal pekan, disepakati untuk menunda pilkada yang sedianya berlangsung 23 September 2020 menjadi Desember 2020. Komisi Pemilihan Umum dalam rapat itu memaparkan tiga opsi penundaan, yakni Desember 2020, Maret 2021, dan September 2021.
Aditya Perdana mengatakan, salah satu prasyarat yang harus dipenuhi jika pilkada tetap dilaksanakan pada 2020 adalah soal ketersediaan anggaran. Saat ini, pemerintah pusat sedang menggenjot realokasi dana APBD untuk fokus pada penanganan Covid-19. Bahkan, dalam rapat dengar pendapat (RDP) di Komisi II akhir Maret lalu, sudah ada pernyataan lisan dari KPU tentang pengutamaan penanganan Covid-19 daripada kontestasi politik. Dana APBD yang belum terpakai diarahkan digunakan untuk mengatasi Covid-19 di daerah.
”Pemerintah terus mendorong daerah agar melakukan penyisiran mata anggaran untuk penanganan Covid-19. Ini sesuatu hal yang tidak mudah dilakukan, terutama bagi daerah yang terbatas ruang fiskalnya,” ujar Aditya.
Jika pilkada serentak dipaksakan dilaksanakan akhir 2020, anggaran diperkirakan akan membengkak. Sebab, baik dalam tahapan ataupun hari pemungutan suara dibutuhkan protokol penanganan Covid-19.
Belanja barang dan jasa, seperti penyediaan cairan basuh tangan, masker, antiseptik, hingga penambahan tempat pemungutan suara dibutuhkan untuk mengantisipasi baik selama ataupun setelah puncak pandemi. Dia mempertanyakan kesiapan pemda siap dengan peningkatan anggaran tersebut.
”Jika pilkada serentak dilaksanakan 9 Desember 2020, seperti hasil RDP di DPR kemarin, harus ada kepastian anggaran pada Juni, karena pada bulan itu tahapan pemilu sudah harus dilaksankaan. Saya yakin, birokrasi tak akan secepat dan setanggap itu dalam mengatasi dampak Covid-19 ini,” kata Aditya.
Namun, jika pelaksanaan pilkada ditunda hingga 2021, kemungkinan masih ada rentang waktu yang cukup untuk mengantisipasi dan memitigasi risiko. Penyelenggara pemilu membutuhkan kepastian ketersediaan anggaran termasuk dana tak terduga untuk protap Covid-19.
Selain itu, penyelenggara pemilu, pemerintah, dan DPR juga diminta lebih aktif berkomunikasi dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang dinilai paling mengetahui prediksi puncak pandemi. Berbagai ahli kesehatan dari universitas terkemuka, misalnya, memprediksi puncak pandemi akan terjadi di bulan Juli. Jika pilkada dipaksakan dihelat pada 2020, artinya pada saat tahapan persiapan, para penyelenggara harus bergulat dengan risiko penularan virus korona baru.
”Pilkada dilaksanakan pada Desember 2020 itu tidak mungkin. Kami berharap pelaksanaan pilkada dimundurkan sampai waktu yang aman dan kondusif,” kata Aditya.
Salah satu peserta diskusi, Purnomo Satriyu dari Bawaslu Jawa Timur, mengatakan, pada 2020, pilkada serentak akan dilaksanakan di 19 kabupaten dan kota di Jatim. Saat ini, posisi anggaran pilkada serentak memang masih aman di KPU/Bawaslu Provinsi karena belum ada perintah dari pusat untuk mengembalikan.
Menurut dia, dari kaca mata anggaran, sebenarnya pilkada serentak masih realistis diselenggarakan. Namun, yang bermasalah, justru ketika Covid-19 belum selesai, tetapi penyelenggara harus melanjutkan tahapan pilkada, hal itu kontradiktif dengan program pemerintah. Saat pemerintah memberlakukan kebijakan tertentu seperti pembatasan fisik dan sosial, penyelenggaraan pilkada justru berpotensi membuat penyebaran virus semakin parah.
”Yang kami khawatirkan justru risiko penularan saat pelaksanaan tahapan pilkada. Pada saat orang lain melakukan pembatasan fisik, kami justru melanggar aturan itu untuk kontestasi politik,” kata Purnomo.
Ketua Bawaslu Jawa Barat Abdullah Dahlan mengatakan, saat ini anggaran pilkada serentak relatif aman karena dalam posisi dibekukan di penyelenggara pemilu tingkat daerah. Namun, dana yang sudah ditransfer ke KPU/Bawaslu baru 40 persen dari total anggaran.
Dengan kemampuan fiskal daerah yang terbatas pada masa pandemi, dia khawatir dan meragukan kemampuan pemda memberikan dukungan dana, terutama untuk mendukung teknis pelaksanaan pilkada yang dekat dengan masa pandemi. Dia berharap, pilkada serentak tidak dilaksanakan pada 2020 dengan pertimbangan anggaran dan teknis pelaksanaan.
”Jika pilkada tetap dilaksanakan pada 2020, tentu akan sangat berisiko dari sisi penyelenggara, baik dari teknis keamanan, beban di sisi peserta, maupun pemilih. Jangan sampai pada saat tahapan kampanye banyak orang berkerumun justru menjadi pemicu Covid-19,” ungkap Dahlan.
Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar juga mengatakan penyerahan dana sisa pilkada kepada kepala daerah harus diatur dalam norma hukum tertentu. Penyerahan dana sisa pilkada dapat diatur dalam perppu penundaan pilkada ataupun peraturan Menteri Dalam Negeri.
Dana yang telanjur dipakai dalam tahapan pilkada sebaiknya diatur atau dijamin keabsahannya oleh peraturan sehingga tidak ada pertanyaan mengenai dana pilkada 2020. Fritz juga mengingatkan bahwa hingga saat ini, sudah ada empat tahapan pilkada yang ditunda serta masih ada enam tahapan lainnya yang sudah pasti ditunda dengan keluarkanya perppu (Kompas, 31/3/2020).