Robohnya Lumbung Padi Kami
Gelebeg dan jineng, dalam bahasa Bali menunjuk pada wujud arsitektural yang sama, tetapi memiliki fungsi yang berbeda.
Mungkin aku terlalu naif jika mengajakmu masuk kembali ke lumbung padi. Sebab sejarah lumbung sudah lama musnah seiring orientasi bertani yang berubah drastis sejak tahun 1970-an. Bertani padi tidak lagi untuk hidup mandiri, tetapi semata-mata menggenjot produksi agar negara merasa aman. Petani boleh banting-tulang di sawah, yang penting negara tidak terancam kekacauan, yang mungkin terjadi karena kekurangan pangan.
Beberapa kali kuucapkan dalam forum ini tentang pepatah tua berbunyi:”Bagai tikus mati di lumbung padi”. Masih ingat? Semoga pepatah ini tidak turut musnah seiring robohnya lumbung padi para petani. Sampai awal tahun 1980-an, di kampungku di Desa Lelateng, Jembrana, Bali, masih mudah menemukan lumbung padi. Meski begitu, fungsinya tidak lagi sebagai penyimpan padi, tetapi hanya tempat kongkow-kongkow para anggota keluarga. Sebutannya pun tidak lagi gelebeg, tetapi berubah menjadi jineng.
Ya itu tadi, secara semantik terjadi evolusi makna seiring perubahan fungsi penyimpanan padi. Gelebeg dan jineng, dalam bahasa Bali menunjuk pada wujud arsitektural yang sama, tetapi memiliki fungsi yang berbeda. Jineng tak lain adalah modifikasi gelebeg ke arah fungsi profan. Ia hanya difungsikan sebagai tempat berteduh sembari bergosip. Lantai yang terdapat di atas tiang-tiang penyangga tidak lagi difungsikan sebagai tempat penyimpanan padi. Belakangan ia bahkan difungsikan sebagai kamar tidur para wisatawan asing, sebagaimana kini banyak terdapat dalam perkembangan resor di Pulau Dewata itu.
Oleh sebab itu, sangat lumrah terjadi pada awal tahun 1990-an, gelebeg-gelebeg para petani dijual kepada para makelar turis dari Denpasar. Para makelar ini kemudian memodifikasi gelebeg yang telah berusia berpuluh-puluh tahun warisan para leluhur menjadi jineng. Jineng-jineng kemudian diberi narasi tentang kultur agraris para petani di Bali. Bahwa dulu para petani punya kebiasaan menyimpan padi dalam lumbung. Penyimpanan padi di dalam lumbung dirayakan dalam sebuah ritual yang sakral. Dan narasi itu besar artinya untuk membuat kagum para wisatawan tentang kebudayaan Bali yang “adiluhung”.
Pada masa-masa paceklik di musim kemarau atau terjadi bencana, termasuk perang, jineng menjadi harapan untuk menyelesaikan masalah. Para petani tak perlu khawatir kekurangan pangan, karena telah berdiri jineng-jineng yang penuh berisi cadangan pangan. Menarik bukan?
Bukankah itu nostalgia yang perih kalau dikenang hari ini? Jika mau menyederhanakan masalah, seberapa besar sih hasil dunia pariwisata Bali yang mengalir langsung kepada para petani di desa? Bukankah gelebeg mereka telah diambil-alih dan dimodifikasi menjadi kamar tidur para turis dari mancanegara, apakah mereka bisa berharap di masa paceklik padi (baca: beras) seperti terjadi hari ini, mereka bisa makan dengan rasa aman?
Jangan lupa dulu gelebeg juga berfungsi sebagai buku tabungan. Ibu masih ingat, tahun 1950-an ketika akan bersekolah guru di kota Singaraja (115 kilometer dari Negara), kakek “membuka buku tabungan” alias menurunkan padi dari gelebeg untuk dijual. “Makanya gelebeg itu tabungan untuk kebutuhan mendesak keluarga. Tak hanya untuk makan, tetapi juga untuk sekolah,” kata Ibu. Sampai hari ini, setelah puluhan tahun pensiun sebagai guru, Ibu masih mengingatnya sebagai kenangan tak terlupakan.
Baca juga: Nyepi Bukan Soal Kesepian
Ketika usianya mencapai 86 tahun, Ibu telah menjadi “saksi sejarah” tentang perubahan dramatis dalam perjalanan sistem pertanian padi di Tanah Air. Ia adalah pelaku sejarah yang masih tersisa, tentang gelebeg-gelebeg yang berdiri di setiap halaman rumah para petani, tentang ritual penghormatan terhadap padi sebagai perwujudan Sang Hyang Sri, Tuhan sebagai pemberi kemakmuran, tentang padi-padi yang menyelamatkan hidup para petani.
“Kenapa sekarang beras mahal, ya?” tanyanya ketika aku pulang kampung.
Ini pertanyaan sederhana, tetapi mewakili jutaan petani di seluruh Tanah Air. (Ingat “tanah” dan “air”, sebagai sumber utama dari sistem pertanian padi). Ia merasa kenyataan ini sama sekali tidak masuk akal sehat. Saat ini, menurut data Badan Pangan Nasional (Bapanas) harga beras mencapai Rp 16.370 per kilogram. Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Februari 2024 harga beras mencapai Rp 18.000 per kilogram.
Sementara diperkirakan harga Gabah Kering Panen (GKP) sampai awal musim panen raya April 2024 diperkirakan “hanya” Rp 6.820 per kilogram. Mengapa harga beras yang mahal itu tidak bisa langsung dinikmati oleh petani? Pasalnya, harga GKP sebesar itu tak menghindarkan para petani untuk terus berutang. Bahkan, hal yang ironis, sebagai produsen padi/beras, mereka harus ikut antre untuk membeli beras atau setidaknya antre menerima Bansos (Bantuan Sosial) beras murah dari pemerintah.
Jawaban orang desa seperti ibuku sangat sederhana,”Itu karena dulu padi-padi lokal diganti dengan padi-padi dari pemerintah,” katanya. Ia benar, sebagai saksi ibu turut terlibat dalam revolusi yang digulirkan pemerintah Orde Baru tahun 1970-an. Ibu termasuk yang tidak setuju mengganti padi-padi tahunan (istilah untuk benih lokal Bali), dengan padi-padi varietas baru yang diberi label Pelita atau IR (international rice).
Seluruh perkenalan padi jenis baru itu, dalam pemahaman ibu, akan mengubah seluruh tatanan mekanisme pertanian di tanah dan air Indonesia. Tidak akan ada lagi ritual ngunggahan pari ke atas gelebeg atau menaikkan padi ke atas lumbung. Ritual ini sebagaimana dimuat dalam lontar (pustaka) Sri Purana Tattwa, memiliki tata cara upacara sebagai pemuliaan terhadap padi. Misalnya, hari menaikkan padi harus mengikuti dewasa ayu (hari baik) agar memberi manfaat yang maksimal pada kehidupan manusia.
Selain kehilangan sebagian besar ritual itu, padi juga telah mengalami degradasi fungsi. Ia menjadi semata-mata diperlakukan sebagai komoditas pemuas nafsu hidup manusia.
Menurut penanggalan Saka dan perhitungan pawukon Bali, hari baik untuk menaikkan padi ditentukan setiap Saniscara (Sabtu), Umanis, Pujut. Biasanya bulan-bulan ini jatuh sekitar bulan Februari, seperti pada Sabtu, 4 Februari 2023 misalnya.
Selain kehilangan sebagian besar ritual itu, padi juga telah mengalami degradasi fungsi. Ia menjadi semata-mata diperlakukan sebagai komoditas pemuas nafsu hidup manusia. Padi selalu dihitung dari frekuensi dan kapasitas panenan yang dibandingkan dengan tingkat konsumsi masyarakat. Perhitungan ini secara jelas semata-mata berorientasi kepada kebutuhan pemenuhan konsumsi per orang per kapita.
Tingkat konsumsi masyarakat Indonesia tahun 2022 misalnya, tercatat sebanyak 81,044 kilogram per kapita per tahun. Jika angka ini dibagi dalam 365 hari dalam setahun, maka rata-rata setiap orang Indonesia mengonsumsi sebanyak 0,222 kilogram beras saban hari. Ini angka yang dipetik dari Statistik Konsumsi Pangan 2022 dari Kementerian Pertanian Indonesia.
Data juga menunjukkan tingkat konsumsi beras di Indonesia sebesar 124 kilogram per kapita per tahun, lebih besar dari China yang 60 kilogram, Jepang 50 kilogram, dan Korea Selatan 40 kilogram per kapita per tahun. Secara tidak langsung data ini juga menunjukkan bahwa Orde Baru “telah berhasil” melakukan “berasisasi” yang disembunyikan lewat jargon bernada epik swasembada beras.
Bolehlah sedikit direnungkan ulang tentang orang-orang Papua atau Maluku yang biasa makan sagu, karena mereka tidak mengenal sistem pertanian sawah seperti padi. Lewat jargon tadi, pemerintah menstigma makan sagu sebagai keprimitifan. Maka, karena ia primitif, harus dipermodern. Makan sagu diganti dengan makan nasi. Sejak itu bagi orang Papua dan Maluku, makan nasi adalah simbol kemodernan. Dan kemodernan itu dibawa dari Jawa.
Politik pangan semacam itu telah mengingkari potensi budaya lokal, juga mengingkari potensi sumber daya alam sekitarnya. Budaya menebang sagu orang Papua tidak bisa dalam sekejap mata digantikan dengan bercocok-tanam padi di sawah. Maka itu, banyak orang-orang pedalaman di Papua harus berperahu berhari-hari untuk mendapatkan beras dengan harga yang tentu saja tidak lagi ramah.
Kehancuran lumbung secara arsitektural telah menggerus sebagian besar kultur bertani yang dibangun berdasarkan kejeniusan lokal masyarakat Nusantara.
Sejak revolusi hijau, demikian sebutannya untuk revolusi bercocok tanam padi varietas baru ini, para petani kita ibarat tikus mati di lumbung padi. Pepatah yang tadinya berupa ungkapan itu, kini benar-benar nyata terjadi. Para petani sebagai produsen padi/beras, tidak bisa lagi secara bebas mengakses makanannya sendiri.
Lumbung-lumbung yang tadinya menjadi penyimpan cadangan pangan, sudah lama tidak ada lagi. Padi-padi yang dipanen petani di sawah sebagian besar bukan lagi milik mereka. Itu adalah padi milik para tengkulak atau saudagar yang memberi mereka pinjaman untuk melakukan proses bercocok tanam padi. Bukankah bibit, pupuk, dan pestisida bisa diperoleh dengan cara mengutang? Jika tidak demikian, maka aktivitas bercocok tanam padi itu tidak akan terjadi. Bisa jadi sawah-sawah dibiarkan mengering dan puso. Itu artinya, negara tidak mampu lagi menghidupi rakyatnya.
Sejak akhir tahun 1980-an kita disuguhi drama hancurnya lumbung pangan para petani. Bagiku dan sudah pasti bagi generasi pendahulu seperti ibuku, peristiwa itu menjadi tragedi dalam panggung teater pangan negeri tercinta ini. Kehancuran lumbung secara arsitektural telah menggerus sebagian besar kultur bertani yang dibangun berdasarkan kejeniusan lokal masyarakat Nusantara.
Bertani bukan hanya soal menanam dan memetik hasil, bukan soal memenuhi kebutuhan hidup dan melanjutkan regenerasi. Bertani lebih-lebih adalah penghormatan kepada kemurahan tanah dan air, yang telah memberi anugerah hidup kepada semua makhluk. Bercocok tanam padi adalah sebuah ritus pemuliaan terhadap kebesaran alam. Kau bisa mengecap ini hanya sebatas soal kepercayaan. Bagi orang-orang “urban-profan” seperti kita, sekali lagi, padi hanya sebatas beras untuk pemenuhan kebutuhan bertahan hidup. Tetapi bagi sebagian terbesar petani kita di desa, padi adalah representasi dari ajaran hidup.
Barangkali kau masih ingat falsafah hidup yang berbunyi: hidup ini sebaiknya seperti padi, semakin berisi semakin merunduk. Orang-orang yang makin pintar sudah seharusnya makin rendah hati, sehingga ia lebih banyak memberi manfaat bagi kehidupan orang lain dibandingkan kepada dirinya sendiri.
Begitukah watak padi? Padi tidak pernah memikirkan dirinya sendiri. Ia sepenuhnya tumbuh dan berisi untuk kesejahteraan segala makhluk. Ungkapan semakin berisi semakin merunduk, memanglah sifat alami dari padi. Biji-biji yang mekar dan ranum menjadi semakin berat, dan tangkai batang padi tidak pernah melepaskannya. Ia justru semakin merunduk untuk memberi kesempatan kepada biji menyelesaikan tugasnya agar siap dipanen para petani.
Baca juga: Sebatang Pohon Pisang di Jendela
Pemuliaan terhadap watak padi semacam ini termasuk yang musnah ketika negara hanya memikirkan perut. Lalu lupa, bahwa lumbung didirikan atas pemahaman dan pengalaman berabad-abad di dalam memperlakukan padi untuk menghadapi berbagai macam krisis. Lumbung, hari ini, tidak harus bermakna secara arsitektural, tetapi lebih-lebih mentransformasikannya menjadi kebijakan negara. Betapa pun mendirikan lumbung di halaman rumah sendiri jauh lebih sederhana ketimbang mengharapkan lumbung dari negara lain.
Tengoklah, pasca swasembada beras pada era Presiden Soerharto, negara kita tiada henti mengimpor beras dari negara-negara lumbung beras seperti Thailand, Myanmar, China, India, Vietnam, dan bahkan Kamboja. Ada apa? Sebagian dari negara-negara tetangga memiliki lahan pertanian yang lebih kecil dibanding negara kita. Ada apa?
Salah satu biang keroknya adalah penghancuran tatanan kebudayaan yang memperlakukan padi sebagai organisme yang hidup. Ia adalah sukma dari dunia yang sedang kita jejaki. Padi adalah cara memberi, bukan perhitungan cara mengonsumsi. Logika cara berpikir semacam ini harus dikembalikan seiring dengan pemulihan kebudayaan bercocok tanam padi. Sudah pasti tidak mudah.
Butuh waktu bertahun-tahun, sampai benar-benar profesi sebagai petani mendapatkan penghargaan semestinya. Setidaknya bisa menjadi jaminan hidup layak dan bukan profesi yang terpaksa dijalani karena tidak ada pilihan hidup yang lain.
Putu Fajar Arcana, jurnalis Kompas 1994-2022, sastrawan, sutradara, dan dosen LSPR Jakarta.