Perpanjangan usia pensiun bagi hakim konstitusi, seperti diusulkan dalam draf revisi UU MK, tidak dibarengi dengan model pengawasan yang kuat. Jumlah pengawas hakim MK justru dikurangi dan tak libatkan unsur masyarakat.
Oleh
Rini Kustiasih
·5 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Mahkamah Konstitusi dipimpin Ketua MK Anwar Usman menggelar sidang pembacaan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (18/12/2019).
JAKARTA, KOMPAS — Substansi draf Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang saat ini beredar di tengah masyarakat dinilai kurang cermat dalam menyasar diskursus perbaikan MK sebagai institusi pengawal konstitusi. Sejumlah pasal dipandang belum mampu menjawab upaya perbaikan MK, bahkan cenderung membuka potensi konflik kepentingan antara DPR selaku pengusul RUU dan peran MK yang sedang menguji konstitusionalitas sejumlah UU.
Dalam rapat paripurna DPR, Kamis (2/4/2020) di Jakarta, RUU MK disetujui untuk menjadi RUU inisiatif DPR. Munculnya rencana pembahasan RUU MK di tengah pandemi Covid-19 ini memicu reaksi publik karena, bersama dengan sejumlah RUU lain yang dibacakan di dalam rapat paripurna itu, antara lain Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), RUU Pemasyarakatan, dan RUU Cipta Kerja yang dibentuk dengan metode omnibus law, saat ini bukanlah menjadi suatu hal yang mendesak diperlukan oleh publik.
Akan tetapi, di tengah masyarakat telah beredar draf RUU MK yang menurut pandangan sejumlah ahli hukum tata negara substansinya jauh dari diskursus yang terkait langsung dengan upaya perbaikan MK secara kelembagaan dalam mengawal konstitusi. Draf yang beredar itu antara lain merevisi sejumlah pasal di dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Pasal yang diubah antara lain ialah Pasal 4 yang mengatur tentang masa jabatan ketua dan wakil ketua MK, Pasal 15 yang mengatur syarat menjadi hakim MK, Pasal 23 tentang pemberhentian hakim MK, Pasal 27A tentang majelis etik hakim MK, dan Pasal 87 tentang aturan peralihan.
Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Negeri Jember Bayu Dwi Anggono, Rabu (8/4/2020), yang dihubungi dari Jakarta, mengatakan, diskursus yang berkembang di masyarakat dan akademisi tentang MK sama sekali tidak terjawab dengan substansi di dalam draf RUU tersebut. Sebagai contohnya, ada banyak seminar yang digelar mengusulkan agar masa jabatan hakim konstitusi tidak lima tahun, tetapi sekaligus tujuh atau delapan tahun karena sulitnya mencari sosok negarawan apabila periodesasi hakim diterapkan. Namun, hakim hanya bisa menjabat sekali.
Kompas/Wawan H Prabowo
Satuan Korps Brimob Polda Metro Jaya mendirikan tenda menjelang sidang terakhir pembacaan putusan atas perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Pileg 2019 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (9/8/2019).
Di dalam draf, diskursus publik itu justru dijawab dengan penambahan masa jabatan hakim hingga usia pensiun 70 tahun. Artinya, sama sekali tidak ada periodesasi dalam jabatan hakim MK.
”Sebenarnya diskursus yang berkembang ialah hanya satu periode, tetapi tidak lima tahun. Alasannya, dengan situasi hakim MK dipilih DPR, Presiden, dan MK, masa jabatan yang terlalu pendek atau lima tahunan akan mengancam independensi dan kemandirian hakim. Tidak dapat dimungkiri mereka dipilih oleh institusi politik,” kata Bayu.
Usulan untuk pensiun di usia 70 tahun itu pun tidak diimbangi dengan penjagaan akuntabilitas MK yang baik sebab Pasal 27A justru mereduksi jumlah anggota majelis etik MK. Di dalam UU MK yang berlaku saat ini, jumlah anggota dewan etik MK tiga orang, yakni terdiri dari unsur mantan hakim MK, tokoh masyarakat, dan akademisi atau pakar hukum. Namun, di draf RUU yang beredar, jumlah anggota majelis etik hanya dua orang, yakni dari hakim konstitusi dan Komisi Yudisial. Namanya pun berubah dari dewan etik menjadi majelis etik.
