JAKARTA, KOMPAS — Suap yang diberikan Eddy Sindoro kepada panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution, diduga berkaitan dengan kepentingan korporasi. Dua korporasi, yakni PT Metropolitan Tirta Perdana dan PT Across Asia Limited, yang bermasalah hukum masih berafiliasi dengan salah satu jaringan konglomerasi besar di Indonesia.
Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (27/12/2018), jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membacakan berkas dakwaan untuk Eddy. Dalam dakwaan, Eddy disebut memberi suap kepada Edy Nasution sebesar Rp 150 juta dan 50.000 dollar AS berkait perkara hukum yang menimpa PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) dan PT Across Asia Limited (AAL).
Uang Rp 100 juta diserahkan melalui perantara, Doddy Aryanto Supeno, untuk menunda teguran aanmaning MTP sekitar Desember 2015. Proses ini berkaitan dengan putusan Singapore International Arbitration Centre (SIAC) pada 2013 yang menyatakan MTP wanprestasi dan wajib membayar ganti rugi 11,1 juta dollar AS kepada PT Kymco.
Akan tetapi, karena ganti rugi tak kunjung dilakukan, Kymco mendaftarkan putusan tersebut di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar eksekusi dapat dilakukan di Indonesia. Atas dasar ini, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melayangkan panggilan aanmaning kepada MTP.
”Dalam hal ini, Edy Nasution bersedia menunda proses aanmaning dengan imbalan Rp 100 juta yang disetujui oleh terdakwa,” ujar jaksa Ni Nengah Gina Saraswati.
Lewati tenggat
Adapun uang Rp 50 juta dan 50.000 dollar AS diberikan untuk mengajukan peninjauan kembali (PK) atas nama AAL, yang sudah lewat masa tenggat. Semula, Edy Nasution tak bersedia menerima pengajuan PK tersebut karena sudah melewati tenggat. Namun, setelah ditawari imbalan, ia setuju dan meminta Rp 500 juta. Permintaan tersebut disetujui terdakwa.
Melalui kuasa hukum perusahaan, Edy Nasution menerima 50.000 dollar AS. Selanjutnya, permohonan PK didaftarkan dan langsung diurus Edy hingga sampai proses di Mahkamah Agung.
Atas dakwaan ini, Sindoro menyatakan tidak mengajukan eksepsi. Dengan demikian, Ketua Majelis Hakim Hariono memutuskan untuk melanjutkan agenda persidangan pada Januari 2019 dengan pemeriksaan saksi.