Menggugat Komitmen soal JKN
Penyelenggaraan JKN yang benar adalah jika penduduk mendapat layanan kesehatan yang layak sesuai kebutuhan medis. Banyak orang salah memahami kebutuhan medis yang menjadi hak setiap orang.
Tanggal 12 Desember diperingati dunia sebagai hari Universal Health Coverage, suatu upaya para pemimpin dunia untuk memenuhi hak asasi setiap orang untuk hidup sehat produktif dan sembuh dari penyakit.
Pemenuhan hak kesehatan bagi setiap orang dirumuskan dalam Universal Health Coverage (UHC) pada Tujuan 3.8 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), yang ditandatangani Wakil Presiden Jusuf Kalla pada 2015. Indonesia sudah lebih dulu menancapkan tujuan pemenuhan hak kesehatan setiap orang yang tertuang dalam Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945 pada 1999.
Salah satu wujud dari pemenuhan hak layanan kesehatan itu dirumuskan dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagaimana diatur dalam UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Dalam berbagai forum ilmiah tentang JKN, sering pejabat mengatakan ”pesan Presiden, tidak ada kenaikan iuran dan tarif fasilitas kesehatan sampai 2024”. Di sisi lain, para pemimpin rumah sakit dan ratusan ribu tenaga medis mengeluhkan rendahnya tarif JKN yang belum pernah disesuaikan sejak 2014.
Peserta JKN mengeluhkan layanan JKN yang tidak memuaskan akibat bayaran ke fasilitas kesehatan yang tidak memadai.
Ekonom normal paham bahwa tarif yang selama delapan tahun tidak disesuaikan adalah tidak normal. Inflasi dan belanja pegawai tiap tahun naik. Sungguh aneh, pemerintah menyetujui kenaikan tarif jalan tol tiap dua tahun sekali, tetapi memaksa ratusan ribu tenaga kesehatan bekerja dengan tarif yang sama selama delapan tahun.
Peserta JKN mengeluhkan layanan JKN yang tidak memuaskan akibat bayaran ke fasilitas kesehatan yang tidak memadai. Banyak aparatur sipil negara (ASN) tidak menggunakannya. Kata pepatah, ono rego ono rupo!
Apakah pesan Presiden Jokowi tersebut harus dipatuhi? Jika dipatuhi, ratusan ribu tenaga kesehatan harus bekerja rodi untuk JKN dan kualitas layanan JKN tidak bagus. Maka, lebih dari 200 juta peserta JKN menjadi korban pesan Presiden.
Pelanggaran sumpah jabatan
Penyelenggaraan JKN yang benar adalah jika penduduk mendapat layanan kesehatan yang layak sesuai kebutuhan medis. Banyak orang salah memahami kebutuhan medis yang menjadi hak setiap orang. Kebutuhan medis adalah status obyektif yang ditentukan oleh ilmu kedokteran, bukan oleh nilai uang atau persepsi pejabat negeri. Seorang penderita kanker atau stroke memerlukan perawatan intensif dengan biaya Rp 16,5 juta per hari, itu adalah kebutuhan medis dasar. Tarif pasien Covid-19 sudah memakai tarif harian itu.
Baca juga : Konsistensi Penyelenggaraan JKN
Namun, bagaimana jika JKN mengalami defisit? Pada tujuh tahun pertama, banyak pihak langsung menuding adanya moral hazard peserta dan atau fasilitas kesehatan, tanpa data dan fakta. Padahal, kejadian defisit dapat disebabkan kurangnya pendapatan JKN dan atau tingginya belanja JKN.
Fakta menunjukkan, iuran JKN rata-rata per orang per bulan (POPB) hanya Rp 28.051 pada 2014 dan naik menjadi Rp 41.548 pada 2019. Tahun 2021 iuran POPB diperkirakan paling tinggi Rp 55.000, hanya cukup untuk beli tiga bungkus rokok. Tak satu pun perusahaan asuransi yang berani menjamin paket jaminan dengan premi sebesar itu. Fakta dan data ilmiah menunjukkan, program JKN sudah sangat efisien dan jelas kekurangan pendapatan, bukan kelebihan belanja. Jangan-jangan Presiden tidak memahami dan tidak diberikan informasi yang benar soal JKN.
Jadi, jika pernyataan instan Presiden dipatuhi, pejabat negeri menjerumuskan Presiden pada pelanggaran sumpah jabatan. Sebab, Presiden dan semua pejabat negara bersumpah untuk menjalankan UUD dan semua UU secara benar. Menjalankan UU yang mengatur JKN (UU No 40/2004) dengan benar adalah memastikan ketika seorang peserta JKN sakit, ia harus mendapat rawat medis sesuai kebutuhannya, bukan keinginannya. Untuk itu, fasilitas kesehatan (termasuk semua tenaga kesehatan) harus dibayar dengan harga pasar yang layak, yang wajar.
