Diterjang Badai dan Pasang (Bagian 21)
Pulau Saibai milik Australia hanya sekitar tiga kilometer jauhnya di selatan pesisir daratan utama PNG. Ikuti perjalanan Agustinus Wibowo menyusuri wilayah perbatasan itu dalam ”Indonesia dari Seberang Batas.”
Saat menuju desa-desa pesisir Papua Niugini di dekat perbatasan Indonesia, perahu motor yang saya tumpangi dilumat gelombang dan badai ketika melintasi Selat Torres.
IKUTI BAGIAN PERJALANAN LAINNYA
- Bagian 18: Mengapa Harus Ada Batas Bagian 19: Impian Menuju Garis Batas Bagian 20: Nenek Moyangku Pelaut
- Bagian 18: Mengapa Harus Ada Batas
- Bagian 19: Impian Menuju Garis Batas
- Bagian 20: Nenek Moyangku Pelaut
Selat Torres memisahkan PNG di utara dan Australia di selatan, menghubungkan Laut Coral di timur dan Laut Arafura di barat. Laut ini terbilang dangkal, tapi ombaknya tinggi dan ganas, terutama pada celah sempit di sekitar desa Tureture dan Olmawata.
Di tengah badai dan ombak yang menampar wajah, Sisi menjerit ketika melihat mesin perahu satunya dalam konvoi kami terjatuh ke laut. Para lelaki muda dari kedua perahu langsung terjun ke air yang hanya sedalam dada, untuk mengangkat mesin dan memasangnya kembali di bagian belakang perahu.
Kami hanya bisa menunggu di perahu, yang terapung tak bergerak selama setengah jam. Angin menderu, sekujur tubuh basah, semua orang menggigil. Terdengar gemeretak gigi dan keroncongan perut.
Perahu akhirnya bergerak kembali. Issaiah, operator perahu kami, membelokkan perahu ke selatan, ke arah laut yang lebih dalam. Perahu kami seharusnya bisa bergerak lebih lincah, tapi gelombang semakin tinggi, terus menghajar perahu kami tanpa ampun.
“Ini king tide,” teriak Sisi. Pasang raja, pasang laut yang paling tinggi. “Kita seharusnya tidak nekat berangkat hari ini.” Sisi menangis, sembari terus memanggil nama Yesus.
Sedangkan Marcella, bersandar pada tumpukan kargo dan tertidur lelap.
Ombak mulai mereda setelah kami melintasi desa Mabudauan di sore hari. Sekitar dua jam kemudian, gairah saya membuncah, karena sebentar lagi bisa melihat Australia.
Sepanjang perjalanan ini, saya berulang kali bertanya sambil menunjuk ke pulau apa pun yang terlihat di selatan, “Apakah itu Australia?” Setelah terus-menerus menggeleng, mereka akhirnya mengangguk. “Ya, itu Australia!”
Pulau Saibai milik Australia hanya sekitar 3 kilometer jauhnya di selatan pesisir daratan utama PNG. Saibai adalah pulau datar sepanjang 20 kilometer, didominasi tanaman bakau, dihuni 380 jiwa. Pulau yang sering dilanda banjir dan pasang besar itu merupakan lokasi utama warga desa pesisir PNG untuk berbelanja dan menjual hasil laut.
Itulah perbatasan. Alam di dua sisi garis ini mungkin terlihat tak berbeda. Tapi di seberang sana itu adalah negeri berbeda, hukum berbeda, dunia berbeda. “Mari kita ke Saibai, biar orang Australia masukkan orang Indonesia yang satu ini ke dalam kalabus,” kata Sisi sambil tertawa. Kata itu berarti penjara.
Berdampingan dengan Saibai adalah pulau Australia lain bernama Dauan, berpenduduk 170 jiwa. Dia tampak sebagai gunung segitiga yang menjulang lancip.
Sedangkan di seberang Saibai dan Dauan, di sisi PNG adalah desa Sigabaduru (disingkat “Siga”). Ini kampung besar dengan sekitar 1.000 penduduk, tapi dari perahu yang terlihat hanya satu gubuk di kejauhan.
Matahari sudah hampir tenggelam. Kami belum juga sampai di Buzi, perhentian pertama kami, yang juga kampungnya Marcella. Buzi masih sekitar dua jam perjalanan dari Siga. “Tidak bisakah kita bermalam di Siga?” saya bertanya.
“Kamu mau mati?” kata Sisi pada saya, “Di sini banyak alkohol, orang mabuk, raskol! Mereka akan bunuh kamu!”
Saya tak tahu harus seberapa percaya. Tapi saya juga tak berhak bersuara apa-apa, karena saya tak lebih dari seorang asing yang hanya membayar ongkos penumpang.
Kami meninggalkan Siga. Lalu dalam kegelapan total, kami melanjutkan perjalanan ke barat. Kegelapan ini mencekam. Di utara, pepohonan bakau yang menutup pesisir daratan utama PNG telah menyatu dengan gelap angkasa. Sedangkan gelombang laut begitu tenang. Tapi terlalu tenang.
Justru di sinilah tempat paling bahaya. Kami berada di selat sempit antara daratan utama di utara dan satu pulau kecil di selatan, yang tak sampai dua kilometer jauhnya. Laut terlalu dangkal, dengan hamparan koral yang sangat berbahaya dilintasi, apalagi ketika laut sedang surut begini.
Marcella mengeluh atas kenekatan ini. “Perahu bisa menabrak karang, lalu bocor dan tenggelam,” katanya. “Apalagi di sini juga banyak buaya.”
Saya cuma ingin perjalanan ini segera berakhir. Saya menengok ke kiri, ke arah selatan. Terlihat taburan titik-titik cahaya yang berkilauan terang, bagai kota besar yang muncul terlalu mendadak.
“Apa itu?” saya bertanya.
“Itu Boigu, Australia,” kata Marcella.
Sedangkan di sebelah kanan, di utara, hanya ada dua atau tiga titik cahaya lemah dan terkadang menghilang, seperti cahaya lilin yang diterpa angin. “Dan itu?”
“Ber, PNG. Kita tidur di sana malam ini,” kata Sisi.
Kami merapat ke Ber yang lebih mirip sebuah desa primitif yang tepat di seberang kota metropolis.
Baca juga: Cermin Identitas di antara Baris Batas
Ikuti bagian berikutnya dari perjalanan Agustinus Wibowo dalam ”Indonesia dari Seberang Batas” hanya di Kompas.id.