Banjir Dubai, Kota Paling Maju Pun Tunduk pada Krisis Iklim
Kota modern yang menerapkan teknologi termaju pun tak berdaya di hadapan gejolak alam yang dipicu oleh krisis iklim.
Curah hujan luar biasa lebat yang memicu banjir mengacaukan kota-kota di Oman dan Uni Emirat Arab. Dampak peristiwa pada awal pekan tersebut masih terasa sampai ujung minggu ini.
Dubai, salah satu kota besar di UEA, yang moncer sebagai kota modern dengan mengadopsi berbagai teknologi tinggi kocar-kacir di hadapan gejolak alam. Jadwal penerbangan relasi Dubai ke berbagai kota lain di seluruh penjuru dunia dan sebaliknya dipenuhi pemberitahuan penundaan hingga beberapa hari.
Laporan Reuters, Jumat (19/4/2024), menyebutkan, curah hujan tinggi di dua negara bertetangga, Oman dan UEA, kemungkinan besar disebabkan sistem cuaca normal yang diperburuk oleh perubahan iklim. Bencana itu bukan akibat upaya pembibitan awan buatan untuk menurunkan hujan. Bahkan, sebelum kejadian, tidak ada upaya pembibitan awan.
Baca juga: Mudik dan Urbanisasi
Mengutip Esraa Alnaqbi dari Pusat Meteorologi Nasional UEA, kantor berita itu menuliskan, adanya tekanan rendah di bagian atas atmosfer ditambah tekanan rendah di permukaan Bumi menghasilkan fenomena seperti ”memeras” udara.
Diperparah berkat kontras antara suhu lebih hangat di permukaan tanah dan suhu lebih dingin di daerah lebih tinggi, tercipta kondisi yang menyebabkan badai petir dahsyat.
Fenomena abnormal tersebut, menurut Alnaqbi, bukan hal tidak terduga. Ada pergantian musim pada bulan April ini sehingga tekanan udara berubah cepat. Kemungkinan besar, dampak perubahan iklim turut berkontribusi terhadap munculnya badai tersebut.
Para ilmuwan iklim mengatakan, kenaikan suhu global yang disebabkan oleh krisis iklim akibat aktivitas manusia menyebabkan terjadinya cuaca lebih ekstrem di seluruh dunia. Curah hujan tinggi, termasuk dalam cuaca ekstrem itu.
Menurut Dim Coumou, profesor yang mendalami iklim ekstrem di Vrije Universiteit Amsterdam, Belanda, curah hujan akibat badai petir, seperti yang terjadi di UEA, mengalami peningkatan kuat seiring pemanasan global.
”Hal ini karena konveksi, yaitu aliran udara ke atas yang kuat dan berperan dalam badai petir, menguat di dunia yang lebih hangat,” katanya kepada Reuters.
Baca juga: Pertumbuhan 270,2 Juta Jiwa dan Tuntutan Perubahan Desain Perkotaan
Cuaca ekstrem yang selalu dikaitkan dengan krisis iklim sebelumnya telah dirasakan di berbagai belahan dunia. Kota-kota yang sama-sama maju, seperti Dubai, dan tak segan mengadopsi teknologi terbaru dalam pembangunannya pun tak luput terdampak.
Singapura, negara tetangga Indonesia yang juga masuk jajaran kota paling maju di dunia, beberapa waktu lalu kalang kabut mendapati curahan dari langit. Di awal tahun ini, New York di Amerika Serikat dan Paris di Perancis lebih dulu dilanda banjir.
Kota-kota di Indonesia tak ketinggalan, terutama yang berada di kawasan pesisir. Apalagi di sini belum selengkap negara lain, bahkan di Jakarta yang menjadi kota metropolitan termaju di Indonesia sekaligus pelanggan banjir sejak puluhan tahun silam.
Adopsi teknologi menjadi masalah karena teknologi terbaru biasanya mahal, apalagi jika berkenaan dengan proyek infrastruktur penanggulangan bencana
Tantangan perkotaan
Eksploitasi manusia yang tidak memperhatikan keseimbangan lingkungan selama 200 tahun ini merusak Bumi. Seiring dengan itu terjadi pelepasan berlebihan gas rumah kaca yang memicu pemanasan global. Hasilnya, es di kutub Bumi mencair dan suhu laut menghangat yang menyebabkan volume air laut bertambah diikuti naiknya paras muka laut.
Laporan Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim atau IPCC yang banyak menjadi bahan analisis dalam berbagai jurnal menyatakan, pemanasan global dan naiknya suhu laut memunculkan masalah baru seperti kekeringan hebat, kelangkaan dan penurunan kualitas air, maraknya kebakaran hutan, bencana alam seperti banjir, dan perubahan pola cuaca atau terjadinya cuaca ekstrem.
Baca juga: Proyek Tol Dalam Kota Menantang Logika dan Fakta
Saat ini, sekitar 10 persen populasi dunia tinggal di wilayah pesisir dengan ketinggian kurang dari 10 meter di atas permukaan laut. Kemudian, total sekitar 44 persen dari sekitar 8 miliar populasi itu berada dalam jarak 100 kilometer dari pantai. Mereka sangat rentan terdampak kenaikan permukaan laut dan cuaca ekstrem.
