Sikap intoleransi dapat berkembang menjadi radikalisme, bahkan terorisme. Sementara itu, dalam menangkal radikalisme, Wapres Ma’ruf Amin menekankan pentingnya memutus proses transfer cara berpikir radikal.
Oleh
Nina Susilo
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Intoleransi di tengah masyarakat diakui kian marak. Tak hanya melanggar konstitusi, sikap tidak bisa menerima perbedaan tersebut bisa berkembang menjadi radikalisme, bahkan berujung pada terorisme.
Pesan agar sivitas akademika turut terlibat menjaga kerukunan dan menyuarakan narasi-narasi kerukunan pun disampaikan Wakil Presiden Ma’ruf Amin saat memberikan kuliah umum di Universitas Mataram, Mataram, Nusa Tenggara Barat, Rabu (19/2/2020).
Kuliah umum dihadiri 1.500 mahasiswa serta Gubernur NTB Zulkieflimansyah, Rektor Universitas Mataram Lalu Husni, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo.
Belakangan, menurut Wapres Amin, harus diakui semakin banyak kasus intoleransi terjadi, mulai dari pelarangan pendirian rumah ibadah, pelarangan ritual, hingga bentuk-bentuk intoleransi lainnya seperti adanya orang yang enggan duduk bersebelahan atau berbisnis dengan kelompok atau individu yang berbeda agama atau keyakinan.
”Sikap intoleransi ini virus berbahaya yang dapat mengoyak keutuhan negara Republik Indonesia. Sebuah keniscayaan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk,” tutur Wapres Amin.
Realitas yang majemuk tersebut, menurut Wapres Amin, membuat para pendiri bangsa bersepakat untuk mendirikan sebuah negara yang mengakomodasi dan menjamin kemajemukan tersebut. Oleh karena itu, bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan dasar negara Pancasila adalah kesepakatan nasional yang harus dijaga.
Di sisi lain, intoleransi merupakan pelanggaran terhadap konstitusi. Sebab, UUD 1945 sudah menjamin setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing. Negara pun menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk beribadah sesuai agama dan kepercayaannya.
Oleh karena itu, toleransi semestinya menjadi sikap hidup masyarakat Indonesia. Harus ada sikap menerima perasaan, kebiasaan, pendapat, maupun kepercayaan yang berbeda dari yang dimiliki seseorang. Toleransi bahkan bisa membumi dengan turut membantu dan bekerja sama dengan kelompok lain.
”Kita semua harus memiliki komitmen untuk menjaga keutuhan dan persatuan nasional dengan toleransi. Umat Islam sendiri sebagai pemeluk agama mayoritas harus berpegang pada prinsip Ukhuwah Islamiyah, persaudaraan sesama Islam. Oleh karena itu, di dalam sesama Islam tidak boleh ada sikap ego kelompok yang memandang bahwa hanya kelompoknya saja yang benar,” tutur Wapres Amin.
Dalam pidatonya, Wapres Amin juga berharap sivitas akademika di Universitas Mataram dan perguruan tinggi lainnya turut berpartisipasi menangkal radikalisme.
Untuk menangkal radikalisme tersebut, harus terlebih dulu dimulai dari mengenal jenis-jenis kelompok radikal. Dari identifikasi itu, upaya memutus proses transfer cara berpikir radikal dari yang sudah terpapar radikalisme ke orang lain dapat tepat sasaran.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, disebutkan Wapres Amin, telah menyiapkan kerangka penanganan radikalisme dan terorisme ke dalam lima kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok indifference atau kelompok yang tidak memiliki pikiran atau paham radikal terorisme tetapi mungkin terekspos narasi-narasi radikal terorisme. Kelompok ini sulit diidentifikasi.
Kelompok kedua, kelompok laten atau kelompok yang diam-diam dalam hatinya menyetujui tindakan radikal, tetapi tidak mengekspresikan persetujuannya dalam bentuk apa pun. Kelompok ini juga sulit diidentifikasi.
Kelompok ketiga adalah kelompok yang ekspresif menunjukkan dukungan dan persetujuan atas tindakan radikal terorisme serta mengekspresikannya dalam ruang publik, misalnya di media sosial. Kelompok ini dapat dimonitor dan diidentifikasi sehingga seharusnya bisa didekati secara humanis.
Kelompok keempat adalah kelompok yang sudah mulai terlibat dalam tindakan-tindakan yang memiliki unsur radikal terorisme. Kelompok ini harus ditangani melalui penegakan hukum dan deradikalisasi.
Kelompok terakhir adalah kelompok yang telah terlibat aksi terorisme. Penanganan untuk kelompok ini dilakukan melalui penegakan hukum dan deradikalisasi serta bagi korban dilakukan upaya pemulihan dan penanganan pascakrisis.
”Saya berkeyakinan upaya penanggulangan radikal terorisme dari hulu ke hilir harus dimulai dari pendidikan. Oleh karena itu, peran lembaga pendidikan sangat penting. Saya harapkan kampus ini dapat menyampaikan lebih banyak narasi tentang toleransi atau kerukunan, sikap cinta kepada sesama, nasionalisme, patriotisme, dan bela negara,” tambah Wapres Amin.
Menurut Lalu Husni, radikalisme merupakan ancaman nyata di kalangan mahasiswa. Radikalisme masuk ke kampus-kampus sehingga diperlukan upaya preventif. Tanpa itu, mahasiswa akan dengan mudah terpapar radikalisme dan ujungnya mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam kesempatan itu, Zulkieflimansyah memberikan 1.000 beasiswa kepada mahasiswa terbaik NTB untuk kuliah ke luar negeri. Beasiswa disebutkan sebagai salah satu upaya menangkal radikalisme dan menumbuhkan nasionalisme.