Memuliakan Manusia
Berpolitik ugal-ugalan, yang memorakporandakan nilai-nilai dasar kehidupan, bakal mengancam kehidupan yang panjang.
Ketika seorang rohaniwan di satu persidangan agung berikhtiar ikut menegakkan konstitusi, menyampaikan pandangan dan pemikiran filosofis tentang etika terkait kepantasan dan adab dalam berpolitik, ia diserang. Diminta kembali ke jalan yang benar.
Dia diminta mengurus agama saja. Kembali ke mimbar rumah ibadah. Artinya, dalam pandangan sempit, yang berpredikat pemuka agama itu—pastor, ustaz, ulama, kiai, biku, pandita, dan lain-lain—sebaiknya hanya bertugas mengutip ayat-ayat suci, menakut-nakuti soal neraka dan obral iming-iming surga nirwana belaka.
Begitu pun nasib para akademisi bergelar profesor, para cerdik pandai, dosen-dosen perguruan tinggi, budayawan, tokoh-tokoh masyarakat penjaga moral, para pensiunan jenderal polisi dan militer, semua diimbau kembali ke jalur profesionalnya. Tak perlu cawe-cawe ke ranah permainan politik tata negara. Seakan-akan wilayah profesional itu ada batas pemagarnya sehingga jika beropini tentang nilai-nilai utama yang mendasari kehidupan, mereka dituding kebablasan melampaui profesionalismenya.
Baca juga: Ketika Hukum Mengabaikan Etika
Seniman pun bernasib sama. Diimbau mlungker di tempurung masing-masing. Penyair bermainlah dengan kata-kata saja. Perupa bersibuklah dengan garis, warna, bentuk, komposisi, konsep-konsep dan gagasan seni visual. Para aktor silakan mengimitasi pemeranan melalui permainan akting, gestur, mimik, dan menghidupkan karakter di panggung ataupun di depan kamera sinematik.
Penari dan koreografer silakan bergoyang dan meliuk-liuk memanjakan elastisitas tubuhnya. Para pemusik manjakanlah para pemburu lagu, irama, melodi, dengan aneka suara agar semua telinga manusia tersihir keindahan musikal. Tema dan gagasan di semua sektor seni jangan merambah ke perkara sosial politik karena kalian tak memiliki legasi. Apalagi jika seniman sampai terseret terjun ke politik praktis. Itu pantang!
Bahkan, ketika sejumlah pekerja seni dan aktivis budaya bergerak menjadi amicus curiae alias ”sahabat persidangan” di Mahkamah Konstitusi (MK), ini menjadi kasak-kusuk yang membelah komunitas. Di satu sisi ”seniman baik dan benar” dan di sisi lain ”gerombolan seniman disorientasi”. Melahirkan stigma seniman dengan identitas baru, ”seniman berpolitik praktis”. Berdekatan dengan politik, mendadak sebuah tabu.
Luasnya pengabdian
Menurut saya, boleh saja orang punya pandangan begitu, karena memang begitulah asyiknya hidup dalam atmosfer demokrasi, yang sandaran konstitusinya belum diselewengkan ”secara legal”. Orang tak bisa—setidaknya hari ini—memonopoli kebenaran. Paling maksimal cuma disrimpung dengan pasal-pasal karet Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) seperti dialami aktivis lingkungan hidup di Karimunjawa yang divonis hukuman penjara.
Mereka seperti lupa. Legenda seniman Indonesia, bahkan dunia, jika dilacak cermat terbaca jejaknya bergumul dengan persoalan sosial politik. Misalnya, Affandi, S Sudjojono, Pablo Picasso, grup musik Sting, Beatles, Chairil Anwar, Rendra, Fadjar Sidik, Kusnadi, Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan Vaclav Havel bahkan berhasil menjadi presiden ke-10 Ceko di Eropa Timur.
Pertanyaannya, kenapa para profesional—rohaniwan, akademisi, dan lainnya—seperti kurang kerjaan ”membelot” dari profesinya yang aman dan mapan? Bukannya itu penuh risiko? Keganasan Orde Baru memberi pelajaran, orang bisa kehilangan hak perdatanya atau dibunuh sumber ekonominya.
Jika hari ini kita sedang terbelah antara penyembah nilai dan penyembah berhala baru bernama kepentingan, jelas di mana kita akan berdiri.
Pemahaman saya sederhana. Saya hanya meyakini mereka adalah orang-orang yang bertuhan kepada nilai. Nilai dasar kehidupan. Nilai-nilai dasar itu—termasuk etika, adab, kepantasan, hukum—tak boleh terganggu. Tak boleh diusik. Kita paham, berpolitik secara ugal-ugalan, yang cenderung memorakporandakan nilai-nilai dasar kehidupan, bakal mengancam kehidupan yang panjang. Tak perlu contoh narasi besar.
Perkara remeh-temeh, seperti harga garam, ketersediaan gula, teh, beras, obat, dan urusan ibadah, tak terelakkan bakal bersinggungan dengan kebijaksanaan politik.
