Menikmati Indonesia dalam Kejenakaan
Pentas Indonesia Kita ke-41 di Taman Budaya Yogyakarta berlangsung semarak penuh gelak tawa. Tak ada lagi intimidasi.
Pentas Indonesia Kita ke-41 di Taman Budaya Yogyakarta, 23-24 Januari 2024, berjalan semarak penuh gelak tawa. Tak ada lagi intimidasi dari polisi seperti yang terjadi 1-2 Desember 2023 lalu di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Ku jemu dengan hidupku, yang penuh liku-liku. Bekerja di malam hari, tidur di siang hari…. Lagu ”Ku Jemu” ciptaan band legendaris Koes Plus yang dilantunkan musisi Bonita mengawali pentas Indonesia Kita ke-41 dengan lakon ”Musuh Bebuyutan”.
Seorang penjual gorengan (Joind Bayuwinanda) menawarkan dagangannya sembari memukul-mukul bibir wajan. ”Gorengan, gorengan silakan. Ini lagi musim gorengan,” ucapnya.
Suasana di kelurahan memang sedang gaduh menjelang pemilihan umum. Warga bersiap-siap memilih lurah baru.
Menjelang pemilu, baliho-baliho calon lurah bertebaran di pinggir jalan hingga depan rumah-rumah warga. Cak Lontong kaget, di depan rumahnya tiba-tiba berdiri baliho besar bergambar calon lurah. Demikian pula di rumah Oppie (Oppie Andaresta), foto besar bergambar laki-laki berjanggut sudah tertancap di depan pintu.
Mereka pun saling tuduh. Cekcok tak terbendung. ”Ingat, yang namanya politik itu pendek, tetapi persahabatan itu panjang,” ujar Yu Ningsih yang berusaha mengingatkan keduanya.
Semua berebut pendukung. Susilo Pranowo (Susilo Nugroho), salah seorang calon lurah, misalnya, merayu seorang penjual jamu (Inaya Wahid) untuk menjadi tim suksesnya. ”Mending jadi timses, meski calon gagal, timses tetap sukses,” ujar Susilo.
Baca juga: Baru Kali Ini Butet Kartaredjasa Diminta Tanda Tangan Surat ke Polisi
Gadis penjual jamu bergeming. ”Daripada menyukseskan sampeyan, saya lebih baik menyukseskan diri sendiri,” katanya.
Calon lurah dari kubu lain, Marwoto Subiyanto (Marwoto), juga membujuk Oppie keponakannya untuk menjadi timses. Namun, Oppie tidak tertarik.
Ketika ditanya tentang program pembangunan apa yang hendak dilakukan ke depan, Marwoto menjawab akan membangun jembatan. Rivalnya, Susilo, langsung menyahut, ”Buat apa bangun jembatan? Kan di sini tidak ada sungai.”
Spontan dengan wajah polos Marwoto berkata, ”Saya akan membangun sungai!” Penonton pun langsung tertawa terpingkal-pingkal.
Tak mau kalah, Pak Lurah petahana (Butet Kartaredjasa) ikut-ikutan meramaikan. Ia gencar blusukan dan membagikan bantuan. Rupanya, ia juga mendukung salah satu calon lurah.
Kalau pengin negarane penak, jangan mengkhianati konstitusi.
Lambat laun tak bisa dihindari, masyarakat pun semakin terbelah akibat kontestasi pemilihan lurah. Ketika suasana masyarakat semakin memanas, tiba-tiba muncul benih-benih cinta di antara warga yang berbeda pilihan. Akbar, adik Oppie, jatuh cinta pada Yu Ningsih, sementara Cak Lontong, keponakan Yu Ningsih, jatuh cinta dengan Oppie.
Suasana panas di kampung langsung berubah sejuk. Warga beramai-ramai menikahkan dua pasangan itu. Sepasang remaja jatuh cinta, di bawah asuhan dewi asmara…. Lagu ”Cinta Mulia” ciptaan Koes Plus mengiringi ending manis ini.
Perseteruan ”akar rumput”
Seperti pertunjukan di TIM, Jakarta, ”Musuh Bebuyutan” menampilkan suasana kehidupan sebuah kampung yang mulai terpecah belah akibat proses demokrasi. ”Setting ini menjadi pas untuk ditampilkan di Yogyakarta atau daerah-daerah lainnya, melihat semakin dekatnya kita dengan pesta demokrasi yang akan berlangsung sebulan lagi,” kata Agus Noor, penulis naskah sekaligus sutradara pementasan yang didukung Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tersebut.
Menurut Agus, lakon ini mencerminkan situasi yang nyata di antara masyarakat ”akar rumput”. Hubungan bertetangga bisa menjadi runyam ketika para elite politik mulai saling serang di dalam kampanye-kampanyenya, termasuk saat perdebatan di layar kaca.
Pertunjukan Musuh Bebuyutan diharapkan dapat merilekskan ketegangan masyarakat di tengah panasnya suhu politik. Seperti pementasan-pementasan sebelumnya, Indonesia Kita selalu menampilkan parodi-parodi, banyolan, dan guyonan-guyonan satire.
”Semangat kami adalah membangun kerukunan. Siapa pun bisa hadir menikmati ’ibadah kebudayaan’ ini. Pasangan (capres dan cawapres) nomor 1, 2, atau 3 boleh menonton. Kita menikmati keindonesiaan dalam perspektif kejenakaan,” kata pendiri Indonesia Kita, Butet Kartaredjasa.
Menurut Butet, ”ibadah kebudayaan” Indonesia Kita bukanlah pertunjukan kelompok teater, melainkan sebuah program. Program ini mencoba mengajak siapa pun untuk menghayati keindonesiaan melalui jalan kebudayaan.
”Kita bisa menghayati keindonesiaan melalui jalan politik, jalan hukum, atau apa pun. Tetapi, kami memilih Indonesia Kita sebagai rumah bersama yang berlandaskan kekuatan seni dan kebudayaan sehingga kita tetap merasa sebagai Indonesia,” paparnya.
Awal Desember 2023, pentas Indonesia Kita di TIM sempat diwarnai kekhawatiran ketika Butet diminta pihak kepolisian menandatangani surat blangko yang menyebutkan ia harus berkomitmen untuk tidak bicara soal politik. Di Yogyakarta, pentas Indonesia Kita berlangsung lancar.
”Seminggu lalu Polda DIY sudah memberi izin. Polisi Yogyakarta memang istimewa,” kata Butet sembari tertawa.
Pentas Musuh Bebuyutan turut diinspirasi lagu-lagu Koes Plus yang menggambarkan kerukunan dan membawa kesejukan hati. ”Ingat lagu Koes Plus, ingat perjalanan Tul jaenak jae jatul jaeji. Kuntul jare banyak, ndoge bajul kari siji. Kalau pengen negarane penak, jangan mengkhianati konstitusi,” seloroh Butet.
Akbar pun menimpali, ”Tul jaenak jae jatul jaeji. Kalau pengen negarane penak, pejabat jangan ingkar janji.”
”Tul jaenak jae jatul jaeji, kalau pengen negarane penak, korupsi harus dibasmi,” tambah Marwoto.
Cak Lontong tak mau kalah. Ia turut berpantun. ”Tul jaenak jae jatul jaeji. Kalau pengen negarane penak, jangan sampai mundur demokrasi.”
Butet menutup pentas dengan ajakan ”Jangan pernah kapok menjadi Indonesia” diiringi lagu Koes Plus, ”Mari Berjoget”.
Mari kawan semua jangan melamun saja...
Dengarlah lagu gembira kita berjoget bersama…
Dengarlah lagu gembira kita berjoget bersama…