Kreativitas dan Humor di Balik ”Dress Shimmer” hingga Kaleng Rengginang
”Dress shimmer” hingga kaleng isi rengginang. Kreativitas tanpa henti, kemampuan menertawakan diri dan bertahan hidup.
Tren baju dengan bahan kain berkilau yang tenar disebut ”dress shimmer” semakin menyemarakkan Lebaran tahun ini. Seiring cuti bersama berakhir, pakaian yang kian bersinar kala ditimpa cahaya itu pun dicuci, dilipat, dan disimpan lagi di lemari.
Namun, bukan berarti semangat surut, apalagi padam.
Bagi banyak orang, hari raya menjadi puncak sekaligus awal dari sebuah siklus pergulatan hidup. Adanya tren pakaian yang memanfaatkan momentum hari raya hanyalah ”booster” penambah semangat.
Baca juga: Fenomena Proust, Mudik, dan Nostalgia Nasi Liwet Solo
Jika tahun lalu ada tren pakaian Lebaran berwarna sage, kini produk dari bahan kain berkilau inilah penggantinya. Warna-warni baju bling-bling ini tidak tiba-tiba muncul. Dapat dikatakan tren ini bentuk adaptasi kaum kreatif di negeri ini dalam mengikuti tren dunia dan kemampuannya membidik pasar lokal.
Pantone dan WGSN (Worth Global Style Network), beberapa waktu lalu, mengumumkan warna tahun 2024 adalah peach fuzz dan apricot crush, yaitu sewarna buah persik dan aprikot dengan bubuhan semburat merah jambu lembut.
Acuan dari perusahaan peramal tren warna dan fashion dunia itu kemudian diaplikasikan pada kain sutra dan yang serupa sutra dengan sentuhan metalik untuk dikreasikan menjadi busana kekinian. Variasi berkembang menjadi produk pakaian dengan warna-warni pastel berkesan adem, tetapi mewah saat dikenakan.
Realitanya, ada harga ada kualitas.
Produk berbahan kain premium shimmer silk bisa mencapai ratusan ribu rupiah bahkan lebih. Dengan harga lebih mahal, baju enak dipakai, menyerap keringat, dan kesan siap berpesta seperti yang dijanjikan didapat.
Sebaliknya, ada yang jauh lebih murah dan mungkin terasa kurang nyaman ketika dikenakan.
Baca juga: ”The Nuruls”, antara Stereotipe dan Subkultur
Akan tetapi, kasatmata penampilan pemakai gaun mahal dan murah meriah tak jauh berbeda. Terekam dalam foto dan gambar bergerak, keduanya sama-sama bercahaya dan modis.
Apa pun itu, setiap orang berhak tampil maksimal di hari istimewa. Mereka memiliki keleluasaan menentukan produk yang dimau sesuai selera dan isi dompetnya.
Selama Lebaran kemarin, banyak pula yang menjadikan gamis kemilau ini seragam keluarga. Apalagi telah tersedia produk serupa untuk laki-laki, dewasa, dan anak-anak.
Kesenangan tercipta saat memakai baju pesta kemudian berkumpul dengan sanak saudara, saling bermaafan, makan bersama, dan saling mengunggah konten kebersamaan di media sosial. Hal itu sepadan dengan upaya sedikit menahan rasa tak menyenangkan saat mengenakan baju istimewa yang harganya miring.
Menertawakan diri sendiri berarti kemampuan menerima absurditas dalam kehidupan seraya upaya resistensi yang lebih santai.
Banyak pula yang sok mencibir tren sesaat ini, tetapi akhirnya jatuh hati dan tak mengurungkan niat mengenakan baju-baju menyilaukan di hari-hari spesial.
Ekonomi jelas tak kalah menggeliat berkat produksi dan jual beli busana kinclong ini.
Menertawakan diri sendiri
Seperti halnya saat pakaian warna sage populer selama Lebaran tahun lalu, banyak meme kocak diunggah di media sosial. Warganet terhibur. Tatkala berjumpa di dunia riil, fenomena serba sage menjadi bahan lelucon yang mengundang tawa, mencairkan suasana.
Tahun ini, sebelum demam ”dress shimmer” dan berbagai meme-nya melanda, publik diajak terbahak-bahak menyaksikan klip pendek berisi sekumpulan perempuan mengenakan pakaian seragam bermotif kulit macan.
