Sudah menjadi keharusan bahwa harga layanan kesehatan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional yang berkualitas sebaiknya disesuaikan dengan nilai keekonomian yang ada saat ini di setiap wilayah.
Oleh
ADITIA NUGROHO
·3 menit baca
”Nurani adalah kemudi kehidupan yang hakiki karena dikendalikan langsung dengan kasih Ilahi… mandiri dan akan tetap ada, meski dorongan yang bertentangan dengan cita manusia sedang berkuasa.” (Ahmad Tohari).
Tulisan Hasbullah Thabrany yang berjudul Menggugat Komitmen soal JKN di harian Kompas tanggal 17 Desember 2021 menjadi sarana untuk menilik kembali nurani para penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Ini terutama terkait komitmen untuk memberikan insentif yang layak kepada tenaga kesehatan medis dan non-medis yang telah menjadi tulang punggung pelaksanaan layanan kesehatan JKN.
Tanggung jawab tenaga kesehatan sudah sangat berat, terutama selama masa pandemi, baik secara fisik maupun mental, tidak perlu lagi ditambah kecemasan tentang sistem pembiayaan kesehatan yang semakin menjauhi harapan ideal. Sudah menjadi keharusan bahwa harga layanan kesehatan JKN yang berkualitas sebaiknya disesuaikan dengan nilai keekonomian yang ada saat ini di setiap wilayah.
Adalah sebuah keniscayaan bahwa kurang layaknya tarif layanan kesehatan akan berdampak pada penurunan kualitas layanan. Hal ini berujung pada luaran kesehatanan yang lebih buruk dan menuntut sumber daya yang lebih banyak lagi, termasuk dalam hal pembiayaan.
Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan sudah jelas mengungkapkan bahwa standar tarif ditinjau paling cepat setiap dua tahun sekali dengan memperhitungkan kecukupan iuran dan kesinambungan program. Penetapan standar tarif tersebut harus mempertimbangkan ketersediaan fasilitas kesehatan, indeks harga konsumen, dan indeks kemahalan daerah.
Penyesuaian tarif
Selama implementasi JKN dari awal tahun 2014, pemerintah sebenarnya sudah dua kali menyesuaikan tarif JKN. Penyesuaian pertama terjadi pada Agustus 2014 dengan Permenkes Nomor 59 Tahun 2014 yang merupakan penyesuaian pertama dari standar tarif awal JKN yang termuat dalam Permenkes Nomor 69 Tahun 2013. Perubahan kedua terjadi pada tahun 2016 dengan terbitnya Permenkes Nomor 52 Tahun 2016 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.
Beberapa penyesuaian tarif yang terjadi sebelumnya menjadi bukti komitmen awal dalam mengevaluasi dan melakukan penyesuaian, meskipun masih menyisakan keraguan terkait kelanjutannya karena sejak tahun 2016 sampai dengan saat ini belum ada lagi penyesuaian tarif.
Salah satu pertanyaan utama terkait mandeknya upaya penyesuaian tersebut adalah tentang belum adanya pedoman utama (masterplan) alur penyesuaian tarif JKN di Indonesia. Pedoman tersebut seharusnya menjadi acuan dan memuat prosedur dalam melakukan penyesuaian tarif secara periodik termasuk peran dan tanggung jawab setiap pihak yang terlibat sehingga bisa dijadikan sarana periksa akuntabilitas antarlembaga apabila terdapat pihak yang tidak menjalankan fungsinya dengan optimal.
Ada dua hal yang perlu menjadi dasar pertimbangan dalam alur penyesuaian tarif JKN. Pertama, terkait faktor ekonomi tentang bagaimana penyesuaian tarif mengakomodasi tingkat inflasi serta upaya efisiensi yang telah dilakukan sebelumnya. Kedua, pertimbangan terkait faktor layanan, yakni pola pemanfaatan layanan, tipe dan kepemilikan fasilitas kesehatan, serta kekhususan tarif pada layanan kesehatan tertentu terutama yang menjadi program nasional (sehingga selaras dengan upaya memenuhi target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/SDG’s di bidang kesehatan).
Hasil akhir dari penyesuaian tarif yang dihasilkan melalui alur yang jelas diharapkan mampu mengakomodasi perubahan harga akibat perubahan indikator makroekonomi, kesenjangan subsidi antara sektor publik-swasta, faktor daerah (indeks harga), serta spesialisasi layanan/jenis penyedia layanan. Perencanaan penyesuaian tarif tersebut selanjutnya digunakan untuk memperkirakan ruang fiskal yang perlu disiapkan termasuk bagaimana memitigasi rencana pendapatan sehingga jurang pendapatan dan belanja kesehatan JKN bisa lebih diminimalkan.
Cara terbaik dalam mengantisipasi ketidakpastian adalah dengan membuat perencanaan yang matang. Negeri kita tidak kekurangan ahli dalam melakukan kajian serta penyusunan pedoman tersebut, termasuk membantu merumuskan rekomendasi kebijakan.
Hal yang menjadi pertanyaan saat ini adalah, apakah hal tersebut sudah masuk dalam agenda utama? Semoga tulisan Hasbullah Thabrany berjudul Menggugat Komitmen soal JKN bersama dengan tulisan ini bisa menggugah nurani para pengambil keputusan, membangkitkan niat hakiki yang dikendalikan dengan kasih Ilahi membawa perubahan JKN ke arah yang lebih baik.