JAKARTA, KOMPAS – Sinergisitas antara Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dengan kementerian/lembaga dalam upaya mencegah benih-benih terorisme selama ini belum efektif. Dengan ditegaskannya kewenangan BNPT sebagai leading sector penanggulangan terorisme dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang baru, situasi diharapkan berubah.
Sebagaimana diketahui, dalam Undang-Undang Antiterorisme, kewenangan BNPT yang selama ini hanya diatur melalui Peraturan Presiden, telah dibakukan dalam undang-undang. Tugas BNPT kini mencakup empat aspek. Pertama, merumuskan dan mengoordinasikan kebijakan, strategi dan program nasional penanggulangan terorisme di bidang kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi.
Kedua, mengordinasikan penindakan antarpenegak hukum dalam penanggulangan terorisme. Ketiga, mengoordinasikan program pemulihan dan rehabilitasi korban aksi terorisme, serta merumuskan dan mengordinasikan kebijakan dan strategi program penanggulangan terorisme di bidang kerja sama internasional.
Dalam rapat dengar pendapat Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat dengan BNPT di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (30/5/2018), Kepala BNPT Komisaris Jenderal Suhardi Alius mengakui, program pencegahan kontraradikalisasi yang selama ini berjalan masih kurang efektif. Ia berharap, undang-undang yang baru dapat membantu melancarkan koordinasi antara BNPT dengan kementerian/lembaga dalam merumuskan dan menerapkan program penanggulangan terorisme.
“Mudah-mudahan dengan lahirnya undang-undang ini, BNPT bisa lebih kuat lagi. Selama ini, sinergitas itu memang banyak kendalanya,” kata Suhardi.
Adapun kontraradikalisasi ditujukan pada orang atau kelompok yang sudah terpapar paham-paham radikal tetapi belum tergabung dalam jaringan terorisme atau belum pernah melakukan aksi pidana terorisme apapun. Program itu berbeda dari deradikalisasi yang ditujukan pada terpidana atau mantan terpidana teroris.
Sebagai contohnya, operasi Satuan Tugas Sentul yang dibentuk BNPT pada 2017 lalu dengan kegiatan kontraradikalisasi dan deradikalisasi yang dilaksanakan di Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Barat, belum berjalan efektif karena tidak semua pihak yang terlibat menjalani program itu dengan serius. Adapun program itu melibatkan keanggotaan dari 36 kementerian/lembaga.
“Masih ada beberapa pihak yang belum merespons. Tentu kita kejar terus, karena ini tidak bisa menunggu. Dengan undang-undang baru ini, antisipasi harusnya bisa lebih baik,” kata Suhardi.
Masalah lain, misalnya, muncul karena koordinasi yang terputus dari pusat ke pemerintah daerah. Suhardi mencontohkan kasus warga negara Indoneisa (WNI) yang baru pulang dari Suriah. Para ‘alumni’ Suriah yang kembali ke Indonesia dan terindikasi berkaitan dengan kelompok ISIS itu didata dan dipetakan.
Setelah didata, mereka wajib mengikuti program deradikalisasi BNPT selama satu bulan sebelum kembali ke daerah masing-masing. Di tempat tinggal masing-masing, keseharian mereka seharusnya dipantau dengan seksama oleh pemerintah setempat. Namun, tidak semua pemerintah daerah memonitor secara rutin.
“Sudah kami petakan dan kami ikuti sebenarnya. Tetapi, pemda juga tidak pernah memonitor dengan baik. Para alumni ini juga ketika berpindah pun tidak melapor. Untuk hal seperti ini, memang perlu keaktifan dari pejabat pemerintah setempat untuk melihat perkembangan dinamika di lingkungannya,” ujar Suhardi.
Ia mengatakan, per Mei 2018 ini saja, ada ratusan WNI yang dipulangkan dari Suriah. BNPT sudah memetakan tiap kelompok tersebut dan meminta Kementerian Dalam Negeri untuk mengutus perwakilan dari daerah tersebut untuk memantau di mana mereka tinggal.
Anggota Komisi III dari Fraksi PDI-Perjuangan Masinton Pasaribu mengatakan, dalam menghadapi penyebaran paham-paham radikal di masyarakat yang terindikasi mengarah pada kekerasan dan aksi terorisme, BNPT seharusnya dapat merumuskan terobosan program rencana kerja strategis. Apalagi, undang-undang kini sudah menguatkan posisi kelembagaan BNPT.
“Sudah saatnya BNPT ada program konkrit, tidak bisa lagi terorisme ditangkal dengan program-program yang normatif belaka,” kata Masinton.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani mengatakan, Undang-Undang Antiterorisme yang baru seharusnya dapat menjadi payung hukum yang lebih kuat untuk pelaksanaan program pencegahan terorisme.
“Dulu, dasar undang-undang belum ada. Kewenangan BNPT berdasarkan peraturan presiden, kewibawaannya di mata instansi lain pun kurang kuat. Kalau sekarang, dalam undang-undang ya harus ditaati karena kalau tidak, instansi lain melawan undang-undang,” kata Arsul.