Putusan Mahkamah Konstitusi seharusnya menjadi rujukan dalam setiap pembentukan undang-undang, termasuk RUU Cipta Kerja. Pasalnya, MK berwenang menguji semua produk perundang-undangan yang dibahas DPR dan pemerintah.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Konstitusi seharusnya menjadi rujukan dalam setiap pembentukan undang-undang. Konstitusi sebagai hukum tertinggi seharusnya juga ditaati dan dihormati.
Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono, Rabu (19/2/2020), di Jakarta menyampaikan, MK sudah memutus bahwa peraturan daerah (perda) dapat dibatalkan melalui mekanisme hukum, yaitu uji materi di Mahkamah Agung. Namun, dalam draf Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atau RUU Sapu Jagat, Pasal 166 menyebutkan bahwa peraturan presiden bisa membatalkan peraturan daerah. Hal itu bertentangan dengan putusan MK Nomor 56/PUU-XIV. Putusan MK tersebut bersifat final dan mengikat serta menyatakan bahwa kewenangan pembatalan peraturan daerah berada di Mahkamah Agung.
Putusan itu harus dijadikan rujukan sebagai alas konstitusionalitas pembentukan undang-undang. Kalau kemudian esensi norma yang sudah dinyatakan inkonstitusional hendak dibangkitkan kembali dalam undang-undang lain, tentu itu sebuah persoalan serius.
”Putusan itu harus dijadikan rujukan sebagai alas konstitusionalitas pembentukan undang-undang. Kalau kemudian esensi norma yang sudah dinyatakan inkonstitusional hendak dibangkitkan kembali dalam undang-undang lain, tentu itu sebuah persoalan serius,” ujar Fajar.
Fajar menambahkan, hal ini bukan hanya persoalan ketaatan pada putusan MK, melainkan juga penghormatan terhadap putusan pengadilan. Lebih lanjut, tambah Fajar, konstitusi sebagai hukum tertinggi harus ditaati karena putusan MK adalah konstitusi yang sedang berjalan.
”Jika benar norma itu dihidupkan kembali dalam undang-undang, potensi undang-undang tersebut untuk diuji kembali di MK menjadi terbuka sangat lebar,” kata Fajar.
Selain pasal tersebut, Pasal 170 RUU Cipta Kerja, yang mengatur peraturan pemerintah (PP) dapat digunakan untuk mengubah undang-undang, bertentangan dengan hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 7 Ayat 1 dan 2 UU Nomor 12 Tahun 2011 menegaskan PP memiliki kedudukan lebih rendah dibandingkan dengan UU. Dengan demikian, PP tidak bisa membatalkan atau mengubah UU.
Sementara itu, terkait isi Pasal 170 RUU Cipta Kerja yang menyebutkan PP dapat digunakan untuk mengubah UU, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly mengatakan, kemungkinan ada kesalahan ketik pada pasal itu. ”Ya, ya. Nanti enggak bisa, dong, PP melawan undang-undang, peraturan perundang-undangan itu,” katanya. Menurut Yasonna, mekanisme itu seharusnya untuk mencabut peraturan daerah. Dengan demikian, perda mengikuti aturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Kompas, 18/2/2020).
Tak boleh dikesampingkan
Pengamat hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, berpendapat, pembentukan UU tidak boleh mengesampingkan UU lain yang lebih tinggi. Pasal 166 RUU Cipta Kerja jelas bertentangan dengan teori jenjang yang diatur dalam Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011.
Pasal tersebut juga bertentangan dengan prinsip ilmu hukum tentang teori norma. Jika sampai pasal tersebut disahkan, Presiden Joko Widodo melanggar konstitusi, yaitu Pasal 20 Ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa kewenangan membentuk UU berada di tangan DPR.
Feri juga berpendapat, jika UU dapat dibatalkan oleh peraturan pemerintah (PP), ini menunjukkan bahwa rezim pemerintahan sekarang bisa dinilai otoriter. Sebab, secara prinsip ketatanegaraan, kekuasaan harus dipisah-pisahkan agar tidak ada penyalahgunaan kekuasaan. Jika kekuasaan legislasi diserahkan kepada pemerintah dengan cara mengesampingkan UU dengan PP, kekuasaan pemerintah sangat kuat dan absolut. Sebab, dalam menjalankan pemerintahan pun, pemerintah diatur menggunakan UU sebagai acuan. Namun, UU tersebut kemudian bisa dibatalkan oleh PP.
Coba bayangkan betapa kuatnya pemerintah kalau seperti itu? Ini bisa jadi negara otoriter.
”Coba bayangkan betapa kuatnya pemerintah kalau seperti itu? Ini bisa jadi negara otoriter,” kata Feri.
Feri juga skeptis terhadap pernyataan pemerintah bahwa Pasal 170 RUU Cipta Kerja salah ketik. Ia justru mempertanyakan ada niat apa dari pemerintah sehingga RUU yang dibuat menabrak prinsip teori konstitusi. Konsekuensi yang ditanggung pemerintah jika sampai menabrak konstitusi pun tidak tanggung-tanggung. MPR dapat menyelenggarakan sidang istimewa jika presiden terbukti melakukan kesengajaan dan melanggar haluan negara.
”Omnibus law ini bermasalah di prosedur pembentukannya. Ini juga menjadi salah satu bukti bahwa proses pembentukan RUU itu acak adut,” ucap Feri.