Impian Menuju Garis Batas (Bagian 19)
Agustinus Wibowo ingin menyusuri garis perbatasan dari kedua sisi, untuk mengumpulkan ceritanya dan memahami maknanya. Ikuti cerita perjalanan Agustinus Wibowo ini dalam ”Indonesia dari Seberang Batas.”
“Tahukah kamu, Australia hanya tiga kilometer jauhnya dari PNG? Dari pantai PNG, kamu bahkan bisa melihat Australia!” kata seorang ekspatriat Australia pada hari pertama saya mendarat PNG.
- Bagian 16: Pulau Ikan Kakap Bagian 17: Wantok Bagian 18: Mengapa Harus Ada Batas
- Bagian 16: Pulau Ikan Kakap
- Bagian 17: Wantok
- Bagian 18: Mengapa Harus Ada Batas
Saya semula tidak percaya. Di atas peta, PNG sangat jauh dari Australia. Tapi kalau dilihat lebih teliti, tepat di selatan pesisir Western Province memang ada pulau-pulau kecil milik Australia, seperti pulau Saibai dan Boigu, yang hanya sejengkal saja jauhnya dari PNG.
Saibai dan Boigu sebenarnya juga sangat dekat dari daerah perbatasan Indonesia.
Saat saya di Port Moresby, kebetulan ada Pertemuan Perbatasan Tahunan RI-PNG. Saya bertemu dengan para pejabat sejumlah distrik di Provinsi Papua yang berada di sepanjang perbatasan. Saya mendengar lebih banyak lagi cerita tentang daerah perbatasan ini. Ada daerah yang masuk wilayah Indonesia tapi penduduknya orang PNG. Ada garis batas yang membelah pertambangan, bahkan membelah bandara. Ada ribuan pengungsi dari Indonesia yang masih tinggal di PNG. Dan masih banyak lagi.
Mendengar kisah-kisah itu, saya ingin menyusuri garis perbatasan ini dari kedua sisi, untuk mengumpulkan ceritanya dan memahami maknanya.
Di sisi PNG, ada dua provinsi sepanjang garis batas ini. Yang di utara adalah Provinsi Sandaun, beribukota di Vanimo, sedangkan yang di selatan adalah Western Province, beribukota di Daru. Nama “Sandaun” berasal dari kata bahasa Inggris, sun down, berarti tempat terbenamnya matahari, yaitu barat. Sejatinya, kedua provinsi ini sama-sama bernama “Barat”.
Sepanjang garis panjang itu, perbatasan internasional hanya dibuka di ujung utara, Wutung, yang terletak antara Vanimo dan Jayapura. Itu artinya, kalau saya ingin menyusuri garis itu, saya harus berangkat dari Western Province di selatan, lalu pelan-pelan bergerak ke utara hingga sampai ke Vanimo, lalu menyeberang perbatasan masuk ke Jayapura, dan turun lagi sampai ke Merauke.
Apakah perjalanan itu mungkin? Saya juga tak tahu pasti. Yang saya tahu, saya harus terbang ke Daru. Semua setelah itu, pikirkan saja nanti.
Saya datang ke Western Province benar-benar bermodal nekat. Di peta, provinsi terluas PNG ini seperti ruang kosong. Tak ada jalan, tak ada keterangan, malah kebanyakan adalah rawa. Tak ada pula buku ataupun informasi praktis yang bisa saya dapatkan.
Tapi saya percaya, terkadang jalan akan terbuka bagi kita tanpa disengaja.
Saat saya menumpang pesawat dari Port Moresby ke Daru, kebetulan penumpang di samping adalah perempuan Asia yang ramah dan riang. Dia bercerita sudah dua tahun bekerja di LSM internasional di Daru. Perempuan yang berasal dari Filipina itu kemudian mengundang saya ke kantornya, World Vision Internasional, yang terletak di jalan utama Daru.
Di kantor ini, saya bertemu dengan koleganya, seorang perempuan lokal berusia lima atau enam puluhan tahun. Dia ternyata bidan yang terkenal di seluruh provinsi. Sila Wainetti, akrab dipanggil “dokter Sila”.
Mendengar rencana saya menjelajah perbatasan, Sila langsung antusias. “Putri angkatku bisa bahasa Indonesia,” katanya. “Dia tinggal di daerah pesisir perbatasan, dan saat ini kebetulan sedang ada di Daru. Mungkin dia bisa bantu kamu.”
Kesan pertama saya tentang Sisi Wainetti, anak dokter Sila, sebenarnya sangat tidak meyakinkan. Perempuan 35 tahun itu memakai kaos militer setrip-setrip yang longgar, berbibir tebal dan gigi kemerahan dengan cairan bekas pinang yang masih basah. Rambut rasta-nya diikat ke belakang. Langkah kakinya petantang-petenteng megal-megol, dengan sandal jepit yang sudah usang.
Bahasa Indonesianya lumayan lancar, tapi saya tidak terlalu mengerti karena ada logat daerah yang sangat kental. Sisi mengaku pernah tinggal dua tahun di Merauke. Dia sendiri berasal dari Distrik Morehead, bagian Western Province yang berbatasan langsung dengan Indonesia. Desa asalnya berjarak hanya sekitar 100 kilometer dari perbatasan Indonesia, dan 30 kilometer dari Australia.
Saya bertanya tentang Merauke. Walaupun saya orang Indonesia, saya belum pernah ke sana.
“Di sana semua orang putih,” kata Sisi sambil tersenyum dan menempelkan telunjuknya di lengan saya. Yang dimaksudnya adalah orang Asia, yang berkulit lebih putih daripada orang Melanesia.
Sisi kemudian menggambarkan untuk saya desa-desa sepanjang pesisir PNG menuju daerah perbatasan. Satu-satunya cara ke sana adalah naik perahu motor.
Saya bertanya apakah dia bisa bantu. Saya ingin pergi sedekat mungkin ke garis perbatasan itu.
“Sisi sering bantu orang Indonesia. Kamu mau berangkat kapan? Sisi bantu.”
Kami sepakat pada harga 200 kina berangkat, 200 kina pulang. Itu sekitar Rp2 juta. Katanya, itu harga normal penumpang.
Malam harinya, Sisi menelepon saya, menanyakan apakah mungkin jika saya membayar 500 kina total untuk perjalanan ini.
Saya mulai meragukan kejujurannya. Saya meminta maaf kepadanya. Biaya ini sudah terlalu besar buat saya, lebih baik saya tidak jadi berangkat.
Baca juga: Cermin Identitas di antara Baris Batas
Ikuti bagian berikutnya dari perjalanan Agustinus Wibowo dalam ”Indonesia dari Seberang Batas” hanya di Kompas.id.