Sebatang Pohon Pisang di Jendela
Mengapa penumpasan itu harus turut ditanggung para mahasiswa yang sedang belajar di luar negeri?
Film dokumenter Eksil (2023) yang disutradarai Lola Amaria meluncur ibarat meteor di tengah kegelapan sejarah modern Indonesia. Lebih spesifik lagi, film ini lahir sebagai antitesis film dokudrama berjudul Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI yang dirilis tahun 1984 dan disutradarai Arifin C Noer. Setelah hampir 40 tahun, akhirnya lahir film yang menjadi penyeimbang narasi kelam sejarah di Tanah Air.
Lola Amaria baru berusia tujuh tahun saat film propaganda pemerintah Orde Baru itu diluncurkan ke hadapan publik. Dan ia menjadi bagian dari beberapa generasi yang terkena kewajiban menontonnya. (Ingat-ingat lagi, bagaimana generasi ini, termasuk aku, ”digiring” ke gedung bioskop untuk menyaksikan pamer kekuasaan rezim yang sedang berkuasa). Sejak saat itu, sebagaimana ia tuturkan kepadaku, perempuan kelahiran tahun 1977 itu senantiasa dihantui rasa takut.
Apakah sejarah itu demikian gelap dan sadis, sehingga para jenderal harus diculik dan dibunuh? Apakah pembalasan terhadap para anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) beserta seluruh anggota dan simpatisannya harus lebih kejam lagi? Hal yang tak dapat diterima oleh logika hukum dan nalar, lebih dari sebulan setelah peristiwa 30 September 1965 di Jakarta, pembantaian diteruskan sampai ke daerah-daerah.
Di kampungku di Bali belahan barat baru terjadi pembersihan terhadap anasir-anasir PKI setelah pendaratan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat), 31 Januari 1966. Penelitian yang dilakukan Khairul Anam (”Pembalasan terhadap PKI di Jembrana 1965-1966”) menyebut, dalam tempo dua minggu 4.000 orang di Jembrana dibantai. Angka moderat yang disebut-sebut sebagai data, sekitar 5 persen penduduk Bali atau 80.000 orang mati selama pembersihan. Waktu itu penduduk Bali kurang dari 2 juta jiwa.
Menurut kesaksian bapakku, waktu itu sama sekali tidak terdengar ada upaya hukum terhadap mereka yang ”dijerumuskan” ke dalam daftar hitam. Semua orang, tanpa merunut jejak kesalahannya, harus turut menanggung kesalahan kudeta gagal yang dituduhkan kepada PKI di Jakarta.
Sementara itu, di tingkat lokal, sebagai partai, PKI sangat populer karena antara lain mengusung isu land reform sebagaimana terdapat dalam UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) tahun 1960. Sebab, kebanyakan petani termasuk dalam status penggarap atau penyakap sawah-sawah milik tuan tanah. Mereka ingin memiliki tanah garapan sendiri dan itu harus ”direbut” dari para tuan tanah, yang umumnya kaum bangsawan lokal.
Sejak melakukan riset ke beberapa desa untuk keperluan penulisan sebuah karya fiksi, aku mendapatkan beberapa fakta mencengangkan. Kekejaman yang dilakukan tentara, para tameng (pasukan para militer PNI), dan anggota Ansor di Bali barat, sudah melebihi batas-batas kemanusiaan. Seorang narasumber di Desa Mertasari, Negara, Jembrana, menceritakan bagaimana ayahnya dibunuh dan dibuang ke dalam sumur di depan matanya sendiri.
”Kami berbulan-bulan hidup di rawa-rawa. Hanya makan apa yang kami temukan di bawah pohon buyuk,” kenangnya. “Masih untung kami selamat.”
Ia menunjuk sebuah sumur tua di seberang rumahnya, yang kini sudah tidak berfungsi lagi. Saat itu, ia baru berusia dua tahun dan kakaknya empat tahun. Samar-samar ia masih mengingat teriakan para perempuan yang berlarian menggendong anak-anaknya mencari tempat perlindungan.
”Kami berbulan-bulan hidup di rawa-rawa. Hanya makan apa yang kami temukan di bawah pohon buyuk,” kenangnya. ”Masih untung kami selamat,” tambahnya.
Selamat bukan berarti bisa menjalani kehidupan lebih baik. Tak berselang lama, ibu kandungnya dinikahi oleh seorang tameng. Menikah di bawah ancaman, tepatnya. Jika ibunya tak mau menikah, seluruh keluarganya akan dibantai. Demikianlah, ia kemudian hanya hidup bersama kakaknya dan seorang kakek yang telah sepuh. Sejarah kemudian mencatat, sebagian besar lelaki di Desa Mertasari, di tenggara kota Negara, tewas dibantai dalam tragedi berdarah 1966.
Tentu aku masih bisa mengisahkan kepadamu detail-detail kisah lainnya. Mungkin lain waktu dalam bentuk tulisan berbeda. Sekarang kita coba menziarahi sejarah yang sedang diputar di gedung bioskop. Boleh jadi inilah pertama kalinya kesaksian dari tangan pertama diputar tanpa rasa takut. Lola telah melampaui waktu berpuluh-puluh tahun digulung rasa takut. Sejak ia berusia tujuh tahun sampai kemudian berhasil menyusun sebuah film dokumenter, rasa takut itu seolah menjadi hantu.
Salah satu ”keberhasilan” rezim Orde Baru, yang akan dicatat sejarah selamanya, adalah menciptakan rasa takut. Dan rasa takut itu dipelihara dengan berbagai metode yang terstruktur dan masif di bawah pengawasan aparatur negara. Kira-kira 600 orang, menurut catatan Lola Amaria, ”dipaksa” hidup sebagai eksil dengan alasan tunggal: mereka terlibat dalam peristiwa kudeta berdarah 30 September 1965.
Alasan inilah yang membuat pemerintah baru merasa harus mengambil tindakan dengan mencabut paspor ratusan mahasiswa yang sedang belajar di luar negeri. Mereka dicap sebagai para pengikut Soekarno yang harus disingkirkan, lantaran dianggap berbahaya bagi ”keamanan” kekuasaan.
Baca juga: Suara dari Dalam Kotak
Menurut catatan BBC News, ribuan mahasiswa Indonesia dikirim oleh pemerintah Soekarno ke sejumlah negara. Mereka diharapkan menjadi generasi yang akan membangun negara Indonesia di masa depan. Tetapi, para mahasiswa ”genius” ini akhirnya tidak bisa kembali ke negaranya karena kewarganegaraannya dicabut pemerintah baru. Orang-orang seperti Waruno Mahdi, Tom Iljas, I Gede Arka, Hartoni Ubes, Asahan Aidit (alm), Sardijo Mintardjo (alm), Kuslan Budiman (alm), Chalik Hamid (alm), Sarmadji (alm), dan Djumaini Kartaprawira (alm), dan banyak lagi yang lainnya, hidup diliputi ketidakpastian.
Sebagian besar dari mereka hidup berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain untuk dua alasan: melarikan diri karena merasa dimata-matai dan menyambung hidup setelah tidak mungkin kembali ke Tanah Air. Sebagaimana didokumentasikan dalam film, Waruno Mahdi akhirnya memutuskan tidak berpacaran, apalagi menikah. Setiap perempuan yang berada di dekatnya ia pikir adalah mata-mata yang akan mencelakakan hidupnya.
”Setiap orang kalau saya ketemu itu otomatis pemikiran memata-matai saya. Walaupun secara logis saya tahu bahwa itu tidak benar, tapi di bawah kesadaran,” ujar Waruno Mahdi dari Berlin, Jerman.
”Orang menduga kami hidup di luar negeri senang, pikiran saya tetap ke Tanah Air…,” kata Chalik Hamid dari Amsterdam, Belanda.
”Kami ini orang Indonesia, jadi orang asing bukan kemauan kami. Kami, kan, harus punya kewarganegaraan, kalau enggak kami enggak bisa hidup, dong…,” ujar Asahan Aidit dari Hoofddorp, Belanda.
”Lha, salah apa? Wong saya ikut membela Republik, kok. Ya, tapi saya disingkirkan oleh mereka…,” cetus Sarmadji dari Amsterdam, Belanda.
Barangkali kutipan-kutipan dialog dari para eksil itu mewakili isi hati mereka sesungguhnya. Mereka jelas mengalami trauma atas perlakuan Pemerintah Indonesia. Hidup terkatung-katung tanpa kewarganegaraan di negara asing bukan perkara mudah. Banyak di antara mereka harus hidup sebagai buruh rendahan, jauh dari keahlian mereka. Perasaan terbuang berkelindan dengan keinginan pada suatu hari bisa kembali ke Tanah Air.
Itulah sebabnya, Chalik Hamid menanam pohon-pohon tropis, seperti pisang dan bambu, di dalam pot di kamar apartemennya. Ia letakkan pot-pot di dekat jendela. Setiap saat, ketika melongok ke luar, ia selalu ingin menemukan tanah airnya: Indonesia. Tetapi, sayang sampai akhir hidupnya, Chalik Hamid hanya menemukan ”imajinasi” tentang negerinya lewat sebatang pohon pisang di jendela apartemennya.
Chalik meninggal di Belanda, 13 Juli 2022, dalam usia 84 tahun. Ia tetap memendam keinginan untuk kembali ke tanah tumpah darahnya. Namun, keinginan itu harus ia kubur jauh-jauh. Tak ada keputusan politik penting yang membuat para eksil bisa ”pulang kampung” sebagai warga negara yang terhormat.
”Saya tidak ingin buta dan lumpuh selamanya. Walaupun diliputi perasaan takut-takut, saya mulai melawan perasaan itu dengan mencari tahu kebenarannya…,” kata Lola, yang sekaligus jadi produser film ini.
Tekad itulah yang kemudian membawa Lola untuk melakukan riset sejak tahun 2013 silam. Setelah dua tahun berjalan, tepatnya tahun 2015, ia memutuskan untuk memulai proyek film Eksil. Jika para eksil mampu hidup selama lebih dari 30 tahun tanpa kewarganegaraan, Lola menjelajah 17 kota di lima negara (Belanda, Republik Ceko, Swedia, Jerman, dan Indonesia) di musim dingin. Ia mewawancarai tak kurang dari 10 eksil serta mengumpulkan dokumentasi-dokumentasi penting yang berhubungan dengan situasi politik di Tanah Air dan luar negeri.
Baca juga: Penindasan Pelajaran Ini Budi
Saat proses perampungan film berjalan, ”Dari 10 eksil, empat orang wafat sebelum film rilis dan satu orang wafat setelahnya. Ya, sayang sekali, mereka harusnya turut menyaksikan film ini,” kata Lola.
Film Eksil, jika kau sempat menyaksikannya, menjadi sebuah dokumentasi paling otentik yang berhasil merekam suara-suara kaum tertindas selama puluhan tahun. Film ini juga memperlihatkan kekejaman tanpa menampar dengan tangan terhadap sekelompok kaum intelektual, yang justru diharapkan menjadi pemimpin bangsa pada suatu masa.
Itulah sebabnya, pada awal cerita ini aku tuliskan tentang Eksil yang lahir sebagai antitesis film Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI dari Arifin C Noer. Sebelum proses shooting dimulai, Lola seolah menyadari bahwa rasa takut yang ditebar oleh sebuah film hanya bisa dilawan dengan film. Sebab, pada platform yang sama, ia berharap bertemu dengan segmen penonton yang sama.
”Ayo, dong, ajak yang lain nonton...,” kata Lola saat tanpa sengaja kami bertemu di gedung bioskop.
Ajakan ini terasa sangat rendah hati dan demokratis. Itu pun lagi-lagi menjadi antitesis dari keharusan menonton film Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI, di bawah pemerintah Orde Baru. Sebagai anak sekolahan, kami beramai-ramai digiring ke gedung bioskop untuk menyaksikan propaganda pemerintah yang tak pernah dikonfirmasi kepada pihak-pihak yang dituduh. Benarkah kudeta berdarah didalangi oleh PKI? Benarkah pembunuhan tujuh jenderal didalangi juga oleh PKI?
Mengapa pula terjadi penumpasan sampai ke daerah-daerah yang jauh dari pusat kekuasaan? Mengapa para petani di desa terpencil seperti Mertasari harus turut menanggung kesalahan, jika itu sebuah kesalahan? Terakhir, mengapa penumpasan itu harus turut ditanggung para mahasiswa yang sedang belajar di luar negeri, yang jelas-jelas ditugaskan oleh negara?
Sebelum benar-benar ada proses pengakuan terhadap pelanggaran HAM berat oleh Pemerintah Indonesia, terhadap seluruh karut-marut politik dan kemanusiaan yang bergulir sejak 30 September 1965 dan seterusnya, rasanya ini akan tetap menjadi arsip kelam dalam sejarah modern Indonesia.
Baca juga: Obituari Mesin Tik Tua Pembuka Cerita
Sebagai bangsa, kita masih ”beruntung” ada film Eksil, yang dibuat dengan keinginan untuk menjernihkan sejarah gelap tanah air kita bernama Indonesia. Mungkin ini saja belum cukup. Dari jendela kaca aku melihat pohon jepun bergoyang-goyang ditiup angin pagi. Jakarta sedang diliputi mendung. Mungkin tak lama lagi akan turun hujan.
Apakah hujan akan menghapus cerita kelam di sepanjang sejarah negeri ini? Pertanyaan yang tak mampu kujawab. Seperti Chalik Hamid yang menanam pohon pisang untuk mengobati rasa rindunya kepada Tanah Air, aku berharap pohon jepun tidak selalu dipersepsi sebagai tanda kematian. Di kampungku, pohon jepun selalu tumbuh di sekitar tempat suci, sebagai imajinasi tentang keindahan dan ketulusikhlasan saat memuja keagungan Tuhan.
Sekarang cobalah melongok ke luar jendelamu, seperti apakah wajah Indonesia kita hari ini?
Putu Fajar Arcana, Jurnalis Kompas 1994-2022; Sutradara; Penulis Lakon; Dosen Creative Writing London School of Public Relations, Jakarta