Mengatasi Hoaks Pascaputusan MK
Ruang digital Indonesia harus dijaga tetap bersih, sehat, beretika, produktif, dan berkeadilan bagi setiap warganet.
Dianulirnya Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang mengatur tentang penyiaran berita atau pemberitahuan bohong (hoaks) oleh Mahkamah Konstitusi menyisakan beberapa ”pekerjaan rumah” bagi pemerintah dan aparat penegak hukum.
Tak hanya itu, MK juga menyatakan Pasal 310 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) lama tentang pencemaran nama baik inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional), sepanjang tidak dimaknai dilakukan dengan ”cara lisan”, karena mengadopsi rumusan dari Pasal 433 KUHP baru yang akan berlaku efektif pada 2026.
Sebenarnya tak ada perubahan yang cukup signifikan terhadap rumusan Pasal 310 Ayat (1) KUHP lama itu, karena ayat kedua dan ketiga dari pasal tersebut secara tidak langsung memang telah membedakan kualifikasi pencemaran nama baik secara ”lisan” dan ”tertulis”.
Baca juga: MK Batalkan Pasal Penyebaran Berita Bohong di Peraturan Hukum Pidana
Justru permasalahannya, bagaimana nanti penerapan Pasal 28 Ayat (3) jo 45A Ayat (3) UU No 1/2024 tentang Revisi Kedua UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengenai tindak pidana menyebarkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat.
Dengan perkembangan ruang digital yang semakin luas cakupannya, eksistensi delik hoaks senyatanya memang sudah ”berubah” dari cara-cara konvensional ke cara-cara lebih modern, yaitu dengan menggunakan teknologi informasi sebagai sarana melakukan tindak pidana (cyber enable crimes).
Kriminalisasi hoaks
”Hax pax max Deus adimax”, demikian sebuah frasa pseudo Latin di awal abad ke-17, yang digunakan sebagai trik ajaib oleh para tukang sulap, artinya penipuan atau tipu daya (hocus-pocus), yang diyakini jadi cikal bakal lahirnya istilah hoaks.
Pada saat KUHP peninggalan Belanda (WvS NI) diberlakukan di Nusantara, terdapat Pasal 171 WvS NI mengenai kesengajaan menyiarkan (verspreiden) berita bohong yang menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, yang diancam dengan pidana penjara maksimum 1 tahun atau denda 300 gulden.
Berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, dualisme peraturan peninggalan Pemerintah Hindia Belanda dan pemerintah bala tentara Jepang yang tidak seragam keberlakuannya di Indonesia telah diselesaikan dengan berlakunya UU No 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Dalam situasi ”pancaroba” hukum yang serba tak menentu, ketentuan Pasal 171 WvS NI pun dicabut dan diubah dengan Pasal XIV (14) dan Pasal XV (15) UU No 1/1946 menjadi dua delik yang diperluas kriminalisasinya untuk melindungi masyarakat dari penyiaran berita atau pemberitahuan bohong dan penyiaran kabar yang tak pasti atau berkelebihan.
Perbedaan utama Pasal 14 dan Pasal 15 UU No 1/1946 dengan Pasal 171 WvS NI tersebut adalah pada pengaturan sanksinya yang jauh diperberat, hingga mencapai 10 tahun untuk kesengajaan yang menimbulkan keonaran sebagai akibat (delik materiil), dan diperkenalkannya bentuk kealpaan (kelalaian) dan ”setengah sengaja-setengah alpa” (pro parte dolus pro parte culpa) dalam melakukan verspreiden delict.
Baca juga: Kontroversi di Medsos Sama dengan Keonaran?
Mengutip pandangan SR Sianturi, apabila delik itu terjadi dalam keadaan darurat, adalah tepat dengan sanksi pidana seberat itu. Namun. dalam keadaan aman (damai), kiranya perlu ditinjau kembali karena sanksi pidana bukanlah satu-satunya jalan untuk mendidik atau memperbaiki (kelakuan) seseorang.
Sebagai konsekuensi dari rekodifikasi terbuka-terbatas yang dianut KUHP baru, pandangan Sianturi pun direspons oleh pembentuk UU dengan tetap memasukkan kedua pasal ini dalam Buku Kedua (Tindak Pidana), yaitu Pasal 263 dan 264 KUHP baru, tetapi pengaturan sanksi pidananya jauh lebih ringan dan obyektif, dengan modified delphie method.