Bukan kebetulan jika di kawasan pesisir hingga radius 100 kilometer dari pantai itu kini menjadi pusat pertumbuhan perkotaan. Kota-kota pun menjadi daerah sangat rentan tertimpa bencana.
Merujuk laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada 2050 nanti, 68 persen populasi dunia akan menyesaki area urban. Kota-kota pesisir sampai radius 100 kilometer dari tepi laut akan menjadi kantong-kantong populasi manusia terbesar.
Mengacu data PBB itu, Forum Ekonomi Dunia (WEF) menyatakan, ada lima tantangan besar kawasan perkotaan, yaitu ancaman dari lingkungannya, ketersediaan sumber daya, ketimpangan, teknologi, dan pemerintahan.
Baca juga: Tarif Murah, Syarat Wajib Angkutan Umum Modern Perkotaan
Ancaman lingkungan termasuk banjir, badai, gelombang panas, dan epidemi yang dapat berkembang menjadi pandemi. Terkait sumber daya, kota sangat membutuhkan, di antaranya pasokan air bersih, makanan, serta energi yang memadai.
Namun, kota-kota tumbuh tak tertata, seperti halnya rebakan urban (urban sprawl) yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya mereduksi area tangkapan air dan lahan pertanian aktif serta meningkatkan kebutuhan energi, seperti listrik dan bahan bakar fosil. Kota menjadi tidak efektif dan menyimpan jebakan bencana yang sewaktu-waktu dapat terjadi.
Kota-kota miskin akan semakin merana dibandingkan dengan yang lebih mampu. Adopsi teknologi menjadi masalah karena teknologi terbaru biasanya mahal, apalagi jika berkenaan dengan proyek infrastruktur penanggulangan bencana. Ketimpangan pun akan semakin menganga dan sulit diatasi.
Meskipun demikian, urbanisasi tidak akan berhenti, kota-kota akan bertambah besar dan populasinya menjadi lebih beragam. Mengatur kota-kota akan semakin rumit dan membutuhkan pemikiran yang berdedikasi pada kemaslahatan manusia dan lingkungan hidupnya.
Baca juga: Inovasi-inovasi Kota yang Dinanti pada 2024
Oleh karena itu, salah satu kunci untuk bisa mengatasi masalah adalah adanya tata kelola pemerintahan dan kepemimpinan pengelola kota yang baik. Tujuan umum tata kelola perkotaan harus mengatasi permasalahan kesetaraan dan kelayakan hidup warganya demi keberlanjutan kota-kota di masa depan.
”Jor-joran” infrastruktur
Beralasan menjawab tantangan urban tersebut, tren global saat ini adalah pembangunan infrastruktur raksasa penghalau bencana.
Berbagai proyek yang ditemukan di banyak kota, antara lain, merekayasa sungai, membangun sodetan antarsungai maupun sungai dengan sistem drainase buatan, membuat tanggul laut, proyek terowongan bawah tanah pengendali banjir, meningkatkan daya tampung sistem drainase, sampai menambah tempat parkir air berupa waduk, situ, juga sistem pompa dan polder.
Tanpa menafikan manfaat infrastruktur besar tersebut, perlu diakui banyak pula bermunculan proyek mercusuar yang pada akhirnya hanya mengejar ambisi memutar ekonomi. Berdalih mengatasi bencana sekaligus pembangunan pariwisata juga memperteguh kota sebagai pusat kegiatan bisnis global, jor-joran pembangunan infrastruktur kasat mata terjadi di banyak kota.
Pemerintah ataupun masyarakat sepertinya belum memahami bahwa krisis iklim ini tak mengenal batas wilayah. Untuk itu, dibutuhkan langkah-langkah sinergi antarkota antarnegara untuk bersama-sama mengantisipasinya. Kepemimpinan yang mampu mewujudkan sinergi menjadi sangat penting.
Baca juga: Kreativitas dan Humor di Balik ”Dress Shimmer” hingga Kaleng Rengginang
Di Indonesia, kita bisa melihat belum ada jawaban konkret atas tantangan perkotaan. Berbagai infrastruktur fisik di Jakarta belum juga bisa menangkis banjir. Jakarta terkoneksi erat dengan kawasan aglomerasi di sekitarnya. Berbagai kemajuan di Jakarta justru meningkatkan ketimpangan antara kota induk itu dengan Bodetabek. Kondisi ini mengungkap buruknya orkestrasi sinergi pembangunan.
Hal serupa bakal terjadi jika Kota Semarang, Jawa Tengah, bertindak sendiri menangkal banjir rob tanpa mengikutsertakan area urban dan daerah hulu di sekitarnya.
Karena seperti Dubai, satu kota supercanggih dan modern, ternyata tetap tidak bisa membentengi diri dari dampak krisis iklim.
Baca juga: Catatan Urban