JAKARTA, KOMPAS-Gagasan pemilihan umum asimetris di sejumlah daerah tengah dirumuskan dalam hasil akhir Konferensi Hukum Tata Negara ke-5 yang rencananya diserahkan ke a pemerintah dan penyelenggara Pemilu, Senin (181/11/2018). Dengan mekanisme pemilu asimetris, diharapkan pemilihan tetap bisa mengakomodasi keunikan wilayah, tanpa menciderai representasi kedaulatan rakyat pemilu yang bersih, jujur, dan adil.
“Hal-hal teknis yang dirumuskan diharapkan sesuai semangat pemilu yang mau dibangun konstitusi. Kedua, kami juga mendapatkan informasi dalam Program Legislasi Nasional 2019, ada rancangan undang-undang tentang penyelenggaraan pemilu. Gagasan teman-teman selama konferensi berusaha kami usulkan di RUU tersebut, selain juga hasil-hasil konferensi yang dikirimkan ke penyelenggara pemilu dan pembuat UU,” kata Feri Amsari, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, akhir pekan lalu.
Gagasan mengenai pemilu asimetris itu sebenarnya telah dipraktikkan dalam rancang bangun Pemilu 2019. Penggunaan sistem noken di Papua, dan keberadaan parpol lokal di Aceh, sebenarnya merupakan akomodasi dari pemilu asimetris tersebut. Namun, kenyataannya, pemilu asimetris itu kerap tak optimal merepresentasikan kedaulatan rakyat.
Kondisi itu antara lain tercermin dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018, yang menimbulkan persoalan di Papua dan Aceh. Sebagai gambaran, tahun 2018, Mahkamah Konstitusi menerima 13 perkara sengketa Pilkada dari Papua. Itu artinya seluruh daerah yang menyelenggarakan Pilkada di Papua, tahun 2018, mengajukan gugatan sengketa ke MK. Adapun dari Aceh, ada dua gugatan sengketa Pilkada 2018. Sebagian persoalan yang muncul dari pilkada di Papua ialah dugaan kecurangan dalam mekanisme pemberian suara dengan sistem noken atau perwakilan oleh kepala suku.
Feri mengatakan, jangan sampai praktik pemilu asimetris di sejumlah daerah itu mereduksi kedaulatan rakyat. “Khusus untuk Papua, tim masih mendiskusikan bagaimana proses perlindungan suara rakyat Papua itu dilakukan. Salah satu tantangannya ialah memberikan kesadaran kepada rakyat Papua bahwasanya ini penting bagi mereka. Upaya-upaya pragmatis dari mereka yang mau mendapatkan suara mereka hanya akan merugikan rakyat Papua,” katanya.
Selain kesadaran masyarakat, pendekatan kepada penyelenggara pemilu, baik yang mengeksekusi penyelenggaraan, maupun pengawasan. “Bagaimana praksis melindugi suara masyarakat Papua, itu yang harus dirumuskan,” ujarnya.
Gagasan tentang pemilu asimetris yang lebih detil itu, menurut Feri, tidak mungkin diterapkan pada Pemilu 2019 lantaran tahapan saat ini tengah berjalan. Upaya perlindungan terhadap suara masyarakat dalam pemilu asimetris itu dimunculkan sebagai wacana dan kajian, sehingga diharapkan bisa menjadi perhatian penting dalam pemilu-pemilu berikutnya.
Optimalisasi Gakkumdu
Untuk hasil konferensi lainnya, terutama yang menyangkut penyelenggaraan Pemilu 2019, lebih ditekankan pada penguatan penegakan hukum dalam pidana pemilu, semisal politik uang. Selama ini peran sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) dinilai belum optimal lantara sejumlah kasus dan laporan belum berhasil ditangani.
“Yang paling penting dalam Pemilu 2019 ini ialah efektivitas penanganan hukum. Idealnya, kalau sudah dinyatakan sebagai pelanggaran pidana pemilu oleh Sentra Gakkumdu, tentu polisi tidak bisa menolaknya. Itulah tujuannya meletakkan polisi dalam posisi tersebut. Dalam beberapa kasus, ketika sudah dinyatakan sebagai tindak pidana oleh Sentra Gakkumdu, ternyata polisi menyatakan bukan,” ujar Feri.
Selain optimalisasi Sentra Gakkumdu, konferensi mengusulkan kepada penyelenggara pemilu agar memperjelas siapa pihak yang menyatakan suatu tindakan itu merupakan pidana pemilu ataukah bukan. Kepastian hukum menjadi tolok ukurnya.
Ketua panitia Konferensi HTN kelima, Khairul Fahmi, menambahkan, rekomendasi lain yang dirumuskan ialah mengenai penanganan politik uang, dan hubungan antarlembaga penyelenggara. Masukan lainnya ialah menyangkut perbaikan regulasi pemilu.
Dihubungi sebelumnya, peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris mengatakan, belum semua persoalan pemilu berhasil dihadirkan rekomendasinya dalam Konferensi HTN kelima pekan lalu di Batusangkar, Sumbar. Namun, sejumlah rekomendasi yang muncul, misalnya, tentang regulasi pemilu yang ajeg dan tidak berubah-ubah, serta penegakan hukum pemilu merupakan masukan berharga bagi pemerintah dan penyelenggara.
Dengan kondisi regulasi saat ini, ia mensinyalir kualitas Pemilu 2019 akan rendah. Alasannya, skema penyelenggaraan pemilu bersifat borongan. “Pertama, pemilu dilakukan untuk memilih lima lembaga, dan dicoblos dalam waktu yang sempit di bilik suara. Kualitasnya bisa diduga akan rendah. Sebab, untuk caleg nasional saja bisa puluhan atau ratusan, belum tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Kedua, skema pemilu serentak kita tidak menyediakan insentif politik. Nah, apa insentif politiknya itu, misalnya, apakah pemilu ini akan mendorong sistem presidensial kita agar makin kuat dan efektif, atau pemerintahan yang lebih stabil,” katanya. Syamsuddin juga menyoroti masih terjadinya politik transaksional dalam Pemilu 2019.