”Sangat aneh kalau jumlah majelis etik hanya dua orang. Seharusnya majelis itu jumlah ganjil supaya ada keputusan yang bisa diambil bilamana ada dilema keputusan di antara dua anggota majelis. Selain itu, tidak ada wakil dari tokoh masyaralat dari dua anggota majelis etik,” katanya.
Kompas
Bayu Dwi Anggono
Ketiadaan perwakilan dari tokoh masyarakat di majelis etik MK, menurut Bayu, mencerminkan draf RUU itu tidak cermat dan tidak memahami hal terpenting dari karakter negarawan yang menjadi syarat dasar seorang hakim MK, yakni etik yang tidak tercela. Tokoh masyarakat sebagai perwakilan publik seharusnya diikutsertakan menjadi pengawas eksternal, sebagaimana yang berlaku saat ini, sebab jangan sampai ruang pengawasan dari publik ditutup.
Pasal 15 draf RUU MK yang mensyaratkan agar hakim konstitusi berusia minimal 60 tahun juga tidak dijelaskan alasannya. Keberadaan pasal itu pun tidak sinkron dengan Pasal 87 draf RUU MK yang menyebutkan hakim yang sedang menjabat saat ini ketika pensiun di usia 60 tahun dapat meneruskan hingga usia 70 tahun. Adapun bagi yang belum mencapai usia 60 tahun tidak dapat meneruskan untuk periode kedua.
”Melihat konstruksi pasal per pasal ini, wajar jika publik mempertanyakan apakah pengaturan syarat ini sebagai upaya membungkam hakim-hakim kritis yang kerap berbeda pendapat dalam putusan yang berkaitan dengan kepentingan DPR. Jika itu yang terjadi, berarti DPR mengalami konflik kepentingan dalam penyusunan RUU ini,” tuturnya.
Masa jabatan ketua dan wakil ketua MK yang diperpanjang menjadi 5 tahun, dari yang sebelumnya 2,5 tahun, juga menunjukkan kian dikuatkannya pola struktural di MK. Padahal, sembilan hakim MK sama-sama kualitas dan kedudukannya, termasuk dalam pengambilan putusan pun sifatnya kolektif kolegial. Oleh karena itu, menurut Bayu, tidak boleh ada anggota MK yang dikedepankan atau dianggap lebih tinggi dari anggota yang lain.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Suasana uji materi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan agenda perbaikan permohonan di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (21/10/2019). Sidang dipimpin hakim Mahkamah Konstitusi, Manahan MP Sitompul, Anwar Usman, dan Enny Nurbaningsih. Para pemohon yang berstatus mahasiswa antara lain menyoal Dewan Pengawas dan kewenangan KPK menghentikan penyidikan.
Bukan prioritas
Ketua Komisi III DPR Herman Hery mengatakan, RUU MK itu memang sudah didorong ke Badan Legislasi (Baleg). Namun, RUU itu bukan merupakan RUU prioritas. ”Masuk long list (daftar panjang) saja,” katanya.
Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi mengatakan, RUU MK merupakan usulan anggota DPR dan telah diharmonisasi di Baleg. Namun, RUU tersebut tidak masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas), tetapi merupakan RUU kumulatif terbuka. Artinya, RUU itu bisa diajukan manakala dipandang perlu dibahas.
”Ada beberapa RUU kumulatif terbuka sehingga tidak masuk menjadi Prolegnas. RUU itu sewaktu-waktu bisa diajukan,” katanya.
Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, mengatakan, pembahasan RUU MK itu diserahkan kepada Komisi III. Namun, belum ada pembahasan mendalam di Komisi III terkait dengan RUU tersebut sebab naskah akademik dan drafnya dibuat oleh Baleg.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Arsul Sani
Arsul menilai UU MK memang perlu diubah, antara lain terkait dengan cara perekrutan yang mestinya sama antara DPR, Presiden, dan MA. ”Juga soal benturan kepentingan antara hakim MK dari MA ketika mengadili judicial review yang terkait dengan UU MA, UU lembaga peradilan lainnya, dan UU KY,” katanya.