JAKARTA, KOMPAS – Dewan Perwakilan Rakyat bukanlah lembaga yudikatif yang berhak menentukan sebuah kasus merupakan kejahatan ataukah bukan. Sebagai lembaga legislatif, DPR tidak berwenang memutuskan hak tersebut, tetapi dapat memberikan rekomendasi kepada pemerintah atau aparat penegak hukum terkait hal-hal yang menjadi perhatian masyarakat.
Ketua Komisi III DPR RI Herman Hery mengatakan, dirinya akan mengusulkan kepada Komisi III untuk mengadakan rapat bersama antara Kejaksaan Agung, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, untuk membahas kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu. Pertemuan itu dimaksudkan untuk menghindari polemik lebih lanjut setelah Jaksa Agung ST Burhanuddin mengungkapkan Tragedi Semanggi I dan II bukan merupakan pelanggaran HAM berat di hadapan DPR RI, Kamis lalu.
“Mengenai statement (pernyataan) Jaksa Agung terkait Tragedi Semanggi, perlu saya tegaskan bahwa sebagai negara hukum, yang berhak menentukan sebuah kasus merupakan sebuah kejahatan atau bukan adalah lembaga yudikatif,” kata Herman, Sabtu (18/1/2020) di Jakarta.
DPR sebagai lembaga legislatif, menurut Herman, tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan hal tersebut. Akan tetapi, sebagai lembaga politik, legislatif dapat memberikan rekomendasi kepada pemerintah atau aparat penegak hukum terkait hal-hal yang menjadi perhatian masyarakat.
Sebelumnya, Jaksa Agung mengutip pendapat Panitia Khusus Kasus Trisakti serta Semanggi I dan II yang melaporkannya dalam rapat paripurna DPR, 9 Juli 2001. Pansus menyebutkan tidak ada pelanggaran HAM dalam peristiwa itu. Menurut Herman, keputusan politik oleh DPR pada periode tersebut bukan merupaakn keputusan hukum sebagaimana kewenangan yang dimiliki oleh yudikatif.
“Seperti contoh, pada tahun 2005 Komisi III juga pernah merekomendasikan kepada pimpinan DPR RI agar kasus Trisakti Semanggi I dan II dibuka kembali. Jadi, rekomendasi DPR itu merupakan keputusan politik bukan merupakan keputusan hukum,” katanya.
Herman menegaskan, inisiasi rapat bersama di Komisi III yang dilakukan antara Jaksa Agung, Komnas HAM, dan Menkopolhukam diharapkan bisa dioptimalkan untuk membahas persoalan ini hingga tuntas.
Putusan MK
Mengenai perlu tidaknya pendapat DPR dalam proses penegakan hukum kasus HAM berat masa lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan Nomor 18/PUU-V/2007 tanggal 21 Februari 2008, telah memberikan penafsiran atas Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Putusan tersebut lahir dari permohonan yang diajukan oleh Eurico Guterres, mantan wakil panglima pasukan pejuang integrasi Timor Timur. Sidang dipimpin oleh Jimly Asshiddiqie saat ia masih menjabat Ketua MK.
Pemohon mengajukan uji materi terhadap Pasal 43 Ayat (2 dan penjelasannya. Pasal 43 Ayat (2) berbunyi, “Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden.”
Adapun penjelasan pasal itu berbunyi, “Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dibatasi pada locus dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini.”
Jimly mengatakan, untuk menentukan perlu tidaknya pembentukan Pengadilan HAM ad hoc atas suatu kasus tertentu menurut locus dan tempus delicti, keterlibatan institusi politik yang mencerminkan representasi rakyat, yaitu DPR, memang diperlukan. Akan tetapi, DPR dalam merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institusi yang memang berwenang untuk itu. Oleh karena itu, DPR tidak serta merta menduga sendiri tanpa memperoleh hasil penyelidikan dan penyidikan terlebih dahulu dari institusi yang berwenang, dalam hal ini Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai penyidik sesuai ketentuan UU No 26/2000.
Sementara itu, Menko Polhukam Mahfud MD yang ditemui, Jumat, akhir pekan lalu di Istana, mengatakan, dirinya akan berdiskusi terlebih dulu dengan Jaksa Agung dan Komnas HAM menyangkut upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. “Ini kan sejak dulu selalu berbeda antara kejaksaan dan Komnas HAM. Nanti saya mau diskusi dulu secara terpisah dengan keduanya,” kata Mahfud.
Sebelumnya, juru bicara presiden Fadjroel Rahman mengatakan, dirinya sudah bicara dengan Menko Polhukam Mahfud MD terkait dengan pernyataan Jaksa Agung dan persoalan HAM.
“Nanti Pak Menko Polhukam yang akan memberi jawaban secara langsung terkait hal tersebut,” katanya.