Wacana Perpanjangan Masa Jabatan Presiden Picu Perpecahan
Elite di negeri ini harus memberikan teladan serta mengingatkan bawahan dan masyarakat agar tak melakukan upaya-upaya inkonstitusional. Meski berdalih aspirasi, elite bisa memilih aspirasi yang tak melanggar konstitusi.
Oleh
IQBAL BASYARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Berbagai manuver terkait wacana perpanjangan masa jabatan presiden-wakil presiden oleh sejumlah pihak berisiko mengakibatkan perpecahan di masyarakat. Bahkan, tak hanya itu, konflik horizontal bisa saja pecah. Karena itu, penting bagi elite di negeri ini untuk menghentikan kegaduhan yang muncul akibat wacana yang inkonstitusional tersebut.
Potensi konflik salah satunya terlihat saat kelompok kepala desa dan perangkat desa dari dua versi Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) berbeda sikap terkait wacana perpanjangan masa jabatan presiden-wakil presiden. Apdesi di bawah pimpinan Surta Wijaya mendukung usulan perpanjangan masa jabatan presiden, sedangkan Apdesi yang dipimpin Arifin Abdul Majid menentang usulan itu.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Dihubungi dari Jakarta, Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Arie Sujito, Kamis (31/3/2022), mengatakan, upaya dari sejumlah kelompok untuk melihat reaksi publik dalam wacana perpanjangan masa jabatan presiden-wakil presiden sebaiknya dihentikan. Tindakan itu jika terus dilakukan berisiko mengancam keutuhan masyarakat. Perpecahan bisa terjadi karena ada pembelahan sikap di tingkat akar rumput.
”Jangan melakukan tindakan testing the water yang sangat berisiko agar tak ada perdebatan yang berkepanjangan dan saling memojokkan di antara kelompok masyarakat. Ini bisa berujung perpecahan,” ujarnya.
Salah satu penggagas petisi daring ”Tolak Penundaan Pemilu 2024”, Hadar Nafis Gumay, mengatakan, potensi konflik horizontal makin kuat jika elite politik terus menggiring wacana perpanjangan masa jabatan tersebut. Ketegangan di masyarakat pun akan meningkat karena perbedaan sikap antarmasyarakat makin ditonjolkan. ”Kalau tidak dihentikan, hanya meningkatkan eskalasi ketegangan,” ujarnya.
Dengan kondisi itu, menurut Hadar, elite di negeri ini harus memberikan teladan serta mengingatkan bawahan dan masyarakat agar tidak melakukan upaya-upaya yang inkonstitusional. Meski berdalih aspirasi, seharusnya elite bisa memilih aspirasi yang tak bertentangan dengan UUD 1945.
Meski mengakui ada perbedaan sikap dan tidak memungkiri adanya potensi konflik, Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) versi Surta Wijaya, Asep Anwar Sadat, mengatakan akan tetap membahas usulan perpanjangan masa jabatan presiden-wakil presiden yang diklaimnya mengemuka di internal DPP Apdesi. Untuk ini, akan digelar rapat koordinasi (rakor).
Rakor sekaligus untuk menyamakan sikap karena pandangan di internal masih beragam. Mulai dari permintaan penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode atau sama dengan kepala desa, hingga penundaan Pemilu 2024 demi adanya konsolidasi bersama pasca-pandemi Covid-19. “Sikap dan posisi Apdesi akan diputuskan secepatnya,” ujar Asep saat jumpa pers, Kamis.
Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) DPP Apdesi Muhammad Asri Anas mengklaim, keinginan perpanjangan masa jabatan presiden murni dari para kepala desa. Tak ada mobilisasi dari tokoh tertentu untuk menyuarakan wacana itu, termasuk Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, yang menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina DPP Apdesi.
“Bahkan, kemarin (dalam acara Silaturahmi Nasional Apdesi, Selasa (29/3)) rata-rata ingin berteriak tiga periode, yang melarang adalah Pak Luhut dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian,” ujar Asri.
Sebagai catatan, Luhut termasuk yang menggulirkan wacana perpanjangan masa jabatan Presiden.
Di Banjarmasin, Apdesi di bawah pimpinan Arifin Abdul Majid mengatakan pihaknya berencana mensomasi Apdesi versi Surta Wijaya. Ini karena kelompok Surta Wijaya telah mencatut nama Apdesi. ”Kami siap untuk membuktikan bahwa kami adalah organisasi yang sah, sudah memiliki SK Kemenkumham hasil perubahan tahun 2021,” ujarnya.
Tak hanya itu, menurut Arifin, Apdesi tidak pernah mendukung perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi. Apdesi ditekankannya tidak berpolitik. Kepala desa dan perangkat desa aktif yang ada di Apdesi juga tidak diperbolehkan untuk mengikuti kegiatan yang bersifat politik.
”Lebih parah lagi, tidak ada dasar hukum atau konstitusi yang mengatur jabatan presiden tiga periode. Jadi, jangan coba-coba menyatakan hal itu di depan publik karena akan menjadi pembohongan dan pembodohan terhadap kepala desa,” ujarnya.
Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Bahtiar mengatakan, Apdesi yang dipimpin Surta Wijaya dengan Apdesi di bawah pimpinan Arifin merupakan dua organisasi yang berbeda. Apdesi yang dipimpin Surta Wijaya bernama Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia sedangkan Apdesi versi Arifin bernama Perkumpulan Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia.
DPP Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia yang dipimpin oleh Surta Wijaya, memiliki akta pendirian yang diterbitkan oleh notaris Rosita Rianauli Sianipar dengan Nomor Akta 3, tertanggal 17 Mei 2005. Sedangkan, Perkumpulan Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia, yang dipimpin Arifin Abdul Majid, memiliki akta pendirian yang diterbitkan notaris Fitrilia Novia Djamily dengan Nomor Akta 12, tertanggal 31 Agustus 2021.
“Kedua ormas tersebut berbeda. Akta notarisnya berbeda. Pengurusnya beda. Kantornya juga beda. Organisasi di desa ada banyak dan Undang-Undang Desa tak mengatur wadah tunggal. Jadi, haknya mereka sebagai warga negara,” ujar Bahtiar.
Bahtiar menjelaskan, Apdesi versi Surta Wijaya tidak berbadan hukum, tetapi telah terdaftar di Kemendagri sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Ormas itu juga telah mengantongi surat keterangan terdaftar (SKT).
Sementara Presiden Partai Keadilan Sejahtera Ahmad Syaikhu kembali menegaskan sikap partainya untuk menolak wacana perpanjangan masa jabatan presiden/wakil presiden. Sikap ini sudah diambil dalam Musyawarah Majelis Syuro VI PKS beberapa waktu lalu.
"Wacana penundaan pemilu adalah sikap mengkhianati amanah yang diberikan rakyat. Ketika dilakukan perpanjangan masa jabatan presiden pasti merugikan demokrasi sebab konstitusi kita hari ini adalah amanah rakyat, jangan pernah khianati amanah itu," tutur Syaikhu.
Selain PKS, lima partai politik lainnya yang memiliki kursi di MPR/DPR juga tegas menolak wacana perpanjangan masa jabatan presiden-wapres. Adapun dua partai yakni Partai Amanat Nasional dan Partai Kebangkitan Bangsa justru mendukung usulan itu sedangkan Partai Golkar memilih membicarakan wacana itu dengan pimpinan parpol lainnya.