Tingkatkan Partisipasi, Kebutuhan Teknis Pemilih Perlu Dipenuhi
Oleh
Fajar Ramadhan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Persoalan teknis penyelenggaraan pemilihan umum dinilai lebih memengaruhi tingkat partisipasi pemilih dibandingkan alasan ideologis pemilih dalam Pemilu 2019. Oleh karena itu, peran penyelenggara pemilu dalam mengakomodasi kepentingan teknis pemilih berbanding lurus dengan tingkat partisipasi mereka.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menargetkan partisipasi Pemilu 2019 sebesar 77,5 persen.
Pendiri sekaligus Peneliti Senior Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) Hadar Nafis Gumay menilai persoalan teknis menjadi tantangan besar dalam meningkatkan partisipasi Pemilu 2019. ”Saya tidak terlalu ragu dengan persoalan ideologis pemilih,” Katanya di Jakarta, Selasa (3/4/2019).
Dalam pemilu-pemilu sebelumnya, mantan anggota KPU tersebut mengungkapkan, golongan putih (golput) karena alasan ideologis jumlahnya cenderung tidak signifikan. Justru, alasan teknis yang seharusnya bisa ditangani oleh penyelenggara pemilu lebih banyak memengaruhi golput.
Kini, masyarakat tengah dihadapkan pada situasi pemilu yang kompleks. Adanya lima surat suara ditambah banyaknya calon, menurut Hadar juga turut memengaruhi partisipasi pemilih. Oleh karena itu, dibutuhkan pengertian yang bisa memudahkan mereka.
”Misalnya, jika masyarakat kesulitan memilih caleg, bisa diarahkan untuk memilih partai politiknya saja agar tetap sah,” kata Hadar.
Selain itu, KPU juga harus memastikan sejumlah aturan teknis bisa sampai kepada masyarakat. Misalnya, yang baru saja dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang penggunaan surat keterangan bagi masyarakat yang tidak memiliki e-KTP dan perpanjangan layanan pindah memilih.
”Tips-tips untuk mempermudah harus sampai kepada masyarakat,” kata Hadar.
MK telah mengabulkan uji materi Pasal 210 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dengan begitu, pemilih yang ingin pindah memilih masih bisa dilayani maksimal tujuh hari sebelum pemungutan. Ada empat kondisi yang dikabulkan, yakni karena bencana, sakit, menjalani masa tahanan dan melaksanakan tugas dalam hari pemungutan suara.
Meski begitu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, surat edaran terkait tindak lanjut putusan MK yang dikirimkan oleh KPU RI kepada KPU daerah masih membuat kebingungan di lapangan. KPU dituntut untuk menjelaskan secara rinci maksud alasan pindah memilih karena sedang dalam tugas.
”KPU harusnya mengategorikan apa tugas yang dimaksud tersebut. Supaya tidak ada tafsir ganda di lapangan,” katanya.
Di dalam surat edaran tidak tercantum secara jelas kategori yang dimaksud dengan tersebut. Alhasil, muncul kasus pemilih yang mengajukan diri dengan alasan sedang menjalani tugas belajar ditolak oleh KPU daerah, sedangkan yang ikut suami bertugas justru dilayani.
”Pekerjaan pilot, wartawan, dan dokter seharusnya juga termasuk. Meski rutin, tapi jadwal kerja tidak bisa dikendalikan,” ujar Titi.
Upaya pamungkas
Peneliti Senior Netgrit Ferry Kurnia Rizkiansyah menilai KPU memiliki upaya pamungkas untuk mendorong partisipasi pemilih. Upaya tersebut bisa dilakukan saat Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) membagikan formulir C6 atau surat pemberitahuan memilih.
”Penting bagi KPPS untuk tidak hanya menyampaikan C6, tapi juga memberi sosialisasi dan mengajak masyarakat secara personal,” katanya.
Ferry menambahkan, pendekatan juga bisa dilakukan melalui jejaring masyarakat. Misalnya sosialisasi pemilu melalui kelompok perempuan, pemilih pemula, adat, dan sebagainya. Selain itu, peran tokoh masyarakat juga punya andil besar untuk mengajak pemilih datang ke TPS.