Australia di Depan Mata (Bagian 22)
Seorang Indonesia di Papua Niugini hendak membeli mi instan produk Indonesia di Australia, yang dijual orang Timor Leste. Itulah salah satu realitas perjalanan Agustinus Wibowo dalam ”Indonesia dari Seberang Batas”.
Jarak sebuah takdir bisa jadi hanya 8 kilometer. Itulah jarak yang memisahkan Ber dari Boigu, memisahkan Papua Niugini dari Australia, memisahkan salah satu negeri termiskin dari salah satu negeri terkaya di dunia.
IKUTI BAGIAN PERJALANAN LAINNYA
- Bagian 19 : Impian Menuju Garis Batas Bagian 20 : Nenek Moyangku Pelaut Bagian 21 : Diterjang Badai dan Pasang
- Bagian 19 : Impian Menuju Garis Batas
- Bagian 20 : Nenek Moyangku Pelaut
- Bagian 21 : Diterjang Badai dan Pasang
Ber, PNG, adalah desa kecil dengan sekitar 200 penghuni, terdiri atas 24 rumah yang semuanya berupa rumah gubuk berpanggung yang tersebar jarang-jarang. Satu rumah dihuni 10, 12, atau bahkan 30 orang. Tak ada yang punya sepatu. Baju mereka sangat kumal dan kotor karena tidak ada baju ganti lain. Di sekeliling saya ada bocah-bocah kurus berperut buncit, bocah berkaki O, bocah dengan punggung melengkung seperti tanda tanya.
Mereka tidak perlu hidup semiskin ini. Australia terpampang tepat di depan dan penduduk Ber boleh menyeberang ke sana, hanya dengan membawa surat dari kepala desa. Di sana, mereka bisa menjual ikan kakap putih (barramundi) dengan harga bagus, 30 dollar Australia seekor. Tapi, mereka jarang menangkap ikan, dan hanya melakukannya ketika benar-benar tidak ada makanan.
Sebagai orang asing, saya tidak boleh menyeberang ke Boigu, yang merupakan bagian Kepulauan Selat Torres, Queensland, Australia. Karena itu, saya cuma bisa mengumpulkan serpihan fragmen tentang Boigu dari cerita orang-orang Ber.
Boigu, kata mereka, adalah desa modern yang punya pertokoan dan bandara. Rumah di Boigu juga rumah panggung seperti di Ber, tapi dari bahan permanen dan lebih mengilap. Penduduk aslinya hidup bersama pendatang kulit putih.
Warga asli Boigu adalah orang Melanesia sebagaimana orang PNG. Tapi, seabad lebih mereka hidup di bawah kontrol Australia.
Orang asli Boigu setiap bulan mendapat uang subsidi dari Pemerintah Australia. Setiap tahun, Australia menganggarkan sekitar 30 miliar dollar Australia untuk mendukung kesejahteraan sekitar 700.000 warga aslinya, termasuk penduduk Kepulauan Selat Torres.
Sebenarnya orang pribumi Boigu termasuk masyarakat kelas bawah Australia, tapi di mata orang Ber, mereka adalah majikan yang kaya raya. Orang Ber sering pergi ke Boigu untuk menjadi pekerja harian melayani orang asli Boigu.
Australia dan PNG memiliki perjanjian perbatasan khusus yang mengizinkan warga desa-desa perbatasan PNG untuk mengunjungi pulau-pulau terluar Australia di Selat Torres. Desa-desa yang mendapat fasilitas ini disebut treaty village (”desa perjanjian”), dan Ber termasuk yang beruntung.
Tapi, Australia menerapkan aturan ketat terhadap perjalanan lintas batas. Dilarang membawa orang yang bukan warga treaty village. Jika melanggar, apalagi berulang, mereka bisa dimasukkan daftar hitam.
Australia juga memiliki aturan karantina yang ketat, melarang segala tanaman dan hewan dari luar dibawa masuk ke wilayahnya. Orang Ber cuma diizinkan membawa barang kerajinan, kepiting, kerang, dan ikan kakap untuk dijual di Boigu. Petugas Australia akan naik ke perahu-perahu yang datang dari PNG dan menggeledah semua barang dengan teliti.
Siang hari, Sisi dan Marcella akan berangkat ke Boigu untuk berbelanja. Saya nitip untuk membeli gula dan beberapa bungkus Indomie. Ternyata perut Indonesia saya masih butuh makanan kampung halaman, di tengah petualangan di daerah pesisir PNG yang makanan utamanya ketela dan ubi ini. Sisi bilang, Indomie tersedia di toko kelontong milik orang Timor Leste di Boigu, seharga 1.50 dollar Australia sebungkus.
Saya terkesima merenungkan betapa internasionalnya perdagangan ini! Seorang Indonesia di PNG hendak membeli mi instan produk Indonesia di Australia, yang dijual orang Timor Leste.
Tapi, realitas globalisasi di sini tak semegah namanya. Petugas bea cukai Australia cukup melihat kaki orang-orang seperti Sisi dan Marcella yang bersimbah lumpur itu dan langsung tahu bahwa mereka pasti berangkat dari Ber.
Ketika mereka pergi, saya berbalik mengikuti para lelaki Ber ke hutan untuk berburu. Mereka membawa busur dan panah.
Kaki telanjang saya belum terbiasa menginjak bebatuan dan kerikil, membuat saya meringis hampir pada setiap langkah. Puluhan nyamuk dan belasan lintah terlihat sangat menikmati darah saya.
”Ada ular di sini?” saya bertanya.
”Kadang-kadang,” kata seorang bocah berusia 12 tahun. ”Kalau kamu ketemu ular hitam Papua, maka habislah. Beberapa detik saja kamu akan mati. Tapi, kalau gigitan ular kecil, tinggal menyeberang ke Boigu untuk diobati.”
”Bukankah biayanya mahal?” tanya saya.
”Australia negara baik, semua pengobatan gratis,” dia berkata. ”Begitu sampai di rumah sakit di Boigu, kamu akan diterbangkan ke Thursday Island atau kota Cairns, semua biaya mereka yang tanggung.”
Begitu luar biasanya Australia yang sampai memberi pelayanan kelas satu seperti itu bagi warga desa miskin di negara tetangganya. Border treaty adalah anugerah yang membuat warga desa Ber lebih merasakan kasih sayang Australia.
Baca juga : Cermin Identitas di Antara Baris Batas
Ikuti bagian berikutnya dari perjalanan Agustinus Wibowo dalam ”Indonesia dari Seberang Batas” hanya di Kompas.id.