Nenek Moyangku Pelaut (Bagian 20)
Saat menuju wilayah Papua Niugini yang berbatasan dengan Indonesia, Agustinus Wibowo mendapatkan pengalaman melaut yang pertama. Ikuti cerita perjalanan Agustinus ini dalam ”Indonesia dari Seberang Batas.”
Hujan deras mengguyur Daru sejak semalam. Sabtu pagi ini pun petir masih menyambar-nyambar. Dengan cuaca seburuk ini, saya rasa rencana naik perahu motor menuju perbatasan Indonesia bersama Sisi Wainetti batal.
- Bagian 17: Wantok Bagian 18: Mengapa Harus Ada Batas Bagian 19: Impian Menuju Garis Batas
- Bagian 17: Wantok
- Bagian 18: Mengapa Harus Ada Batas
- Bagian 19: Impian Menuju Garis Batas
Tiba-tiba saya menerima SMS dari Sisi, meminta saya bergegas ke pelabuhan karena akan berangkat. Saya cukup membayarnya dengan harga yang sudah kami sepakati semula, di daerah pasar di Daru, dekat tempat berlabuhnya kano dan perahu dari daerah pesisir pulau besar Papua. Dia menunjuk perahu yang akan kami tumpangi, bermesin 40 PK (daya kuda) yang dibeli di Merauke.
Operator mesin, lelaki 30 tahunan bernama Issaiah, bersama ayahnya, Keikei, dan pemuda kekar bernama Mark sudah di perahu. Masih ada teman perempuan Sisi yang bernama Marcella. Kami akan ke arah barat, mendekati garis batas RI-PNG.
Saya takut. Saya tidak terlalu kenal dengan orang-orang ini dan sekarang saya sendirian dalam perahu mereka, menyerahkan sepenuhnya nasib saya kepada mereka. Saya dengar, daerah tempat tinggal Sisi itu sangat berbahaya. Sebelumnya, kabarnya, ada pedagang ilegal dari Indonesia yang dibunuh di tempat itu oleh warga lokal dan kasusnya masih misterius. Tentu, orang-orang ini bisa melakukan apa pun kepada saya kalau mereka mau dan saya tak punya kuasa apa-apa.
Sisi mengeluarkan selembar kertas folio dengan surat tulisan tangan. Surat itu ditulis presiden Distrik Morehead (setingkat bupati), yang Sisi bilang adalah pacarnya, di Daru. Surat itu menerangkan bahwa saya adalah guru dari Daru High School yang hendak pergi jalan-jalan ke daerah Morehead. ”Dengan surat ini, kamu aman,” kata Sisi.
Sisi juga berpesan, jika ditanya penduduk lokal, saya harus mengatakan, saya adalah orang Filipina pegawai supermarket China di Daru.
Sudah pukul sepuluh pagi. Langit masih gelap tertutup mendung pekat.
”Apakah ini bakal jadi perjalanan berat?” Saya bertanya kepada Issaiah.
”Tenang saja, percayakan kepada saya,” jawabnya.
Saya dan Sisi memakai pelampung. Hanya ada dua pelampung di perahu ini. Berangkat bersama kami, masih ada satu perahu motor lain, dengan tujuan sama dan juga berisi enam penumpang.
Di PNG, karena ketiadaan transportasi publik, orang biasa berpatungan untuk bepergian, dengan masing-masing membayar jatah bahan bakar yang dibutuhkan untuk perjalanan. Uang yang saya bayarkan itu cukup untuk membeli 30 liter bensin.
Saya, Sisi, Marcella duduk berimpitan, berhadapan dengan Issaiah yang mengendalikan mesin dan Mark yang membantunya. Barang-barang kami ada di bagian depan perahu, dibungkus terpal.
Meninggalkan pelabuhan Daru, perahu kami langsung disambut gelombang keras. ”Aku tak pernah lihat gelombang sebesar ini,” kata Sisi.
”Ini memang keras, tapi aku pernah mengalami yang lebih hebat dari ini,” sahut Marcella.
”Ini tidak ada apa-apanya,” Issaiah, yang sekampung dengan Sisi, berteriak kepada kami karena suaranya ditelan gemuruh mesin.
Dia tampak sangat menikmati mengendalikan mesin perahu sehingga perahu kami terus meliuk berzig-zag di antara ombak. Betapa hebat nenek moyang mereka.
Cukup malu saya. Ini sungguh pengalaman pertama saya naik perahu. Saya tidak pernah bersinggungan dengan laut sedekat, selama, dan seintens ini.
Betapa terputusnya saya dari lautan, yang seharusnya menjadi roh kehidupan Tanah Air saya Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia.
Pengalaman melaut pertama saya justru terjadi di PNG.
Marcella dan saya meringkuk, berpelukan erat. ”Jesus! Jesus!” Sisi berteriak sekencang-kencangnya, seolah teriakan itu akan mendatangkan kuasa keajaiban dari langit untuk menyelamatkan kami. Perahu motor yang kami tumpangi terombang-ambing amukan ombak. Perahu sepertinya akan terbalik.
Marcela dan saya menimpali Sisi dengan teriakan yang sama kerasnya. Perahu motor mengentak, semua penumpang terloncat dari duduknya. Pantat saya menghantam bilah kayu yang menjadi alas duduk, punggung saya seperti ditinju bertubi-tubi dan sakitnya merambat sampai ke tengkuk.
Satu gulungan ombak yang lebih tinggi daripada manusia dewasa menerjang ke arah perahu kami. Sisi berteriak, ”Issaiah, cepat lakukan sesuatu! Kita akan tenggelam!”
Terlambat.
Ombak itu menghantam kami, menampar wajah kami semua, penumpang di atas perahu kecil dan sesak ini. Air sudah setinggi mata kaki di dasar perahu. Kami basah kuyup sekujur tubuh. Kami buru-buru mengambil gelas plastik, timba karet dan spons untuk membuang air keluar perahu. Saya memeluk erat kamera yang sudah dibungkus plastik di balik jaket saya.
Satu gelombang besar lagi menghantam perahu kami. ”Oh, Jesus!” Sisi berteriak lagi.
Baca juga: Cermin Identitas di antara Baris Batas
Ikuti bagian berikutnya dari perjalanan Agustinus Wibowo dalam ”Indonesia dari Seberang Batas” hanya di Kompas.id.