Penerbitan Izin Tanpa Pengawasan Berpotensi Merusak Alam
Denda atau ganti rugi bagi perusak lingkungan tak cukup menggantikan kerugian akibat kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, pengawasan harus ditingkatkan. Jangan lagi setelah izin diterbitkan, pemerintah lepas tangan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerbitan izin dalam pengelolaan sumber daya alam yang tidak diiringi dengan pengawasan ketat akan berdampak pada kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, setelah izin terbit, pemerintah seharusnya tidak lepas tangan. Fungsi pengawasan harus dijalankan.
Hakim tinggi pada Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) dan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung, Bambang Heriyanto, mengatakan, denda dan ganti rugi tidak cukup untuk menggantikan kerugian akibat kerusakan lingkungan.
Hal tersebut diungkapkan Bambang dalam diskusi kelompok bertajuk ”Pendekatan Pemulihan Kerugian Negara dan Kerusakan Lingkungan terhadap Pelaku Kejahatan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup” yang diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Rabu (26/2/2020).
”Proses perusakan lingkungan ini panjang. Ini kejahatan yang berakumulasi. Perusahaan melakukan kegiatannya karena ada izin. Setelah izin terbit, seharusnya ada pengawasan yang dilakukan pemerintah,” kata Bambang.
Ia menjelaskan, pemerintah seharusnya melakukan tindakan tegas ketika ada perusahaan yang berpotensi merusak lingkungan, yakni dengan mencabut izin lingkungannya.
Selain itu, saat sebuah perusahaan mengajukan izin, pemerintah seharusnya mencermati pula analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang dibuat perusahaan tersebut. Hal lainnya, perlu dilihat perjalanan perusahaan tersebut. Jika perusahaan itu pernah bermasalah, sebaiknya izin tidak dikeluarkan.
Pendekatan hukum administratif dinilainya akan lebih efektif daripada hanya sekadar memberikan hukuman pidana kepada perusahaan yang merusak lingkungan. Langkah awal dengan pendekatan hukum administratif, yakni memperkuat komitmen pejabat dalam penerbitan izin lingkungan dan usaha. Selanjutnya, dilakukan pengawasan dan pemberian sanksi administratif bagi pelanggar.
Jika tetap melakukan pelanggaran, perusahaan tersebut bisa digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Gugatan tersebut juga dapat ditujukan kepada pejabat yang tidak melakukan pengawasan.
Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Ditjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Jasmin Ragil Utomo mengatakan, pencabutan izin lingkungan harus diiringi dengan pencabutan izin usaha.
”Pencabutan izin lingkungan tidak menyelesaikan masalah karena mereka masih memiliki izin usaha sehingga perusahaan tersebut masih bisa melakukan aktivitas. Kita sama saja dengan melegalkan yang ilegal,” kata Jasmin.
Karena itu, ia berharap antarkementerian dan lembaga berkolaborasi sehingga ketika izin lingkungan atau pertambangan dicabut, izin usahanya otomatis dapat dicabut juga.
Ditemui secara terpisah, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo mengatakan, penerbitan izin lingkungan dapat menjadi sumber korupsi pada sumber daya alam. Perizinan sering menjadi perburuan para rente atau aktor yang meminta uang supaya izin keluar. Alhasil, tak jarang kepala daerah melanggar prosedur yang berlaku.
Kepala daerah mudah tergiur menerima suap karena korupsi dalam perizinan lebih mudah dilakukan daripada korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang dapat dipantau oleh publik.
”Korupsi dalam perizinan dengan menerima suap tidak mudah dideteksi, sedangkan korupsi barang dan jasa dapat terlihat karena terkait dengan kerugian negara,” ujar Adnan.
Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi Pahala Nainggolan mengatakan, perizinan yang paling dekat dengan kasus korupsi di antaranya penerbitan izin di luar wilayah yang tidak seharusnya seperti hutan lindung.
Kasus lainnya, perusahaan melakukan aktivitas melebihi izin yang diberikan. Hal tersebut terjadi karena pemerintah daerah tidak mengawasi. Selain itu, izin yang dikeluarkan sering kali tumpang tindih dan aktivitas yang dilakukan tidak sesuai izinnya. Sebagai contoh, perusahaan mendapatkan izin untuk perkebunan, tetapi justru menambang.
Akan tetapi, tidak semua kasus terkait perizinan tersebut dapat ditangani KPK. Mereka hanya bisa menindak ketika ditemukan adanya suap dalam proses pemberian izin tersebut. Karena itu, Pahala mendorong agar dilakukan perizinan secara terbuka. Dengan cara itu, publik dapat melakukan pengawasan.