Baca juga: Jebakan di Ujung Jari, THR Ludes hingga Terlilit Utang
Menunggangi tren pakaian yang bikin silau, parodi ”dress shimmer” dalam bentuk foto dan video bermunculan menyusul baju macan. Ada yang mengenakan jas hujan plastik tipis sampai kertas mengkilap warna warni.
Olok-olok atau bukan, berbagai parodi lucu tersebut tetaplah efek samping dari momentum baju berkilau yang bermanfaat.
Jika video parodi meledak dilihat banyak orang, keran rezeki atau setidaknya ketenaran hinggap pada si pembuat karya. Para penikmat konten mendapat hiburan gratis, bisa mengumbar tawa melupakan sejenak berbagai hal lain yang menekan.
Baca juga: Belajar dari Kota Trieste Memangkas Separuh Angka Bunuh Diri
Filsuf Henri Bergson dan psikolog Sigmund Freud yang keahlian berikut teori di bidang ilmunya mendunia memiliki pendapatnya sendiri tentang tawa dan praktik menertawakan diri sendiri yang ada sejak dahulu kala.
Bergson menyebut tawa adalah koreksi sosial, sementara Freud memandangnya sebagai semburan orang-orang yang tertindas. Kedua pendapat itu sering dikutip dalam jurnal ilmiah dan berbagai tulisan.
Menerjemahkan dari dua pendapat itu, menertawakan diri sendiri berarti kemampuan orang dan masyarakat membuat lelucon tentang segala sesuatu di sekitarnya, termasuk dirinya sendiri. Hal itu berarti kemampuan menerima absurditas dalam kehidupan seraya upaya resistensi yang lebih santai.
Ahmad Bahar lewat bukunya Belajar Menertawakan Diri Sendiri menguraikan bahwa lelucon paling lucu jika dimainkan pada diri sendiri.
Mencoba memahami Ahmad Bahar, apabila seseorang mudah menertawakan diri sendiri, artinya sebuah pribadi sudah bersahabat dengan dirinya sendiri. Menertawakan diri bagian dari proses menerus mengarungi samudra kehidupan untuk menemukan jati diri sebagai anak bangsa berkepribadian dan berkarakter.
Baca juga: Proyek Tol Dalam Kota Menantang Logika dan Fakta
Semua itu mengingatkan pada ajaran Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang biasa melontarkan humor dalam setiap kesempatan. Presiden Indonesia periode 1999-2001 itu tak jarang membuat dirinya sebagai bahan olok-olok yang ternyata menyentil realitas sosial dan politik.
Lewat leluconnya, Gus Dur membumikan toleransi, saling menghargai, juga pemahaman bahwa manusia di mata Tuhan adalah sama dan seharusnya sesama manusia tidak saling merendahkan.
Di sisi lain, komedi terbukti membantu manusia melewati sesuatu yang sangat menyakitkan, memberi jarak dan jeda. Hal ini memungkinkan untuk mundur sejenak dari suatu peristiwa yang tidak dapat kita kendalikan, kemudian secara bertahap menemukan cara menghadapinya, sebelum melanjutkan hidup.
Para pemikir tersebut lewat teorinya menyatakan humor tak bisa dipisahkan dari kerendahan hati dan kemanusiaan. Manusia tidak bisa mengerjakan satu hal tanpa mengerjakan yang lain. Setiap orang tidak dapat memiliki yang satu tanpa memiliki dua yang lainnya.
Lewat leluconnya, Gus Dur membumikan toleransi, saling menghargai.
Daya lenting
Seperti halnya menggunakan kembali kaleng biskuit diisi dengan rengginang, kerupuk, permen, atau penganan lainnya yang terus mengundang senyum, tren ”dress shimmer” menunjukkan kearifan masyarakat merespons hal-hal di sekitarnya
Baju warna sage, ”dress shimmer” dan kaleng rengginang legendaris itu potret daya lenting masyarakat.
Baca juga: Tarif Murah, Syarat Wajib Angkutan Umum Modern Perkotaan
Drama politik penguasa negeri yang berpengaruh pada naiknya harga bahan pangan hingga mencekik biarlah berlangsung dan semoga segera berlalu dengan damai.
Warga kebanyakan yang tak punya kuasa untuk cawe-cawe tak ambil pusing. Yang penting tetap bisa eksis dan menggerakkan ekonomi. Tak lupa menaburkan komedi penghibur agar makin punya kekuatan untuk melanjutkan hidup.
Lebaran tahun depan, tunggu saja kreativitas dan humor menarik lainnya dari kita untuk kita.
Baca juga: Catatan Urban