JAKARTA, KOMPAS - Korupsi yang terjadi di Indonesia menyebabkan sejumlah kebijakan publik yang seharusnya disusun berbasis kebutuhan untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat justru dibuat untuk mengakomodasi kepentingan pemberi suap. Kondisi ini tak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merenggut hak masyarakat untuk merasakan pembangunan yang tepat sasaran.
Catatan Litbang Kompas, Minggu (9/12/2018), tiga provinsi dengan kasus korupsi terbanyak yang diusut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2004-2018, yaitu Jawa Timur, Jawa Barat, dan Sumatera Utara, pada 2017 memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di bawah IPM nasional. Padahal, IPM Jawa Barat dan Sumatera Utara pada tahun 2004 ada di atas IPM nasional.
Di sejumlah daerah yang ditemukan ada kasus korupsinya, pembangunan tetap dilaksanakan. Namun, dari 814 kasus korupsi yang diungkap KPK pada 2004 hingga saat ini, terutama yang terkait dengan suap pengadaan barang dan jasa serta perencanaan anggaran, terlihat bahwa sebagian dari program pembangunan itu diadakan sesuai dengan keinginan pemberi suap. Selain itu, dalam beberapa kasus, anggaran juga ”dikapling” guna disesuaikan dengan keinginan anggota badan legislatif.
Pembagian
Di Kota Malang, Jawa Timur, misalnya, tahun ini 41 anggota DPRD serta Wali Kota Malang 2013-2018 M Anton ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena korupsi pembahasan APBD Perubahan 2015. Anton dan beberapa kontraktor diduga menyuap anggota DPRD Kota Malang agar pembahasan APBD-P berlangsung lancar. Pihak swasta terlibat memberikan uang karena terkait kelangsungan proyeknya.
Pada kasus korupsi yang melibatkan mantan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho, dana bantuan sosial untuk masyarakat diberikan kepada organisasi fiktif. Gatot juga menyuap 50 anggota DPRD Sumut periode 2009-2014 dan 2014-2015 terkait pembahasan dan laporan pertanggungjawaban APBD.
Dalam kasus suap persetujuan APBD Sumut 2014, KPK menemukan adanya permintaan proyek untuk dibagikan kepada semua anggota DPRD Sumut senilai Rp 1 triliun. Namun, permintaan tersebut akhirnya dikonversi dalam bentuk uang senilai 5 persen dari permintaan proyek, yakni Rp 50 miliar.
Kondisi hampir serupa ditemukan di tingkat pusat. Mantan anggota Komisi V DPR, Damayanti Wisnu Putranti, dalam persidangan perkara korupsi infrastruktur di Maluku dan Maluku Utara tahun 2016, mengatakan, ada jatah proyek untuk anggota hingga pimpinan DPR. Untuk kelas anggota DPR, jatah proyek yang diperoleh maksimal Rp 50 miliar, sementara untuk ketua kelompok fraksi, maksimal Rp 100 miliar. Dari tiap proyek itu, ada fee untuk anggota DPR berkisar 2-7 persen dari nilai proyek (Kompas, 12/4/2016).
Damayanti yang kini ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Anak dan Wanita Tangerang, Banten, menjelaskan, jatah itu disepakati melalui ketua kelompok fraksi, yang kemudian didistribusikan kepada setiap anggota DPR di tiap komisi, sesuai dengan proyeknya.
Anggota DPR di tiap komisi bersama dengan mitra kerjanya dari pemerintah lalu menyusun langkah untuk menjalankan kesepakatan itu. Hal-hal seperti teknis lelang turut dibahas agar proses tetap berjalan sesuai dengan prosedur, tetapi hasilnya sudah diarahkan.
”Korupsi yang membajak kebijakan ini membuat masyarakat terpinggirkan dalam pembangunan. Aspirasinya jadi hilang, dikalahkan kepentingan pembajak kebijakan, bisa eksekutif, legislatif, atau swasta,” kata Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng.
Korupsi yang membajak kebijakan ini merugikan masyarakat dalam dua hal. Pertama, pembajakan kebijakan umumnya melibatkan fee yang diberikan swasta kepada legislatif atau eksekutif sehingga kualitas pembangunan seperti infrastruktur jadi buruk. Hak masyarakat mendapat kenyamanan dan keamanan menggunakan infrastruktur itu akhirnya tidak terpenuhi. Pembajakan kebijakan ini membuat program yang dibutuhkan masyarakat bisa tidak mendapat alokasi.
Lebih jauh, pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Rimawan Pradiptyo mengingatkan, korupsi juga membuat inefisiensi perekonomian. Ibarat mesin, korupsi membuat kebocoran, sehingga kendati diberi input besar, ”mesin” tidak bisa berjalan optimal. Akibat lanjutan dari inefisiensi itu muncul ketimpangan, kesenjangan, dan kemiskinan.
Penganggaran
Pembajakan anggaran sebagian sudah terjadi saat perencanaan. Di daerah, perencanaan anggaran terpusat pada empat proses. Pertama, melalui masukan dari masyarakat yang berlangsung berjenjang dari tingkat desa. Kedua, ada proses teknokratik yang dilakukan satuan kerja perangkat daerah, lalu proses politik melalui aspirasi dari legislatif, serta kebijakan nasional yang diturunkan ke daerah. Program kemudian dirumuskan dalam rencana kerja pemerintah daerah (RKPD).
Menurut Guru Besar Administrasi Publik UGM Wahyudi Kumorotomo, proses pembajakan kebijakan anggaran itu kerap terjadi pada saat proses penetapan kebijakan umum anggaran (KUA) serta prioritas dan plafon anggaran sementara (PPAS). ”Apakah kebijakan berpihak kepada publik atau tidak, bisa dilacak pada KUA dan PPAS, lalu proporsi APBD yang dialokasikan untuk publik dalam belanja modal,” ujarnya.
Pembajakan kebijakan yang dimulai dari perencanaan ini tidak terlepas dari ”pasokan” usulan proyek yang besar. Di Provinsi Jambi, misalnya, menurut Staf Khusus Bidang Ekonomi DPRD Provinsi Jambi Pantun Bukit, dalam setahun total nilai proyek yang diusulkan bisa mencapai Rp 20 triliun, sedangkan APBD Provinsi Jambi sekitar Rp 4 triliun. Hal ini membuat persaingan untuk memasukkan proyek ke APBD jadi ketat sehingga pembahasan APBD menjadi sangat rawan suap dan gratifikasi.
”Penentuan lolos atau tidaknya suatu program sering kali tidak berdasarkan skala prioritas kebutuhan, tetapi bergantung siapa yang berani melobi dengan suap yang lebih besar,” ujarnya.
Menurut Kumorotomo, korupsi yang membajak kesejahteraan masyarakat bisa diatasi dengan pembenahan manajemen pemerintahan, membuka kontrol dari masyarakat, serta ada pembenahan terhadap sistem politik yang kini berbiaya mahal. (IAN/NSA/DIA/NIT/GAL)