Negara Penuh Drama
Drama di negeri ini terus terjadi sehingga bisa membuat semua lupa akan pekerjaan rumah dunia nyata.
Dunia ini panggung sandiwara
Ceritanya mudah berubah
Kisah Mahabrata atau tragedi dari Yunani
Setiap kita dapat satu peranan
Yang harus kita mainkan
Ada peran wajar, ada peran berpura-pura
Mengapa kita bersandiwara
Mengapa kita bersandiwara....
Lagu ”Panggung Sandiwara” yang dipopulerkan God Bless pada 1970-an tiba-tiba terngiang saat melihat serial drama yang belum juga usai dari republik kendati 2020 sudah menginjak Februari. Bencana banjir yang menerpa Jakarta dan Surabaya serta sejumlah tempat di Indonesia begitu cepat menjadi ajang kontestasi politik. Rivalitas politik di antara tokoh untuk menjadi kepala daerah dilakukan dengan menghalalkan segala cara. Akibatnya, sejumlah elite menjadi korban perundungan di media sosial.
Belum tuntas soal bencana alam banjir dan longsor, bencana lain tiba. Wabah virus korona jenis baru menjadi wabah global, tak terkecuali Indonesia.
Drama lain pun muncul. Keraton-keraton tiba-tiba mencuat merebut perhatian publik. Ada Keraton Agung Sejagat. Ada Sunda Empire. Ada King of the King. Fenomena itu mengingatkan publik pada peristiwa presiden-presidenan setelah Pemilu 17 April 2019. Gejala kemunculan ”keraton-keratonan” itu dibahas berhari-hari di berbagai media.
Baca juga: Akhir Cerita Keraton Agung Sejagat
Polri menyikapi serius. Ada pihak yang dijerat dengan pasal penipuan, seperti kasus Keraton Agung Sejagat, karena pengikutnya diwajibkan membayar iuran Rp 3 juta hingga Rp 30 juta. Ada pula yang dijerat dengan pasal penggunaan tanda kepangkatan secara ilegal. Padahal, bisa saja fenomena keraton-keratonan itu hanyalah humor penghilang stres.
Seperti kata Presiden Joko Widodo yang dikutip CNNIndonesia.com, ”Ya, itu hiburan saja.” Atau reaksi Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, ”Banyak orang stres di republik ini.” Atau respons Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat menengok lokasi Keraton Agung Sejagat di Purworejo, ”Kita jadikan tempat wisata.”
Drama berkepanjangan terjadi saat dilaporkan ada 600 warga negara Indonesia (WNI) pengikut Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang berada di Suriah dan Turki. Sebagaimana diberitakan media, pejabat Indonesia tak satu kata.
Menteri Agama (Menag) dilaporkan ingin memulangkan 600 WNI eks NIIS, sejumlah politikus Partai Keadilan Sejahtera mendorong pemulangan WNI eks NIIS. Sementara Presiden Jokowi mengatakan, ”sebagai pribadi” dia tidak mau memulangkan mereka. ”Tapi, tunggu ratas,” kata Presiden. Terakhir, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menegaskan, sikap pemerintah tidak memulangkan WNI eks NIIS.
Baca juga: Pemerintah Putuskan Tak Pulangkan Teroris Lintas Batas
Di Kementerian Agama, drama lain muncul. Dirjen Pembinaan Masyarakat (Dirjen Binmas) Agama Katolik sempat dijabat pejabat beragama Islam. Kontroversi terjadi. Menag kemudian mengganti pelaksana tugas Dirjen Binmas Katolik itu.
Kontroversi baru muncul menyusul wawancara Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi dengan Detik.com. Dikutip portal berita tersebut, Yudian menyebut agama adalah musuh besar Pancasila. Pernyataan Yudian ditanggapi Sekretaris Jenderal(Sekjen) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Helmy Faishal dan Sekjen Majelis Ulama Indonesia Anwar Abbas.
”Tapi, kalau betul-betul itu dinyatakan oleh kepala BPIP, pernyataan yang ngawur itu,” kata Helmy kepada CNNIndonesia.com, Rabu (12/2/2020).
Kembali gaduh. Anggota DPR dari Fraksi Gerindra, Andre Rosiade, ikut bermain ”drama”. Dia disebutkan ikut menggerebek PSK di sebuah hotel di Padang, Sumatera Barat, bersama Polri. Sesuatu yang tidak perlu. Andre, wakil rakyat yang terhormat itu, berdalih ingin membuktikan bahwa di Padang ada prostitusi daring.
Baca juga: Nasib Andre Rosiade Tunggu Keputusan Partai
Melihat Indonesia di media, seperti melihat panggung depan aktor dengan perannya sebagaimana diteorikan Erving Goffman dalam dramaturginya. Ada panggung depan, ada panggung belakang. Ada peran pencitraan diri, sebagai sosok moralis, sosok bersih, toleran, dan tegas. Namun, di panggung belakang, sang aktor bisa dengan mudah berganti peran sebaliknya. Drama Januari dan Februari, ada yang nyata, seperti banjir dan korona. Namun, peristiwa lain terkesan hanyalah ”permainan sandiwara” untuk menarik perhatian publik.
Elite gencar memproduksi diskursus yang kadang tidak dipahami rakyat. Ada diskursus omnibus law. Ada mimpi ibu kota baru. Perhatian publik tersedot pada isu yang kadang tak substansial. Ada diskursus membangun terowongan antara Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral sebagai simbol toleransi, tetapi nyatanya pembangunan rumah ibadah masih saja susah. Izin yang sudah didapat bisa dibatalkan karena tekanan massa.
Drama terus terjadi sehingga bisa membuat semua lupa akan pekerjaan rumah dunia nyata. Ketika korupsi merajalela, ketika ketimpangan masih ada, saat anggaran kian terbatas, mengapa kita terus bersandiwara. Publik belum lupa bahwa ada aktivis yang masih hilang di era Orde Baru dan belum ditemukan. Daftar orang hilang tak perlu ditambah dengan Harun Masiku, tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi, yang belum juga ketahuan rimbanya.