Jangan Paksakan Pembahasan RKUHP dengan Pendekatan Teknokrasi
Oleh
MADINA NUSRAT
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Komisi Nasional Hak Azasi Manusia mengingatkan sebaiknya Presiden mendengarkan suara publik dalam merumuskan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jangan paksakan model kerja teknokratis terhadap penyusunan RKUHP.
Komisioner Komnas HAM, M Choirul Anam, Kamis (8/3), menyampaikan, sepertinya Presiden menyamakan pembangunan infrastruktur yang dapat dilakukan percepatan dengan merumuskan RKUHP. Sementara hingga Februari lalu, banyak kalangan menolak pengesahan RKUHP karena beberapa pasal yang dirumuskan itu rawan melanggar HAM dan kebebasan berekspresi, seperti pasal penghinaan presiden dan pemerintah.
“Seharusnya, dengan dinamika terakhir suara publik cukup kuat (menyoroti rumusan RKUHP yang rawan melanggar HAM), itu perlu didengarkan Presiden,” jelasnya.
Menurut Anam, sepatutnya Presiden membuka ruang seluas-luasnya untuk menyerap aspirasi publik. RKUHP yang aspiratif terhadap ide-ide demokrasi, itu akan lebih langgeng. Sebaliknya, model kerja teknokrasi yang diburu waktu seperti pada pembangunan infrastruktur, itu tak cocok dengan percepatan dan target penyusunan RKUHP.
Hal senada juga disampaikan peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Miko Ginting. Miko menyampaikan, pembaharuan RKUHP harus mengarah pada pengaturan yang berkualitas, bukan semata untuk menghilangkan pengaruh kolonial.
Menurut Miko, dari berbagai materi yang dirumuskan dalam RKUHP, tampak rancangan undang-undang itu berupaya masuk ke ranah privat, mulai dari perzinahan, hingga penghinaan terhadap presiden. RKUHP itu juga tampak memberikan porsi yang besar bagi negara untuk mengontrol perilaku masyarakat.