Maka jika pada akhirnya mereka terpaksa berpolitik praktis, misalnya bersuara di mimbar-mimbar bebas, turun ke jalan, melancarkan gugatan, itu merupakan sebuah keniscayaan. Keniscayaan yang mesti dijelmakan jadi tindakan. Cawe-cawe untuk membela dan menjaga nilai dasar kehidupan. Bukan cawe-cawe karena ingin menciptakan ”monarki gaya baru” berkedok demokrasi.
Mereka berjuang untuk memuliakan manusia, kemanusiaan, dan kehidupan. Sesungguhnya inilah muara dari segala ilmu pengetahuan yang kita pelajari sebagai laku budaya. Berbagai profesi yang bikin aman-mapan secara ekonomi itu hanyalah alat, sekali lagi hanya alat, untuk mempersenjatai diri berangkat ke ruang pengabdian yang lebih luas.
Membantah stigma
Di sinilah kita bisa memetik pembelajaran bahwa ruang gerak keilmuan yang kita pelajari tak hanya berkutat di dunianya sendiri. Mereka yang suntuk belajar hukum, (semestinya) tak hanya untuk mewujudkan mimpi mereka menjadi jaksa, hakim, atau pengacara.
Bangsa ini berharap mereka menjadikan ilmu hukum sebagai alat untuk memuliakan kemanusiaan. Mereka yang belajar ilmu kepolisian diharapkan tak hanya jadi polisi yang jagoan sebagai reserse, cermat menyidik dan menyelidiki, mengantisipasi tertib dan tegaknya hukum, apalagi sekadar polisi robotik yang patuh menunggu perintah atasan dan menanggalkan kecerdasan otaknya.
Tentu kita merindukan aparat penegak hukum yang, selain bersungguh-sungguh menegakkan hukum, juga menggunakan kekuasaannya untuk tugas-tugas memuliakan kehidupan yang dibaktikan pada rakyat kecil terpinggirkan.
Seperti dilakukan seorang kapolda di Pulau Jawa yang serius mempelajari sisik melik pertanian, riset tentang pupuk organik, benih padi dan aneka sumber pangan lokal, mengolah tanah, cara bercocok tanam modern, untuk kemudian menjadikannya sebagai pemicu gairah kerja mahasiswa dan anak-anak muda pengangguran di Indonesia timur.
Di sinilah kita bisa memetik pembelajaran bahwa ruang gerak keilmuan yang kita pelajari tak hanya berkutat di dunianya sendiri.
Menjadikan mereka manusia produktif dan mandiri. Ilmu kepolisian ternyata bisa dijadikan alat pengabdian yang sangat luas: memuliakan manusia. Ini sekaligus membantah stigma polisi tukang palak, pemeras, pemburu setoran upeti.
Saya yakin, di negeri ini masih banyak tergelar ribuan profesi yang menjadikan ilmunya alat pengabdian, melampaui wilayah sempit keilmuan itu sendiri. Menjadi tenaga medis tak hanya berurusan dengan suntik-menyuntik dan obat-obatan. Menjadi tentara tak semata mengokang senapan dan baris-berbaris.
Menjadi pengusaha tak melulu mencetak laba. Menjadi kontraktor tak sekadar bermain mata dengan pejabat kementerian ini-itu. Menjadi pemungut cukai dan pajak tidak selalu mencari celah digelontori sogokan. Menjadi pensiunan tak usah merasa sebagai limbah yang menghitung hari lalu bersahabat dengan prostat dan asam urat. Menjadi tokoh religius dan spiritual tak hanya melafalkan doa-doa dan ayat-ayat suci.
Menggembol pamrih
Menjadi seniman? Tentu sangat tidak diharapkan seniman yang sekadar terampil mengelaborasi teknik untuk perkara artistik semata-mata. Salah-salah dia malah tergelincir menjadi perajin saja. Selayaknya kualitas artistik berjalan seiring dengan kualitas gagasan yang visioner mendahului zamannya.
Baca juga: Menikmati Indonesia dalam Kejenakaan
Keseniannya akan punya daya hidup. Daya sengat dan daya kritis. Menginspirasi khalayak untuk lahirnya kebaikan demi kebaikan. Kalau saja seniman punya nyali mendobrak tempurungnya dan berani mengartikulasikan pikiran dan kekuatan seninya, sesungguhnya dia sedang menggunakan seninya sebagai alat memuliakan manusia, kemanusiaan, dan kehidupan.
Di tengah karut-marut politik mutakhir, pandangan seperti ini akan dengan mudah dituding partisan. Menggembol pamrih. Dimuati kepentingan. Dengan tegas saya nyatakan, ”iya”. Memang partisan kepada nilai. Nilai hidup. Jika hari ini kita sedang terbelah antara penyembah nilai dan penyembah berhala baru bernama kepentingan, jelas di mana kita akan berdiri.
Butet Kartaredjasa, Seniman