Nilai harga yang wajar harus disesuaikan secara berkala agar peserta JKN tak dibebani biaya berobat yang memiskinkan keluarganya. Data serial Susenas menunjukkan, jutaan peserta JKN terpaksa membayar biaya berobat yang memiskinkan (belanja katastropik yang lebih besar dari 10 persen pendapatan rumah tangga). Jadi, pelaksanaan UU No 40/2004 belum benar. Maka, jika pesan instan Presiden dipatuhi, Presiden melanggar sumpah jabatannya. Seharusnya pejabat pembantu Presiden memberikan informasi yang benar agar Presiden amanah.
Paradoks belanja kesehatan
Selama ini Indonesia memamerkan paradoks publik dalam belanja kesehatan yang berakibat lemahnya sistem kesehatan nasional. Tahun 2019, peringkat sistem kesehatan Indonesia berada pada urutan ke-96 di dunia akibat pendanaan publik (oleh pemerintah dan JKN) yang terlalu kecil. Jangan salahkan penduduk jika banyak yang berobat ke luar negeri. Dengan investasi kecil, mimpilah untuk menjadikan kualitas layanan RS di Indonesia bersaing dengan Malaysia, Thailand, apalagi Singapura.
Jika mengacu pada hak konstitusional penduduk, seharusnya negara membelanjakan dana yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan, sesuai indikasi medis, semua penduduk. Faktanya? Dalam lima tahun terakhir, belanja fungsi kesehatan hanya Rp 552 triliun, di luar belanja Covid-19 yang bukan belanja rutin, sedangkan belanja subsidi energi yang bukan kewajiban konstitusional mencapai Rp 625 triliun.
Ketika Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan) mengalami defisit dan meminta pemerintah memenuhi kewajibannya menutup defisit, sebagian pejabat pemerintah menyoroti belanja manfaat (biaya produksi) JKN dan mencurigai ada moral hazard/fraud oleh fasilitas kesehatan. Padahal, pemerintah secara sadar tidak menyesuaikan bayaran kapitasi dan case mix base group (CBG) lebih dari enam tahun—suatu kebijakan tidak normal.
Ratusan ribu tenaga kesehatan dipaksa berproduksi di bawah biaya pokok produksi.
Ratusan ribu tenaga kesehatan dipaksa berproduksi di bawah biaya pokok produksi. Akibatnya, kualitas layanan peserta JKN tak bagus. Tak dimungkiri, banyak pejabat tinggi negeri dan pejabat BPJS Ketenagakerjaan tak menggunakan manfaat JKN karena persepsi kualitas atau antrean yang lama. Ironis! Ketika PT (Persero) PLN dan PT (Persero) Pertamina yang sudah membukukan laba menyampaikan biaya produksi yang di atas ketetapan harga jual pemerintah, pemerintah menggelontorkan subsidi energi yang besar dan tidak tepat sasaran.
Pemerintah memungut uang denda bagi para perokok untuk merusak kesehatan dirinya dan diri orang lain, yang disebut cukai rokok, mencapai Rp 800 triliun dalam lima tahun terakhir. Namun, pemerintah hanya mengeluarkan subsidi iuran JKN bagi sekitar 98 juta penduduk termiskin sekitar Rp 180 triliun dalam periode yang sama. Selain itu, nyaris tak terdengar kampanye atau iklan pemerintah agar rakyat hidup sehat dan tak merokok, baik di media elektronik maupun di media luar ruang.
Pemerintah menikmati memungut uang denda perilaku tak sehat merokok, tetapi sangat pelit mempromosikan hidup sehat tanpa rokok. Pada 2021, pemerintah memungut cukai rokok sekitar Rp 172 triliun, tetapi hanya memberi subsidi iuran JKN pada sekitar 98 juta penduduk termiskin sekitar Rp 50 triliun. Sementara subsidi energi (BBM, gas, listrik) mencapai Rp 128 triliun.
Paradoks! Pertanyaannya, apakah Presiden memahami fakta di atas? Seharusnya pejabat memberikan informasi yang cukup agar Presiden melaksanakan sumpahnya untuk menjalankan UUD dan UU secara benar.
Hasbullah Thabrany, Anggota Penyusun UU SJSN 2002-2004 dan Guru Besar Universitas Indonesia