Menaikkan iuran JKN bisa menjadi alternatif jika pemerintah menghapus sebagian tunggakan iuran dan menaikkan kuota PBI.
Oleh
TIMBOEL SIREGAR
·4 menit baca
Beberapa saat yang lalu Direktur Utama BPJS Kesehatan memberi sinyal kenaikan iuran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sinyal ini disampaikan setelah Dirut BPJS Kesehatan bertemu Presiden Joko Widodo. Tahun lalu Presiden menyatakan, kenaikan iuran JKN akan dilakukan pada 2025 setelah Pemilu 2024.
Kenaikan iuran JKN terakhir pada 2020 dengan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019. Kemudian, kenaikan iuran Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja (peserta mandiri) dianulir oleh Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 7/P/HUM/2020. Salah satu pertimbangan hukum MA adalah Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tidak mempertimbangkan kemampuan masyarakat pada saat itu.
Dengan putusan tersebut, bukannya memperhatikan kemampuan masyarakat, pemerintah malah menerbitkan Perpres No 64/2020 dengan menaikkan kembali iuran peserta mandiri. Kemudian dilakukan lagi judicial review kenaikan iuran tersebut, tetapi ditolak Hakim MA sehingga iuran di Perpres No 64/2020 tetap berlaku hingga kini. Kondisi ekonomi masyarakat di masa Covid-19 di 2020 menurun tajam sehingga putusan MA yang menolak judicial review tersebut sarat dengan politisasi.
Merujuk Pasal 38 Ayat (1) Perpres No 82/2018, besaran iuran JKN ditinjau paling lama dua tahun. Kenaikan pertama terjadi pada 2016, tetapi karena 2019 ada pemilu, Presiden baru menaikkan iuran JKN pada Januari 2020. Saat ini pun kenaikan iuran dijanjikan pada 2025, pasca-Pemilu 2024. Kenaikan iuran JKN dinilai sensitif bagi masyarakat sehingga iuran JKN tidak sesuai regulasi.
Meningkatkan pendapatan iuran
Dengan defisit berjalan pembiayaan JKN di 2023, maka penting untuk meningkatkan pendapatan iuran JKN pada 2024. Pendapatan iuran selama 2023 (Rp 151,4 triliun) lebih kecil dari beban jaminan kesehatan (Rp 158,8 triliun).
Kondisi di 2023 berbeda dengan dua tahun sebelumnya yang surplus, yakni pendapatan iuran lebih besar dari beban jaminan kesehatan. Pada 2021, pendapatan iuran Rp 143,3,4 triliun dan beban jaminan kesehatan Rp 90,3 triliun. Pada 2022, pendapatan iuran Rp 144,3,4 triliun dan beban jaminan kesehatan Rp 113,4 triliun.
Kondisi defisit pembiayaan berjalan pada 2023 memang sudah diprediksi karena beberapa faktor, seperti kenaikan biaya INA-CBGs (Indonesian-Case Based Groups) dan kapitasi, termasuk menambah manfaat skrining untuk mencegah penyakit katastropik. BPJS Kesehatan menanggung biaya kuratif Covid-19 pun mendukung kenaikan beban jaminan kesehatan. Masih terjadinya fraud yang dilakukan fasilitas kesehatan juga mendukung terjadinya defisit JKN.
Peningkatan beban jaminan kesehatan yang signifikan tersebut tidak diimbangi oleh pendapatan iuran yang hanya naik 5,1 persen pada 2023.
Dampak peningkatan biaya tersebut, yang diikuti kenaikan jumlah kasus kuratif, menyebabkan beban jaminan kesehatan meningkat 39,99 persen pada 2023. Peningkatan tersebut dikontribusi signifikan oleh pembiayaan delapan penyakit katastropik, yang tumbuh 44,49 persen menjadi Rp 34,75 triliun, dengan jumlah kasus 29,74 juta (naik 27,85 persen).
Peningkatan beban jaminan kesehatan yang signifikan tersebut tidak diimbangi oleh pendapatan iuran yang hanya naik 5,1 persen pada 2023. Semakin banyaknya peserta mandiri yang menunggak iuran dan peserta masyarakat miskin penerima bantuan iuran (PBI) yang dinonaktifkan pemerintah mendukung rendahnya pendapatan iuran. Apabila kondisi ini terus terjadi, aset bersih Dana Jaminan Sosial Kesehatan akan terus tergerus, dan kondisi defisit yang terjadi di 2014 hingga 2020 berpotensi terulang.
Per akhir Desember 2023, peserta mandiri yang menunggak iuran sebanyak 15.023.785 orang. Peserta yang non-aktif mutasi tanpa tunggakan iuran 38.567.086 orang, berasal dari peserta PBI yang dinonaktifkan pemerintah pusat dan daerah, serta peserta penerima upah swasta maupun pemerintah yang ter-PHK (termasuk keluarganya) yang hingga saat ini belum menjadi peserta aktif JKN lagi. Per 29 Februari 2024, total tunggakan iuran sebesar Rp 20,59 triliun.
Potensi pendapatan iuran dari pembayaran tunggakan iuran tersebut sangat besar, dan untuk itu penting adanya kebijakan penghapusan tunggakan iuran JKN guna memudahkan pembayarannya, dan mendukung peningkatan pendapatan iuran. Pemerintah mengatur mekanisme penghapusannya serta persentase besarannya. Kebijakan penghapusan ini diberikan kepada peserta yang ingin membayar tunggakan iuran, dan ini pun dapat disertai program REHAB, yaitu mencicil tunggakan iuran.
Pengaturan penghapusan sebagian tunggakan iuran ini utamanya adalah untuk menjamin seluruh rakyat Indonesia dilindungi JKN. Yang sudah lama menunggak dan nilai tunggakannya besar dapat membayar tunggakannya dengan lebih ringan, dan setelah lunas dapat kembali membayar iuran secara normal.
Dengan kebijakan penghapusan tersebut, apabila 40 persen saja dibayar, nilainya sudah bisa menutupi potensi defisit pada 2024. Demikian juga untuk peserta PBI yang dinonaktifkan, pemerintah seharusnya merealisasikan Perpres No 36/2023 dengan meningkatkan kuota PBI menjadi 113 juta orang agar masyarakat miskin yang dinonaktifkan dapat dibayarkan kembali iurannya. Dengan menaikkan kuota PBI akan meningkatkan pendapatan iuran JKN.
Rencana penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) satu kelas perawatan berpotensi menurunkan pendapatan iuran JKN ke depan. Dengan menghapus kelas 1, 2, dan 3, maka iuran peserta mandiri menjadi tunggal, yang nilainya diperkirakan berkisar antara iuran kelas 3 dan kelas 2 saat ini.
Ini artinya peserta mandiri kelas 1 dan 2 akan membayar iuran lebih kecil, sementara kelas 3 membayar lebih besar. Kenaikan iuran bagi peserta mandiri kelas 3 akan berdampak kepada semakin banyaknya peserta mandiri menunggak iuran.
Menaikkan iuran JKN bisa menjadi alternatif berikutnya apabila kebijakan menghapus sebagian tunggakan iuran dan menaikkan kuota PBI menjadi 113 juta orang diimplementasikan pemerintah. Pemerintah sebaiknya mengkaji ulang KRIS satu ruang perawatan agar pendapatan iuran tidak menurun.