Mengingat Pasal 14 dan Pasal 15 UU No 1/1946 dianulir oleh MK, berlakunya KUHP baru pada 2026 kemungkinan akan membuka peluang pasal-pasal serupa di KUHP baru untuk diuji kembali konstitusionalitasnya (rejudicial review), sesuai perkembangan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan di masyarakat.
Keonaran vs kerusuhan
Menurut Penjelasan Pasal 14 UU No 1/1946, unsur ”keonaran” diartikan sebagai sesuatu yang lebih hebat dari kegelisahan dan mengguncangkan hati penduduk yang tidak sedikit jumlahnya. Hal inilah yang membuat MK memandang adanya ketidakjelasan terkait parameter yang menjadi batas bahaya dari ”keonaran”, termasuk yang dapat timbul dari penyiaran kabar yang tidak lengkap/berkelebihan.
Tampaknya tak berlebihan jika MK berpendapat rumusan Pasal 14 dan Pasal 15 UU No 1/1946 bertentangan dengan asas yang berlaku dalam perumusan norma hukum pidana, yaitu harus dibuat secara tertulis (lex scripta), jelas (lex certa), dan ketat tanpa analogi (lex stricta).
Dalam KUHP baru, unsur ”keonaran” itu direformulasi menjadi ”kerusuhan dalam masyarakat”, yang dapat menggunakan penafsiran sistematis menurut Penjelasan Pasal 190 KUHP dalam BAB Tindak Pidana terhadap Keamanan Negara, sebagai suatu kondisi yang menimbulkan kekerasan terhadap orang atau barang yang dilakukan sekelompok orang paling sedikit tiga orang.
Argumentasi ini dipandang sejalan dengan substansi dari Pasal 170 KUHP lama (Pasal 262 KUHP baru), yang melarang dilakukannya kekerasan terhadap orang atau barang secara terang-terangan untuk melindungi ketertiban umum, sebagaimana ”vis publica force ouverte” (di hadapan umum yang bisa didengar dan dilihat), yang dapat ditemukan padanannya dalam Pasal 141 KUHP Belanda atau Pasal 440 Code Penal Perancis.
Menurut Penjelasan Pasal 14 UU No 1/1946, unsur ’keonaran’ diartikan sebagai sesuatu yang lebih hebat dari kegelisahan dan mengguncangkan hati penduduk yang tidak sedikit jumlahnya.
Menurut Penjelasan Pasal 28 Ayat (3) jo 45A Ayat (3) UU ITE, yang dimaksud dengan ”kerusuhan” sebagai akibat dari penyebaran pemberitahuan bohong adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, dan bukan kondisi di ruang digital/siber, sehingga pengaturan UU ITE ini dianggap mengikuti KUHP baru yang lebih demokratis.
Pergeseran paradigma
Adanya keluhan dari pencari keadilan yang diadukan telah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik sekaligus penyebaran berita bohong, padahal kedua kualifikasi delik dan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh kedua delik itu berbeda satu sama lain, seharusnya tidak perlu terjadi lagi di waktu mendatang.
Sejalan dengan Pasal 19 Ayat (2) dan (3) Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang sudah diratifikasi menjadi UU No 12/2005, kebebasan berpendapat memang dapat dilakukan pembatasan tertentu oleh UU, sepanjang diperlukan untuk menghormati nama baik orang lain dan melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum.
Oleh karena itu, penerapan Pasal 28 Ayat (3) jo 45A Ayat (3) UU ITE sebagai delik materiil yang mensyaratkan terpenuhinya unsur akibat yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat ke depan harus betul-betul ditafsirkan dengan ketat dan jelas.
Terakhir, namun tidak kalah penting, paradigma dari penegakan hukum pidana haruslah digeser kembali pada prinsip ultimum remedium, yaitu sebagai ”obat terakhir”.
Tentu merupakan tugas kita bersama untuk senantiasa menjaga ruang digital Indonesia tetap bersih, sehat, beretika, produktif, dan berkeadilan bagi setiap warganet.
Albert Aries, Pengajar Fakultas Hukum Universitas Trisakti; Anggota Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia