JAKARTA, KOMPAS - Hari ini tepat 10 tahun Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, remi diberlakukan. Namun, UU itu seakan terlupakan di tengah munculnya sejumlah kekhawatiran menguatnya penggunaan isu bernuansa ras dan etnis untuk kepentingan tertentu, seperti kepentingan politik di Pemilu 2019.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yang menurut pasal 8 UU Nomor 40/2008 jadi pengawas terhadap segala bentuk upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis (PDRE), sampai saat ini belum dapat menjalankan tugas itu dengan optimal. “Alat pendeteksi kami terkait upaya PDRE masih lemah,” kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam di kantornya di Jakarta, Jumat (9/11/2018).
Guna memperbaiki pelaksanaan UU itu, lanjut Anam, rapat paripurna Komnas HAM pada awal Oktober lalu telah mengesahkan standar norma dan pengaturan PDRE. Kelak, aturan itu diharapkan jadi pedoman bagi seluruh institusi negara.
Namun, upaya ini berpotensi masih belum dapat membuat Komnas HAM mampu menjalankan tugasnya secara optimal. Pasalnya, peraturan pemerintah (PP) mengenai tata cara pengawasan oleh Komnas HAM seperti amanat UU No. 40/2008, hingga saat ini belum disusun.
Direktur Jenderal Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Widodo Ekatjahjana, berjanji, akan secepatnya mendorong dimasukkannya rancangan PP tersebut ke Badan Pembina Hukum Nasional (BPHN). “Jika dimungkinkan, November ini diusulkan. Harapannya, aturan pelaksana UU 40/2008 itu menjadi prioritas, tahun 2019,” katanya.
Direktur Riset Setara Institute Halili menilai, masyarakat sipil juga punya andil membuat UU No. 40/2008 saat ini seperti menjadi norma hukum tanpa pelaksaan. Ini karena peran masyarakat sipil dalam pelaksanaan UU itu, tidak sekuat saat mendorong hadirnya peraturan tersebut.
Berbagai kondisi ini, membuat banyak masyarakat yang tidak mengetahui atau menyadari adanya UU No. 40/2008. Hal ini, antara lain terlihat dari minimnya pengaduan masyarakat terkait PDRE ke Komnas HAM.
Selama tahun 2011-2018, hanya ada 101 pengaduan kasus PDRE ke Komnas HAM. Padahal, setiap bulannya, komisi itu menerima sekitar 100 laporan dari masyarakat terkait berbagai dugaan kasus pelanggaran HAM.
Pengaduan terkait PDRE yang diterima Komnas HAM, terbanyak terjadi pada 2016, yaitu 36 aduan. Adapun, Jakarta menjadi asal aduan terbanyak dengan 34 laporan, sedangkan Yogyakarta menyusul dengan 25 laporan. Namun, Kepala Bagian Dukungan Pelayanan Pengaduan Komnas HAM Rima Purnama Salim mengungkapkan, asal laporan itu tidak serta merta beratryti bahwa dugaan kasus PDRE terjadi di wilayah tersebut.
Meningkat
Di tengah "dilupakannya" UU No. 40/2008, ditengarai terjadi peningkatan kasus PDRE. Hal ini, antara lain terlihat dari laporan laporan tahunan Wahid Foundation yang khusus menyoroti kemerdekaan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Catatan lembaga itu, ada 204 peristiwa pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan pada 2016. Sementara di 2015 dan 2014, masing-masing ada 190 dan 158 peristiwa pelanggaran. Sejumlah provinsi seperti Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur selalu masuk urutan lima besar wilayah dengan peristiwa pelanggaran tertinggi.
Direktur Wahid Foundation Mujtaba Hamdi menyampaikan, dari riset lembaganya pada 2017, ada pergeseran narasi tentang intoleransi. Apabila sebelumnya identik mengarah ke aksi radikal, belakangan intoleransi muncul secara verbal lewat bentuk ujaran kebencian di sosial media. Skalanya kecil, tapi saat ujaran tersebut dipicu dari tokoh-tokoh yang berpengaruh, akan memperoleh justifikasi sosiokultural. “Akibatnya, orang menormalkan ujaran yang cenderung diskriminatif terhadap etnis dan agama tertentu,” kata Mujtaba.
Intoleransi merupakan bagian dari diskriminasi ras dan etnis. Ini karena Choirul Anam mengatakan, ras adalah golongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik dan garis keturunan. Sedangkan etnis merupakan penggolongan manusia berdasarkan kepercayaan, nilai, kebiasaan, adat istiadat, norma bahasa, sejarah, geografis, dan hubungan kekerabatan.
Terobosan
Pemerhati Hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan, lambatnya implementasi UU 40/2008 adalah fenomena yang kerap terjadi di Indonesia. “Banyak instrumen hukum yang baik, tetapi tidak bisa diimplementasikan karena tidak tahu siapa yang bertanggung jawab memastikan regulasi itu berjalan,” ujarnya.
Kondisi itu terutama ditemui dalam regulasi yang merupakan hasil ratifikasi konvensi internasional. UU 40/2008 merupakan hasil ratifikasi konvensi internasional yang menentang diskriminasi berdasarkan ras dan etnis.
Ketua Pusat Studi Hukum HAM Universitas Airlangga Herlambang P Wiratraman mengatakan, dibutuhkan terobosan guna mengoptimalkan implementasi UU No. 40/2008. “Pemerintah harus berani melawan diskriminasi rasial secara terbuka, dan jangan hanya bicara hitung-hitungan politik untuk terkait Pemilu 2019. Publik butuh keteladanan dari pemerintah di semua elemen untuk menjaga keberagaman di Indonesia,” kata Herlambang.
Terobosan itu kini makin dibutuhkan, karena isu suku, agama, ras, dan antargolongan rentan untuk dimanipulasi atau dimanfaatkan guna kepentingan elektoral di Pemilu 2019. Padahal, dampak dari penggunaan isu itu bisa mengancam kebersamaan hidup bangsa Indonesia yang beragam.